Impian Bersamamu

1347 Words
Happy Reading. Sinar matahari menyusup dari balik dinding kayu. Tepat terjatuh di wajah Lukas dan mengusik tidurnya. Mau tak mau akhirnya dia membuka mata. Kepalanya terasa pening sementara tubuhnya lemas seolah tak bertenaga. Sekujur tubuh Lukas pegal-pegal, ada rasa nyeri yang memenuhi seluruh sendinya. Ranjang yang begitu kecil nan sempit, mengharuskan Lukas sepanjang malam tidur dengan posisi miring, sambil memeluk Arabella. Lukas bangkit dengan susah payah, setengah menyeret panggulnya untuk kemudian bersandar di kepala ranjang. Kamar itu sudah kosong, hanya dirinya yang berada disana. Kemana Arabella? Pertanyaan itu bergaung di benak Lukas seketika. Matanya berpendar ke seluruh penjuru kamar. Dia lalu menyibak selimut yang terjatuh di pinggangnya, kemudian menuruni ranjang dengan cepat. "Ara!" panggilnya dengan suara serak yang membahana di udara. Lama kemudian hanya keheningan yang menyahuti Lukas. Dengan cepat bercampur panik dia lalu melangkah keluar dari kamar. Lukas membuka mulutnya hendak bersuara kembali. Akan tetapi ketika mendengar keributan yang berasal dari bawah dia langsung mengatupkan mulutnya. Lukas menuruni tangga kayu itu dengan perlahan-lahan. Dia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi disana. "Kau sudah bangun?" Begitu Lukas sampai di tangga terakhir, dia langsung disambut oleh sapaan hangat dari sosok wanita yang sejak tadi dicarinya. Lukas terkesiap, terkejut ketika menemukan Arabella tengah berkutat di dalam dapur. Perempuan itu sepertinya sengaja bangun lebih dulu darinya untuk menyiapkan sarapan pagi. Kenyataan itu membuat Lukas tersenyum, terharu akan sikap Arabella yang sangat memperhatikannya. Arabella terlihat sibuk dengan masakannya sehingga membuat dirinya tidak begitu meladeni Lukas. "Kau memasak?" Lukas melangkah ke arah Arabella, kemudian berdiri dengan ekspresi bingung di samping perempuan itu. "Aku terbiasa melakukan semua ini. Duduklah, aku akan segera menyiapkan makananmu." ucap Arabella tanpa menoleh pada Lukas. Lukas menatap Arabella, kemudian bersedekap sambil memandangi seluruh kesibukan perempuan itu. "Kau tampak seperti istriku." ujarnya tiba-tiba yang langsung membuat Arabella mengalihkan mata pada Lukas. Arabella tersenyum tipis, "Anggap saja aku sedang melatih diriku untuk menjadi istri yang baik di masa depan." sambungnya seolah menyetujui. Lukas tertawa, lalu tangannya bergerak merapikan helaian rambut Arabella yang terjatuh menutupi wajahnya. Lelaki itu dengan telaten menyelipkan di balik telinga Arabella. "Menjadi istriku tentunya. Aku tidak akan membiarkan kau jatuh ke pelukan lelaki lain." jawab Lukas posesif, mengklaim Arabella dengan lantang sebagai miliknya. Arabella mengerucutkan bibir ketika mendengar kalimat Lukas. Suara bariton Lukas membuat Arabella seketika merinding. Dia segera menggeleng-geleng kepalanya dengan penuh kesabaran menghadap sikap posesif Lukas. "Terserah padamu saja. Aku tidak punya kekuatan melawan mu." Arabella memilih untuk mengalah, dengan begitu dia bisa menyudahi pembicaraan ini. Seulas senyum puas bergulir di bibir Arabella. Dia sangat senang setiap kali Arabella mengalah padanya. Oleh karena itu, Lukas tak perlu lagi membuang-buang energi untuk berdebat dengan wanita tersebut. Melihat Arah yang kembali serius dengan masakannya, Lukas kemudian melangkah ke belakang Arabella, lalu memeluknya. "Lukas apa yang kau lakukan." Arabella berucap setengah berseru, terkejut karena merasakan pelukan yang tiba-tiba. "Aku tidak akan menggangumu. Lanjutkan saja kegiatan mu, aku hanya ingin memeluk mu saja." gumam Lukas pelan. Arabella menolehkan kepala sedikit dan kemudian menghela napas pelan. Dia merasakan Lukas ingin bermanja-manja dengannya sehingga Arabella terpaksa menuruti keinginan lelaki itu. "Hanya memeluk. Aku tidak akan mentolerir jika kau mengganggu ku." ucap Arabella memperingati dengan nada tegas. Lukas menganggukkan kepala, tanpa permisi mengecup tengkuk Arabella. "Maksudku memeluk sambil mencium mu." sahutnya sambil melebarkan senyum tanpa dosa, dan menatap Arabella dari samping, "Kau sangat cantik. Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku jika setiap paginya disuguhkan dengan pemandangan seperti ini." tambahnya lalu kembali mencuri kecupan di pipi Arabella. Arabella tersipu, dia segera memalingkan wajah dari Lukas, tidak tahan dengan tatapan nakalnya yang sengaja untuk menggoda. "Jangan menatapku seperti itu. Kau... harus mandi. Kita akan terlambat nanti." Arabella berucap dengan jantung berdebar-debar tak karuan, suaranya bahkan terdengar seperti berbisik. Bibir Lukas kembali mengurai senyuman ketika melihat Arabella tengah berusaha mencari topik lain. "Setelah ini, bagaimana kalau kau membantuku untuk mandi. Kita bisa melanjutkan apa yang tertunda tadi malam." Lukas berbisik di telinga Arabella, menggesekkan bibirnya disana dengan maksud menggoda. Arabella menelan ludah, tangan kirinya mengepal gugup. Pipinya semakin merona dan dia langsung menundukkan kepala karena malu. "Jangan menggoda. Kau... cepatlah pergi. Aku...aku masih harus menyelesaikan masakan ku." ujar Arabella dengan susah payah menjelaskan. Tangan Lukas bergerak mengusap perut Arabella lembut, kemudian berbisik lagi. "Baiklah istriku. Cepat selesaikan semua ini, suami mu sudah sangat lapar." ujarnya sambil tertawa ketika melihat wajah Arabella semakin merah padam. Dan sebelum Lukas melangkah pergi, dia lalu mengecup pipi Arabella, meninggalkan bekas ciumannya di tempat yang sama sampai membuat Arabella tertegun. ***** "Dimana Lukas." Ruth langsung melontarkan pertanyaan ketika dia sudah tiba di ruang makan. Semua pelayang segera memberi hormat, dan menyingkirkan dari meja makan dengan patuh dan teratur. Ruth kemudian duduk di kursi kebesarannya, matanya yang tajam menatap Diana seperti hendak menelannya hidup-hidup. "Sampai sekarang aku tidak tahu dimana Lukas. Mungkin saja dia memiliki urusan dengan teman-temannya." Diandra mencengkram sendoknya kuat, berusaha sekuat tenaga supaya tetap tenang. Ruth melempar tatapan menyelidik, menelitinya ekspresi Diana. "Bukankah Arthur pengawal pribadinya. Kenapa kau tidak menanyakan keberadaan Lukas padanya." ucap Ruth dengan nada tidak suka. Diana mendongak, memberanikan diri untuk menatap Ruth. "Aku juga tidak melihat tanda keberadaan Arthur di rumah ini nenek. Sepertinya Arthur sedang bersama dengan.... "Kurang ajar." Ruth membanting sendoknya dengan kasar, dan hal itu membuat Diana langsung tersentak kaget. "Semakin lama anak itu semakin sulit diatur. Aku harus memberi pelajaran padanya. Lukas tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika tidak, dia akan besar kepala dan bersikap semena-mena terhadap keluarga ini." Mata Diana langsung melebar mendengarnya. Firasat buruk seketika memenuhinya batinnya. Diana menatap Ruth takut-takut, ingin bersuara untuk mendinginkan suasana. Namun sebelum itu terjadi, Ruth sudah terlebih dulu berdiri dari duduknya dan membuat Diana pun refleks berdiri. "Kau lanjutkan sarapan mu. Setelah itu kau boleh pergi untuk mengurus acara pernikahan mu." perintah Ruth dengan tegas tak terbantah. Diandra menganggukkan kepala patuh, keberaniannya untuk berbicara lenyap sudah ditelan kegugupannya sendiri. Tatapan Ruth menajam, penuh kebencian ketika mengamati seluruh tingkah laku Diana. "Kali ini jangan salah lagi. Jonathan adalah lelaki yang baik dan sangat tepat bagimu. Selain mandiri, dia juga bisa bertanggungjawab." Ruth menjeda sesaat kembali mengamati Diana dengan tatapan tak terbaca sebelum kemudian melanjutkan, "Tidak seperti kekasih mu dulu, yang hanya bisa memanfaatkan keluarga kita. Kau beruntung Jonathan masih mau menerima mu meskipun kau bukan lagi seorang perawaan." Perkataan terakhir Ruth membuat Diandra langsung terdiam. Tubuhnya membeku kaku, lidahnya kelu. Rasa sakit yang menggulung-gulung membuat napas Diana sesak. Dia kehilangan keseimbangan dan hampir membuat tubuhnya oleng jika tidak segera berpegangan pada pinggiran meja. Diana gagal, meskipun dia sudah menahan diri sekuat tenaga supaya tidak menangis namun rasa sakit itu memaksa air matanya menyeruak tanpa ampun, jatuh berlinangan di pipinya. Diana menggigit bibirnya yang gemetaran, berusaha tetap tegar dengan meraup napas banyak-banyak. Sementara itu Ruth hanya tersenyum tipis melihat kesakitan Diana. Tidak peduli dengan kata-kata tajamnya yang begitu melukai hati wanita tersebut. "Kau tidak perlu menangis. Karena selain menjadi aib, kau pun tak lagi berharga di mataku." ****** Ara, pasangkan dasiku." Arabella yang sedang bersiap-siap langsung menoleh begitu mendengar suara Lukas. Ada senyum kecil di bibirnya ketika melihat lelaki itu tampak kesulitan dalam mengenakan dasinya. Arabella menghampiri Lukas dengan senyuman, lalu menggerakkan kedua tangannya, membantu Lukas untuk mengenakan dasinya. “Menunduklah. Aku tidak bisa menggapai lehermu. Kau sangat tinggi.” Pipi Arabella merona saat menemukan senyum mengejek di mata Lukas. Sambil tersenyum tipis, Lukas menunduk membawa wajahnya sejajar dengan wajah Arabella. Menyadari jarak wajah mereka yang sangat dekat, Arabella memundarkan kepalanya sedikit, hendak menciptkan jarak. “Kenapa?” Lukas mengerutkan dahi, tidak suka saat Arabella menjaga jarak darinya. Arabella menggelengkan kepalanya keras-keras, menatap lurus ke dalam mata Lukas meskipun harus menahan gugup setengah mati. “Aku.. tidak bisa berkonsentrasi.” Ucapnya terbata, kemudian mengarahkan matanya ke dasi Lukas. “Kau malu?” seolah tidak puas dengan jawaban Arabella, kembali Lukas menodong Arabella dengan pertanyaan mendesak. Senyuman jahil muncul di bibir Lukas, mengamati Arabella begitu lekat. “Aku menyuruh mu untuk memasangkan dasi ku bukan mencium ku. Kenapa harus sepucat itu?” Arabella terperangah, tangannya yang pucat langsung bergetar akibat kata-kata Lukas. Dia lalu mendongak, dan di detik itu pula pandangannya bertemu dengan Lukas. "Aku... hanya sedikit tidak nyaman. Aku.. gugup," sahut Arabella mencicit
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD