MINERVO 01 : Menjadi Seorang Mentor

1634 Words
Matahari menyingsing dengan terik, memanaskan jalanan aspal yang terlihat kelap-kelip terpancarkan oleh sinarnya. Burung-burung beterbangan dengan riang seraya bercicit-cicit ria saling berdendang, meramaikan suasana siang yang begitu panas. Dan suara serangga khas musim panas yang berderik-derik di tiap pepohonan membuat siang hari itu jadi semakin terasa. Lalu, muncul Paul, seorang pemuda berbadan kekar yang wajahnya penuh goresan, sedang mengayuh sepeda secara santai, melintasi jalanan aspal yang sangat panas, ia juga terlihat mengenakan seragam sekolah dari SMA setempat yang cukup terkenal; kemeja putih dibaluti jas putih dan celana panjang berwarna putih, serba putih. Dengan keringat yang membasuhi hampir seluruh tubuhnya, sampai membuat pakaiannya ikut basah, ia terus mengayuh sepedanya, walau cahaya matahari yang saat itu cukup panas, menyengat kulit cokelatnya hingga terasa sakit. Jalanan masih sepi, belum ada kendaraan-kendaraan lain yang lalu-lalang, padahal hari sudah sangat siang, tapi itu wajar, karena daerah tempat tinggalnya memang berada di komplek perumahan yang dikenal selalu hening. Setelah menghabiskan hampir dua puluh menit, akhirnya Paul sampai di depan gerbang rumahnya, dia pun memarkirkan sepedanya dahulu, kemudian dia turun untuk membukakan gerbang rumahnya sendiri, setelah terbuka, ia menuntun sepedanya untuk masuk ke dalam halaman depan rumah. Selesai menyimpan sepedanya di garasi, Paul segera masuk ke dalam rumahnya, dan seperti biasa, ia disambut dengan suasana sunyi yang sangat familiar, hanya terdengar bunyi-bunyi jam dinding yang berdetik, air keran yang mengucur, kipas angin yang menyala, dan semacamnya. Dengan langkah yang lambat, Paul mulai menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya, sesudah sampai di depan pintu kamar, Paul merasa ada yang aneh, entah kenapa, rasanya ada sesuatu di dalam, tidak seperti biasanya, bahkan dia mendengar suara-suara seperti orang yang sedang mengobrol. Apakah ada seseorang di dalam kamarnya? Seingat Paul, kamar pribadinya selalu dikunci dengan rapat, bahkan, kuncinya saja sekarang masih ada di kantung celananya, tapi mengapa seperti ada seseorang yang, tidak, beberapa orang yang telah masuk ke dalam kamarnya? "Ini aneh." Paul mulai terheran-heran, tapi karena penasaran, ia pun dengan cepat mengeluarkan kuncinya dari kantung celana, kemudian memasukkan benda itu ke dalam gembok kamarnya, setelah gemboknya lepas, secara perlahan, dia dorong pintu kamarnya, diikuti dengan perasaan yang sangat tegang. Pintu kamarnya pun terbuka lebar, dan Paul masuk, tapi dia sama sekali tidak menemukan apa pun di dalam kamarnya, apalagi seorang manusia, karena yang ada di dalam sana, hanyalah perabotan kamarnya saja; kasur yang berantakan, lemari buku yang acak-acakan, gitar patah yang tergantung di dinding, potret masa kecilnya yang tertempel di kaca lemari, serta pigura-pigura rusak yang terkumpul di pojokan kamar. Dan cuma itu saja, selebihnya, hanyalah hal-hal biasa. "Mungkin cuman halusinasiku saja." ucap Paul dengan menghela napasnya, dan memijit-mijit keningnya yang sedikit pusing. "Baiklah, sekarang apa?" Dia bertanya pada dirinya sendiri dengan risau, masih dalam posisi berdiri tegak, memandang suasana kamarnya yang seperti kapal pecah. Paul pun mulai kembali mengingat masalah kecil yang menimpanya tadi pagi, sampai membuat ia dikeluarkan secara langsung dari mulut kepala sekolahnya, dan juga membuat ibunya terlibat hingga mendatanginya ke sekolah dengan marah-marah. Memikirkan hal itu saja, membuat kepala Paul jadi terasa sangat pusing. "DIMANA DIA! BIAR KUHUKUM ANAK ITU!" Mengagetkan, seketika suara lengkingan ibunya yang sangat keras dari luar terdengar sampai ke ruang kamarnya yang berada di lantai atas. Ini gawat, ibunya telah pulang, Paul pasti bakal dimarahi habis-habisan sesudah ini. Bunyi jejak kaki yang menaiki tangga, mendatangi kamarnya, membuat Paul bergidik ketakutan. Ah, sial, dia lupa menutup pintu kamar. Itu artinya, ia tinggal menunggu waktu sampai ibunya datang ke dalam kamar, menghabisinya. "DISINI KAU RUPANYA! ANAK BODOH!" Cepat-cepat Paul merebahkan pantatnya di permukaan kasur, duduk tegak di sana, karena bakal melelahkan jika harus mendengar ocehan ibunya yang panjang, dengan posisi berdiri. Paul juga mempersiapkan mentalnya agar saat ibunya menyinggung segala hal mengenai dirinya, tidak membuat hatinya hancur. Tak lupa, dia juga menundukkan kepalanya, agar kesan bersalahnya terasa alami, padahal dia sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun. "TUNGGU!? ADA APA INI!? PAUL! MENGAPA AKU TIDAK BISA MASUK KE DALAM KAMARMU!" Tiba-tiba nada lengkingan sang ibu mulai terdengar berbeda, Paul pun mengangkat kembali mukanya untuk memandang sosok ibu kandungnya, dan secara mengejutkan, dia menemukan sesuatu yang ganjil. "Eh?" Paul segera beranjak untuk menghampiri ibunya yang sedang menggedor-gedor udara kosong di mulut pintu kamar, tampak membingungkan. "Apa yang sedang Ibu lakukan?" "APA KAU TIDAK LIHAT!? AKU TIDAK BISA MASUK KE DALAM KAMARMU! PAUL!" "Eh!?" Paul mulai tersentak, dia tidak percaya kalau Ibunya tidak bisa masuk ke dalam kamarnya, padahal pintu kamar sudah terbuka lebar. Ketika Paul menarik tangan Ibunya untuk masuk ke dalam kamar, rasanya susah sekali, seakan-akan ada sebuah tembok di ambang pintu, menghalangi mereka, padahal tidak ada apa-apa di sana. Tapi anehnya, saat Paul mencoba untuk keluar dari kamar, dia bisa melakukannya dengan normal, dan ketika masuk lagi ke dalam, ia juga bisa. Namun, mengapa hanya ibu kandungnya saja yang tidak bisa masuk ke dalam kamarnya? Aneh sekali. Benar-benar aneh. Karena rasa penasarannya semakin tinggi, Paul mencoba meraba-raba udara di sekitar pintu, dan dia tidak menemukan apa-apa selain kekosongan. Sedangkan Ibunya merasa seperti ada sebuah dinding batu yang menghalangi jalannya untuk masuk ke dalam kamar Paul. "Ibu, kupikir, ada yang aneh di rumah ini," ungkap Paul dengan mata yang menelisik ke setiap sudut ambang pintu. "Bagaimana kalau kita tanya saja ke ahlinya, mungkin ada orang yang membenci keluarga kita lalu mereka mengirim mantra-mantra aneh ke rumah ini." "Itu mustahil! Paul! Mana mungkin di zaman sekarang ada mantra yang dapat membuat udara jadi seperti dinding begini! Ini pasti ulahmu! Kau pasti memasang suatu alat di sekitar pintu kamarmu agar ibumu tidak bisa masuk ke dalam kamar untuk memarahimu! Sudah kuduga! Dasar anak nakal!" Terkejut mendengar prasangka buruk dari sang ibu, membuat Paul jadi sedikit kesal. Dan, saat dia akan membalas perkataan ibunya, sesuatu yang mungil dan bercahaya terbang melintasi hidungnya, membuat mulutnya yang tadinya akan terbuka, tertutup kembali, dan jumlah mereka ada banyak. Paul dan sang Ibu terperanjat melihat hal itu; seperti kunang-kunang, tapi bentuknya bulat dan bercahaya, dan tiap dari mereka memiliki warna cahaya yang berbeda-beda. Saat dihitung oleh Paul, ternyata jumlah mereka ada sepuluh. Sepuluh kunang-kunang. "Paul, mengapa ada kunang-kunang di sini!? Lagipula ini masih siang!" "Aku juga tidak mengerti, Bu," jawab Paul, dengan pandangan yang masih terfokus pada kunang-kunang yang beterbangan di sekitar wajahnya. "Aku penasaran, sebenarnya, dari mana datangnya mereka ini?" "Jangan bercanda! Paul!" bentak sang Ibu dengan nada yang bersungut-sungut. "Dari kecil! Kau memang selalu menyembunyikan binatang-binatang atau pun benda-benda aneh di dalam kamarmu!" "Tapi aku benar-benar tidak tahu soal ini Bu! Aku juga tidak tahu mengapa Ibu tidak bisa masuk ke dalam kamarku! Jadi jangan lagi berpikir bahwa semua hal aneh yang terjadi di sini adalah ulahku! Bu!" "TAPI KAU MEMANG DARI KECIL SELALU MELAKUKAN HAL-HAL YANG NAKAL! JADI IBU TIDAK BISA PERCAYA PADA UCAPANMU! PAUL!" Tiba-tiba, semua kunang-kunang itu melesat terbang ke wajah sang ibu sampai wanita itu menjerit-jerit kesakitan digigit-gigit oleh hewan aneh tersebut. "PAUL! MEREKA MENYERANGKU! HENTIKAN INI! PAUL! MEREKA MENGGIGITKU! CEPATLAH! PAUL! ARGH!" Paul dengan gesit menghampiri ibunya yang terkena serangan kunang-kunang tersebut, sampai wanita itu jatuh terbaring di lantai, dengan tangan bergerak-gerak, mengusir hewan-hewan mungil itu, yang berusaha menggigit wajahnya. "Hus! Hus! Hus! Hey! Pergi kalian! Pergi! Jangan sakiti Ibuku!" Paul menggebah serangga-serangga mungil dengan kedua tangannya, dan anehnya, seperti paham bahasa manusia, mereka mulai terbang menjauhi wajah ibunya. "Ayo Bu! Biar kubantu berdiri!" Sang Ibu meraih tangan Paul dan dia pun akhirnya bisa kembali berdiri, walau wajahnya masih terasa nyeri karena telah diserang oleh para kunang-kunang itu. "Paul, apa wajah Ibu baik-baik saja!?" Mendengar itu, Paul memandang wajah Ibunya dan dengan nada yang canggung, dia menjawab, "Tenang saja, wajah Ibu baik-baik saja." Padahal sebenarnya, wajah wanita itu sedang tidak baik-baik saja. "Syukurlah, kukira wajahku rusak," Kemudian mata sang Ibu melirik ke arah kunang-kunang tersebut. "Paul! Ambilkan semprotan serangga di dapur! Mereka sudah keterlaluan! Cepat!" Namun, saat Paul akan bergegas ke dapur untuk mengambil benda tersebut, seorang pria berkulit putih pucat, berambut hitam, berjubah hitam, dengan mata yang dingin, mendadak muncul di hadapannya. Sang Ibu juga sama kagetnya seperti Paul. "Si-Siapa kau!?" Kedua alis Paul mengernyit, terheran-heran dengan kemunculan seorang lelaki asing di dalam rumahnya secara mengejutkan. Pria pucat itu tersenyum tipis pada Paul. "Halo Tuan Paul, senang bertemu dengan Anda," ucap lelaki pucat itu dengan wajah yang ramah. "Ah, biar kuberitahu, alasan mengapa Ibu Anda tidak bisa masuk ke dalam kamar Anda karena kehendak saya, termasuk juga ketika kunang-kunang itu menyerang wajah Ibu Anda. Lalu, sebenarnya, kemunculan sepuluh kunang-kunang tersebut bukan sebatas hiasan saja, mereka punya makna tersendiri, Tuan." Mendengar penjelasan dari si lelaki pucat, membuat Paul terperanjat dan sedikit bingung, apalagi dengan panggilan 'tuan' yang dia berikan padanya. Paul benar-benar tidak mengerti. "Tunggu dulu!" Sang Ibu mulai tak terima dengan keadaan super aneh ini, logikanya tidak bisa menerima segala keanehan-keanehan yang terjadi di sini. "Sebelum kau berbicara tentang kunang-kunang itu pada Anakku! Aku ingin tahu! Sebenarnya kau ini siapa! Tiba-tiba datang tanpa permisi, kau pikir rumahku ini apa!? Setidaknya! Jika kau ingin bertamu, ketuk pintu dulu!" Mendengar teriakan dari wanita itu, membuat bola mata dingin dari si pria kulit pucat, bergeser melirik ke Ibunda Paul. "Hm... Jadi begitu, kau penasaran mengenai siapa diriku, ya. Baiklah, akan kuberitahu. Tidak ada yang istimewa dari diriku, aku hanyalah seorang pelayan rendahan, yang kebetulan diperintahkan untuk datang kemari." ucap si pria pucat itu dengan senyuman tipis dan nada yang sangat bersahabat. "Lalu, siapa namamu?" Kini, Paul yang bersuara. "Namaku? Sebenarnya saya agak keberatan untuk menyebutkan nama sendiri, tapi karena Anda yang meminta, apa boleh buat," kemudian, ia melanjutkan, "Roswel, nama saya Roswel, Tuan." "Oke. Lalu, bagaimana caranya kau bisa tiba-tiba ada di depanku, Roswel?" Paul kembali bertanya, karena hal itulah yang masih mengganjal di pikirannya. "Untuk datang ke sini, sebenarnya saya menggunakan agios, sebuah permen yang dapat memindahkan tubuh seseorang ke tempat yang jauh, tentunya ketika permen tersebut sudah dimakan, Tuan." "Mustahil! Hanya dengan memakan sebuah permen, kau bisa berpindah-pindah tempat!? Terlalu aneh," ucap Paul dengan terheran-heran."Kalau begitu, bisa kau jelaskan lagi apa makna dari kemunculan kunang-kunang itu, Roswel?" "Baik, Tuan Paul," ucap Roswel dengan menunduk hormat pada Paul. "Jadi begini, Tuan, sebenarnya, Anda telah dipilih oleh Sang Penguasa untuk menjadi seorang Mentor bagi sepuluh kunang-kunang tersebut." "Me-Menjadi seorang M-Mentor!? Untuk sepuluh kunang-kunang!? Apa maksudmu!?" Paul sangat terkejut mendengarnya. "Biar kuperjelas lagi, Tuan, jadi...,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD