MINERVO 14 : Punggung yang Semakin Menjauh

1543 Words
"Wow! Jadi kalian pernah berhadapan dengan hujan batu!? Itu luar biasa! Bro!" kata Jeddy sambil mengunyah daging ayam gorengnya dengan lahap. "Sebetulnya kurang tepat jika menyebutnya dengan 'hujan batu', karena rasanya batu-batu itu seperti dilempar oleh beberapa orang dari atas gedung dengan sengaja," balas Colin dengan nada yang datar, lalu ia menelan gumpalan nasi putih ke dalam mulutnya, dan dia kembali berbicara, "Tapi itu tidak sebanding dengan perjuangan kalian melawan Organisasi Kambing Gila di Kota Groen! Menurutku itu lebih mengagumkan! Dan terdengar seperti kisah pahlawan sungguhan!" Kini Jeddy, Colin, dan Paul sedang menyantap makanan--yang dipesan oleh si tuan rumah--bersama-sama di ruang tamu, mereka duduk berjejer di kursi panjang yang sama. Sebenarnya Colin hendak kembali ke tempat kerjanya, tapi karena ditawari oleh Paul untuk sarapan bersama--dengan sedikit paksaan--mau tidak mau ia harus menurut. Kebetulan juga Colin belum sempat sarapan dari rumah, ini merupakan keberuntungan yang sangat menyenangkan. Ditambah, Colin juga senang karena akhirnya dia bisa bertemu dengan mentornya lagi, setelah menunggu kedatangan orang itu berhari-hari di kedai. Sedari tadi, Jeddy dan Colin terus berceloteh ria, membahas segala hal yang tidak penting, membuat Paul yang sedang makan di samping mereka jadi terganggu. Namun, Paul tidak membentak mereka, karena makanannya masih penuh, dia harus menghabiskannya dulu. Setelah piringnya sudah bersih mengkilau, Paul pun menyimpan benda itu ke permukaan meja dengan kasar, membuat Jeddy dan Colin terkaget mendengarnya. "Jangan banyak omong! b******k! Cepat habiskan makanan kalian! Setelah itu! Cuci piring kalian masing-masing sekaligus piringku juga! Aku hitung sampai sepuluh!" seru Paul dengan mengancam mereka, Jeddy dan Colin langsung memasukkan semua makanannya ke mulut. "Empat!" Kemudian, Jeddy dan Colin buru-buru membawa piringnya masing-masing serta piringnya Paul untuk dicuci di dapur. "Enam!" Saat mencuci di dapur, mereka saling senggol dengan terkekeh-kekeh, berlomba agar tidak jadi yang terakhir. "Sembilan!" Selesai mencuci piring, mereka berlari dengan kencang untuk kembali ke ruang tamu, dan akhirnya mereka berhasil menyelesaikan tugasnya dan duduk lagi di kursi yang tadi. "SEPULUH!" Bug! Bug! Walau Jeddy dan Colin sudah melaksanakan tugasnya tepat waktu, Paul tetap memukul kepala mereka dengan keras, membuat mereka berdua terheran-heran. "Hey, Paul! Mengapa kau memukul kami? Bukankah kami--" "DIAM!" ucapan Colin langsung dipotong oleh bentakkan Paul yang membahana, sementara Jeddy hanya tertawa renyah melihat kejadian konyol tersebut. "Jeddy! Kau juga! Pakai bajumu! Aku muak melihatmu masih telanjang d**a begitu! Menjijikan!" Dan akhirnya Jeddy pun terkena semprotan dari Paul, karena dia masih belum mengenakan pakaian, hanya memakai handuk saja. Dan kini giliran Colin yang tertawa-tawa melihat hal tersebut. "Oke-oke! Bro!" Jeddy pun beranjak dari kursi dan melangkahkan kakinya untuk pergi ke kamar Paul. Dua menit kemudian, Jeddy turun dari kamar Paul dengan mengenakan sweter hijau dan celana pendek hijau, seperti kemarin. "Bagaimana? Aku sudah tampan, belum? Bro? Hahaha!" "Bodoh!" bentak Paul dengan mendecih kesal, melihat penampilan Jeddy. "Mengapa kau memakai baju yang sama seperti kemarin!? b******k! Kau bisa memakai pakaianku di lemari! Tapi  baiklah! Untuk sekarang aku biarkan! Kalau begitu, ayo kita berangkat! b******n!" Paul pun bangkit dari posisi duduknya, berdiri tegak hendak keluar dari rumahnya. Sedangkan Colin yang masih duduk manis di kursi, mengernyitkan alisnya, masih belum mengerti apa yang sedang mereka lakukan. "Hey Paul?" tanya Colin, meminta penjelasan. "Sebenarnya kalian mau pergi ke mana? Ke kampus, kah? Ke sekolah, kah? Ke tempat kerja, kah? Atau mungkin! Kalian akan pergi ke tempat pertemuan para pahlawan, ya!?" Muka Colin tampak berseri-seri saat mengatakan hal itu, kemudian, ekspresinya jadi galau seketika. "Huh... andai saja hari ini aku kebagian libur, mungkin aku akan pergi bersama kalian. Tapi sayangnya, kenyataan tidak seindah itu. Miris sekali hidupku." Jeddy secara refleks terbahak-bahak melihat ekspresi Colin yang kelihatannya sangat kocak. "Hahaha! Ekspresimu itu! Hahaha! Lucu sekali! Bro! Hahah!" "Aku tidak peduli pada kerjaanmu! Pokoknya kau juga harus ikut dengan kami, Colin Sialan!" ucap Paul dengan hardikan yang kasar. "Karena kami akan pergi ke kota yang lain untuk mencari pahlawan berikutnya! Bodoh!" Tiba-tiba ekspresi sendu di muka Colin langsung berubah jadi berkilauan, seperti cuaca yang tadinya mendung jadi cerah seketika. Colin segera beranjak dari kursi, dan berkata pada Paul dengan senyuman lebarnya. "Mencari pahlawan berikutnya, ya!?" Colin tampak senang. "Kalau begitu! Aku harus ikut! Karena aku penasaran dengan sosok pahlawan selanjutnya setelah aku dan Jeddy! Sudah kuputuskan! Hari ini aku akan cuti! Terima kasih banyak atas ajakannya! Paul!" "TAPI!" Seketika Paul membentak Colin dengan wajah yang beringas. "Ganti bajumu! Aku tidak mau melihatmu pergi dengan seragam kedai! Cepat! Ganti bajumu dengan pakaian yang normal di kamarku! Kau bisa memakai baju apa pun di lemariku! Yang penting jangan sampai telanjang bulat! i***t!" Mendengar perintah itu, Colin terkejut. "Eh!?" Colin tampak kebingungan dengan mengerutkan dahinya. "Tapi aku belum pernah masuk ke kamarmu, jadi aku tidak tahu letaknya di mana!" "JEDDY!" Paul memanggil Jeddy, dan orang itu paham dengan maksud panggilan tersebut. Akhirnya Jeddy pun mengantarkan Colin ke kamar Paul. Dan beberapa menit menunggu, akhirnya mereka kembali dengan Colin yang mengenakan jaket denim berwarna biru cerah dipadukan dengan dalaman kaos berwarna putih, serta celana corduroy--celana bahan yang panjang--berwarna biru tua. "Lama sekali kalian! Dasar payah! Kalau begitu, ayo berangkat!" Bzzzt! Bzzzt! Bzzzzt! Baru saja mereka bertiga keluar dari gerbang, ponsel Paul yang ada di saku celananya bergetar-getar, bertanda ada seseorang yang memanggilnya. Dengan gesit, Paul menghentikkan langkahnya sementara, untuk mengangkat telepon tersebut, membuat Colin dan Jeddy pun ikut berhenti. "Ah, maaf mengganggu Anda lagi, Tuan. Ini saya, Roswel. Ingin memberikan informasi seputar target yang akan Anda cari." Ternyata yang menelepon Paul adalah Roswel, dia jadi terbiasa dengan panggilan dari lelaki pucat itu, karena beberapa hal memang harus disampaikan lewat telepon daripada harus bertatap muka setiap saat. Kemudian, dengan tegas, Paul menjawab, "Sudah cepat! Apa yang mau kau sampaikan padaku!? Waktuku tidak banyak, b******k!" "Kali ini, target yang akan Anda temui adalah seorang gadis cilik berusia lima belas tahun yang tinggal di Kota Poppe. Gadis cilik itu merupakan salah satu pasien di rumah sakit jiwa setempat di kota tersebut, Tuan," kata Roswel dengan nada yang lembut. "Dan dari yang saya lihat, dia memiliki rambut panjang berwarna merah muda, tapi kelihatannya dia selalu menguncir dua rambutnya. Tubuhnya sangat kecil dan mungil, dia selalu mengenakan gaun pendek berwarna serupa seperti rambutnya. Dia juga sering memegang permen lolipop di kedua tangannya. Dan kedengarannya, dia selalu dipanggil 'Cherry' oleh beberapa perawat di sana, Tuan." "HAH!?" Paul benar-benar kaget mendengarnya, dia tak sangka kalau manusia yang akan menjadi pahlawan berikutnya adalah seorang gadis cilik yang merupakan pasien di rumah sakit jiwa. Paul tak henti-hentinya melongo saking kagetnya, hingga Jeddy dan Colin pun yang mengamati sikap aneh dari mentornya, jadi ikut-ikutan terkejut. Walau mereka tidak tahu apa yang sedang Paul dengar di telepon, tapi tampaknya itu sangat mengejutkan sampai muka Paul melongo begitu. "Aku penasaran, sebenarnya dia sedang membicarakan apa, ya?" kata Colin dengan menggaruk-garuk lehernya. "Hahaha! Santai saja, paling dia mendengar sesuatu yang lucu, Bro! Jadi jangan terlalu penasaran padanya, hahaha!" jawab Jeddy dengan tertawa terbahak-bahak, membuat Colin jadi lebih heran pada sikap orang ini dari pada Paul; kurasa dari tadi dia tertawa terus, aku jadi penasaran, apa otaknya masih bekerja, ya? Begitulah yang sedang dipikirkan Colin terhadap tingkah Jeddy yang ada di sampingnya. Secara sepihak, Paul langsung menutup teleponnya, karena merasa semua informasi yang disampaikan oleh Roswel padanya sudah lebih dari cukup. Kemudian, Paul memasukkan lagi ponselnya ke saku celana, dan dia pun berseru pada Colin dan Jeddy dengan keras. "Sedang apa kalian berdiri di sana! Gerakkan kaki kalian! Kita akan berangkat ke Kota Poppe! Cepat! Dasar bodoh!" "Kenapa dia malah marah, sih? Bukankah kita di sini sedang menunggunya? Dasar aneh." umpat Colin dengan bisik-bisik pada kuping Jeddy. Dan respon Jeddy tidak tertawa seperti biasanya, karena ekspresi dari lelaki berambut hijau itu terlihat kaget setelah mendengar apa yang diserukan Paul. Kemudian, Jeddy mengabaikan Colin dan berjalan lebih cepat untuk menghampiri Paul, setelah cukup dekat, dia pun bertanya pada  mentornya, "Ke Kota Poppe!? Kau serius, Bro!? Bukankah kota Poppe itu--" "KENAPA!?" Paul langsung menolehkan kepalanya ke Jeddy dengan muka galak. "Kau mau protes, b******k!?" sentak Paul dengan keras, tapi itu tidak berhasil membuat Jeddy terdiam. "Bro, biar kuberitahu!" ucap Jeddy dengan nada yang cukup tegang. "Kota Poppe itu mengerikan! Lebih baik kita berkunjung ke kota yang lain dulu, Bro! Soalnya, teman-temanku banyak yang bilang padaku bahwa sebagian besar penduduk di Kota Poppe adalah boneka yang menyerupai manusia, Bro! Dan yang lebih mengerikannya lagi, boneka-boneka itu kadang tidak suka dengan kehadiran manusia, Bro! Banyak sekali turis yang berkunjung ke sana tiba-tiba meninggal tanpa sebab! Bro!" Mendengar hal itu, Paul hanya menaikan sebelah alisnya dengan sombong. "Itu cuma mitos, bodoh!" kata Paul dengan kasar. "Sebagian besar penduduknya adalah sebuah boneka? Konyol sekali!" Sementara itu, Colin yang berjalan sendirian di belakang mereka hanya mendecih sebal, dia sangat kesal, karena merasa terabaikan di sana. Di balik jendela kamar, ibunya Paul memperhatikan kepergian anaknya bersama dua pemuda asing dengan mata yang berkaca-kaca, dia tampak terharu melihat putranya berjalan bersama dua pemuda tersebut. Dia jadi teringat dengan minggu-minggu kemarin, ketika dirinya melihat Paul berangkat dan pulang dari sekolah selalu sendirian. Tidak pernah anaknya membawa teman sekolahnya untuk sekedar main, sama sekali tidak pernah. Dan sekarang, lihatlah, untuk pertama kalinya, ia melihat Paul membawa teman-temannya ke rumah, bahkan salah satunya ada yang menginap di kamar. Wanita itu tersenyum tipis. "Akhirnya kau punya teman yang dapat kau percaya, Paul," ucap wanita itu dengan suara yang bergetar, sampai tak terasa air matanya pecah dan mengalir di kedua pipinya dengan lembut. "Hati-hati di jalan, sayang," lirih wanita itu dengan terisak-isak, karena tak kuat menahan tangisannya saat memandang punggung anaknya yang semakin menjauh. "Aku titipkan Paul pada kalian, ya, anak-anak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD