How Are You?

1168 Words
Sebenarnya tadi Max datang dengan wajah sumringah, tangannya penuh menenteng banyak pelastik. Dari aromanya saja sudah bisa tercium kalau ia sedang membawa berbagai jenis makanan, namun pemandangan yang baru saja dilihatnya membuat wajahnya seketika switch ke mode murung. Rasakan. “Kabar baik, Max. Dari mana nih hari libur begini?” “Tanyain kabar balik kali, malah KEPO.” “Pasti habis keluar sama gebetannya Kang,” jawab Kim, memasang senyum namun hanya setengah. “Dari bantuin temen Kim, bukan gebetan.” “Oh iya, kalau Kim mau, bisa tinggal di rumah Akang untuk saat ini. Agak lama juga gak apa-apa. Biar gak sendirian juga.” Ternyata sedari tadi mereka membahas tentang kemungkinan-kemungkinan apa saja sang pemilik Apartemen menjual tempat ini. Kim dan Dayat berlomba memberikan tebakan-tebakan kocak. “Yakali Kang, gak enak juga mau ngerepotin si Akang terus-terusan. Kayanya sih mau cari rumah kontrakan aja, supaya lebih murah tapi tetap luas.” “Ya bener Kim, gak enak kalau terus-terusan ngerepotin si Akang. Dikira kita gak mampu nantinya.” Bilang aja kalau lagi cemburu situ, Max. “Hm, yaudah kalau gitu. Kalau butuh bantuan buat pindahan atau apapun, jangan sungkan ya. By The Way, kenapa tadi Max datang dan manggil kamu sayang? Kalian pacaran?” “Ih engga kok, dianya aja emang manggil gitu ke semua wanita. Mana ada kita pacaran, gak mungkin,” jawaban Kim lantas membuat Max tersenyum kecut, sedangkan Dayat jadi tertawa keras. “Hahaha, emang dari dulu gak berubah nih, parah atuh.” “Kamu sendiri ngapain disini, udah lama? Ngapain aja ?” Max mulai mengintrogasi. “Em, kayanya udah seharian disini sih. Oh iya, Kim. Kamu lebih baik istirahat aja dulu, pasti besok juga lebih capek dari ini. Besok kalau kamu masih butuh bantuan, telepon aja aku, pulang kerja pasti aku sempetin kesini. Aku sekarang mau pamit dulu.” “Iya, Kang. Tenang aja, kalau urusan ngerepotin Akang, aku jagonya. Hahahaha.” “Ha-ha-ha,” hanya Max yang tertawa tidak ikhlas. “Oke, see you when I see you, Kim.” “Hm,” Kim membalas dengan senyum dan anggukan kecil. Semua bangkit untuk mengantarkan Dayat keluar. “si yi win i si yi, paan sih, sok inggris banget” ledek Max saat Dayat sudah hilang ditelah lift. “Dendam amat sama Kang Dayat. Gak kelar-kelar perasaan dari dulu permasalahan kalian.” Dulu sekali, saat Dayat dan Max masih berada di kelas yang sama, mereka sempat bertengkar hebat hanya karena berebut mengantarkan wanita paling cantik di kelasnya pulang. Dari sanalah hubungan keduanya tidak akur. “Ngapain tadi dia disini?” “Bantuin aku,” “Bantuin apa, kenapa gak minta bantuan aku, Kim?” “Bukannya kamu lagi sibuk sama Caca?” “Em, tapi.” “Ya gak apa lah, toh juga bukan masalah. Kerjaan aku kelar semua dibantuin sama Kang Dayat. Yaudah aku mau mandi dulu, capek banget.” “Tapi kalau besok-besok butuh bantuan, kasih tahu aku dulu.” “Tapi kalau aku sama Caca sama-sama minta bantuan kamu, kamu mau bantu yang mana duluan?” Max terdiam, ia belum bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Caca. Akhirnya ia juga tidak bisa memilih siapa yang akan dibantunya terlebih dahulu. “Tuh kan diem. Kamu mah cuma ngomong doing,” Kim kemudian bergegas masuk ke kamar mandi, sedangkan Max keluar sesaat setelah Kim menutup pintu kamar mandi. Kluk! Pintu utama ditutup, agaknya Max baru saja keluar. “Baru aja ngomong kalau mau bantuin aku, sekarang malah keluar lagi. Pasti deh ketemu sama si Caca lagi. Lagian apaan sih repot-repot pulang pergi, kenapa gak diem disana terus aja. Huh.”   ***Ddiansaa   Sementara itu, Max kembali ke tempat dimana Caca berada, Rumah Sakit. Caca sedang dirawat di salah satu ruangan yang cukup mewah. Untuk ukuran orang biasa, tak mungkin bisa dirawat dengan perawatan intensif seperti ini. “Memangnya ada apa Mba, saya kira keadaan Caca sudah lebih baik dari sebelumnya?” “Barusan saja, saudara Caca melakukan percobaan bunuh diri. Jadi saya mohon maaf kalau harus memanggil anda untuk datang lagi kesini, tidak ada kontak lain yang bisa saya hubungi.” “Lalu saat ini bagaimana keadaan Caca?” “Baru saja diberi obat penenang, Dokter berpesan agar anda bisa menemani saudara Caca untuk saaat ini. Mungkin nanti saat beliau bangun, anda bisa mencoba untuk menenangkannya, atau sekedar mendampinginya.” “Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak.” Suster lantas meninggalkan Max sesaat setelah membukakan pintu ruangan dimana Caca sedang tertidur. “Entah apa yang sedang terjadi sama kamu Neng, harusnya kamu cerita. Mana disini kamu sendirian. Aku juga gak punya kontak orang tua atau siapapun yang bisa aku hubungi, apa sih yang sebenarnya sedang kamu alami.” Max sedih melihat seseorang yang baru saja dikenalnya tak lebih dari sebulan, berada dalam keadaan tragis. Ia masuk ke dalam club seorang diri, tidak ada yang mengenalkannya. Bos di club malam tempat Max bekerja terkenal sangat jarang sembarangan merekrut orang. Namun beda hal dengan Caca, dia datang dan langsung saja diterima disana. Tak lebih seminggu setelah ia bekerja, club memang terpaksa tutup. Dan kemarin, Caca tiba-tiba menelpon Max untuk meminta pertolongannya. Badan Caca dipenuhi dengan luka memar, agaknya seseorang sudah melakukan tindak kejahatan yang kejam terhadapnya. Namun hingga saat ini, Max belum bisa mendapatkan informasi apapun dari Caca. Setelah beberapa jam Max menunggu Caca sadar, ia ingat dirinya belum memberi tahu Kim bahwa ia pergi dari apartemen, dan mungkin saja mala mini ia tidak bisa kembali. Beberapa kali Max mencoba menghubungi Kim, namun tidak ada jawaban dari sang empunya telepon. “Kim, maaf, harusnya aku beritahu kamu mengenai hal ini dari awal. Aku takut sekarang dia jadi berpikir aku menyukai Caca. Huh,” Max menggerutu sendirian. “Kalau kamu khawatir sama Kim, pulang aja Max. Aku sendirian disini juga gak apa-apa.” Wanita bernama Caca itu akhirnya bangun. “Akhirnya kamu siuman Ca, gimana keadaan kamu?” “Aku baik-baik saja kok Max, kamu gak perlu khawatir lagi.” “Aku temenin kamu ya, boleh? Kamu jangan berbuat hal-hal yang aneh lagi. Sayangi nyawa kamu.” “Barusan aku denger kamu lagi khawatirin Kim, sekarang kok jadi khawatir sama aku. Hahaha” Caca mencoba untuk tertawa. “Jangan belaga kuat begitu, sok atuh cerita.” “Hahaha, sebenarnya aku lagi stress aja. Tapi seneng deh ada kamu yang cuma sebatas temen tapi mau bantuin aku. Maaf juga kalau harus ngerepotin kamu, InsyaAllah gak akan ngerepotin kamu lagi. Malu aku, pasti Kim ngira aku cewek gatel. Hahaha.” “Hush apa sih Ca, gak boleh ngomong kaya gitu. Anggep aja kita temen satu perjuangan. Sama-sama lagi berjuang di kota orang, saling bantu itu wajib.” “Hm, makasih banyak loh ya.” “Bener nih gak mau cerita soal masalahmu sama aku?” “Gak sekarang dulu deh ya, mungkin lain kali Max. Aku masih malu.” “Okay, tapi kamu harus janji. Kalau kamu butuh bantuan apapun, jangan sungkan bilang sama aku. Janji!” Max meraih jari kelingkin Caca, berharap wanita itu bisa berjanji padanya untuk tidak melakukan hal yang tidak baik lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD