Tik tok tik tok. Jarum jam menunjukkan pukul 5.00 pagi.
Max terbangun dengan tubuh Julia yang meringkuk dalam peluknya. Wajah cantik Julia yang terlihat damai. Rambut hitam panjang yang tergerai menutupi sebagian wajah Julia, Max menyingkirkannya untuk dapat mengecup kening wanita dalam pelukannya saat ini. Lengan kekar Max memeluk dengan erat tubuh Julia.
Entah mengapa Max merasakan tubuhnya nyaman memeluk tubuh Julia, ia tak ingin beranjak pergi. Tidak seperti biasanya dengan wanita lain, ia selalu meninggalkannya dengan sekali sampai 2 kali pencapaian. Tapi dengan Julia, ia seakan tak pernah puas dan selalu menginginkannya lagi.
Malam tadi ia telah membuat seorang Julia Ross menjerit penuh kenikmatan dalam pencapaian yang luar biasa hingga berulang kali. Dan Max tidak merasa bosan dengan tubuh Julia. Diluar dugaan Max, akhirnya ia menemukan satu-satunya wanita yang mampu mengimbangi kegilaan dirinya akan keintiman.
Milik Max kembali tegak saat Max menciumi leher jenjang Julia dan meninggalkan kissmark di sana. Max meraih telapak tangan Julia, dengan kuku bercat merah dan meletakannya di miliknya yang berdenyut.
“Ahhhh... Julia,” desah Max penuh kenikmatan dengan mata terpejam.
Tanpa menunggu lagi, Max langsung melumat bibir Julia hingga membuatnya mengerang.
“Aku menginginkanmu lagi, Julia.”
Max tenggelam dalam gundukan kedua d**a milik Julia Ross.
***
Minggu pagi yang cerah, dengan sinar matahari yang tak terlalu panas. Sinarnya sudah mengintip masuk ke dalam kamar Julia. Gorden dengan gemulai melambai-lambai tertiup angin. Semilir menerpa kulit punggung Julia yang terbuka.
Julia terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Terasa berat. Tubuhnya tertutup hanya sampai batas pinggang. Tanpa mengenakan apapun, polos. Julia terduduk di atas ranjang. Selimut yang melorot dan diabaikannya hingga tampak kedua p******a Julia yang terbuka. Julia merasakan keanehan pada kepalanya, ringan, tak seberat semalam. Julia mencoba mengingat, mengulang apa yang terjadi semalam, tapi tidak ada yang dapat diingatnya. Julia beranjak dari ranjang, menuju kamar mandi. Memutuskan untuk berendam, menenggelamkan dirinya dalam bathtub.
***
Julia merasakan keanehan pada tubuhnya pagi ini. Ada sesuatu yang mengganggunya namun ia tak mengerti apa. Bagai labirin yang berputar-putar tanpa jalan keluar. Julia tak mampu mengingat apapun selain dirinya yang menangis. Dirinya kian bingung saat mendapati ada banyak kissmark ditubuh mulusnya. Matanya terbelalak, memicing penuh kebingungan. Berulang kali Julia memutar tubuhnya di depan cermin, jejak yang tampak nyata.
Sepanjang perjalanannya menuju hotel Normadi tempat peluncuran buku milik sahabat Julia, Charlie McKenzie, banyak pertanyaan yang menggelantung di otaknya. Julia mencoba menyingkirkan pikirannya sendiri dengan memutuskan untuk membaca ringkasan skrip yang telah dibuat oleh Lily. Ia tak ingin mengecewakan sahabatnya dengan ketidaksempatannya untuk membaca buku sebelum peluncuran.
Ponsel milik Julia berdering. Terasa getarannya dari dalam tas Hermes milik Julia. Dirogohnya cepat hingga ponselnya berada dalam genggaman tangan, nama Lily muncul disana dan layar ponsel berubah terang.
“Hallo Lily.”
“Hai, kau dimana?” tanya Lily dari seberang sana dengan suara penuh antusias.
Julia menatap keluar jendela taksi yang ditumpanginya. Jalanan yang tampak ramai. Kota yang tak pernah tidur pikir Julia. Butik-butik ternama berjejer dengan hiasan yang unik untuk menarik pembeli, orang berlalu lalang dengan kesibukan melawan kecepatan waktu. Seakan berlomba untuk kehidupan.
“Aku sedang dalam perjalanan, mungkin 15 menit lagi sampai,” jawab Julia sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Terdengar desahan nafas Lily diujung telepon. Terdengar melegakan.
“Syukurlah, aku kira kau melupakan jadwalmu,” ucap Lily.
“Aku sedang membaca skrip yang kau kirimkan. Thanks, Lily,” ujar Julia penuh rasa terima kasih atas semua yang dilakukan Lily, sahabatnya. Julia merasa dirinya dibekahi dengan memiliki sahabat seperti sosok Lily. Skrip sebanyak 30 lembar yang ada dipangkuan, dibaca Julia dengan seksama. Lily membuat ringkasannya dengan detail dan memudahkan Julia untuk mengingat jika Charlie tiba-tiba mendapatkan inspirasi untuk bertanya padanya atau meminta pendapatnya. Skrip thriller berbalut romansa. Karya kesekian milik Charlie, dan semua karyanya selalu menjadi best seller.
“Sudahlah, aku hanya berfikir kau sedang sibuk dengan kepindahanmu. Jadi tidak ada salahnya jika aku membantumu. Dan alasan lainnya karena aku suka buku-buku, Charlie,” Lily memberikan alasan dengan suara yang antusias.
“Ya, aku juga.”
“Kau besok sudah ke kantor lagi?” tanya Lily kali ini.
Terdengar suara pulpen yang berbenturan dengan meja. Tuk tuk tuk.
“Ya, pekerjaanku sudah menanti Lily. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih untuk semua bantuanmu. Aku hampir sampai.” Julia mendapati hotel yang ditujunya menjulang tinggi tampak di kejauhan.
“Ok, sampai bertemu besok. Selamat menikmati acaranya. Salam untuk Charlie.”
Hubungan telepon berhenti. Julia memasukan ponselnya dalam tas. Hari ini Julia mengenakan dress dengan panjang sampai ke lutut, berwarna coklat tua dengan bagian bahu yang terbuat dari bahan kaca. Tampak samar. Julia membiarkan rambutnya tergerai tanpa hiasan apapun. Ia berusaha memilih gaun yang dapat menutupi tubuhnya dari jejak kissmark yang ia sendiri tidak ketahui asalnya darimana. Gaun hitam dengan bahu terbuka yang awalnya sudah dipersiapkan Julia terpaksa di singkirkannya. Masuk kembali ke dalam lemari pakaiannya.
Sesampainya di lobby hotel, Julia bergegas menuju ruangan tempat acara berlangsung. Sudah tampak ramai dengan para undangan. Acara yang dihadiri para penulis dan penerbit ternama lainnya. Senyum manis yang tak pernah lepas terukir dari wajah Julia sepanjang kehadirannya. Berulang kali ia membalas sapaan tamu lainnya. Atau hanya sekedar melambaikan tangannya sambil lalu. Meski tampak canggung, Julia berusaha untuk membaur dengan tamu lainnya. Julia sosok yang ramah, ia selalu berusaha keluar dari sikap introvert yang ada dalam dirinya.
Julia berkeliling. Ruang pertemuan yang luas terasa menyusut dengan kehadiran para tamu yang jumlahnya luar biasa. Kehadiran sosok-sosok kaum level atas membuat acara kian berkelas. Kehadiran para jurnalis dari berbagai media kian membuat pemberitaan tayang dimanapun.
Beberapa meja panjang yang ditata rapi, dan hiasan yang luar biasa artistik dengan menu yang diberikan tampak lezat. Semua makanan seakan memanggil-manggil untuk dicoba. Tapi Julia tidak tertarik, selain kopi panas di sudut ruangan. Julia merasakan tubuhnya butuh kafein. Jejak kissmark pagi ini sudah membuat otak Julia merasa kosong, ia butuh dirinya untuk tetap waras.
“Hi Julia,” sapa Charlie dari arah belakang Julia.
“Hi Charlie,” balas Julia sambil berbalik dan tersenyum.
Mereka saling memberikan kecupan di pipi dan pelukan hangat. Terasa aura membahagiakan dari keduanya.
“Aku senang melihatmu di acaraku,” ujar Charlie dengan senyum yang terpampang di wajahnya yang mulai keriput di usianya kini. “Aku yang merasa bangga mendapatkan undangan darimu, Charlie,” timpal Julia sambil menyeruput kopi panas di cangkir yang dipegangnya.
Sesekali Charlie mengangguk membalas sapaan dari tamu undangan lainnya yang melintas.
“Ayo kita masuk, aku telah menyiapkan tempat khusus untukmu, Julia,” ajak Charlie. Diraihnya telapak tangan Julia.
“Aku merasa tersanjung, Charlie,” timpal Julia.
Julia tersenyum kian manis untuk perlakuan Charlie yang baik terhadap dirinya. Mereka berjalan memasuki sebuah ruangan besar yang sudah dipenuhi para undangan sambil bergandengan tangan. Julia berjalan beriringan dengan langkah Charlie menuju sebuah meja bulat yang terletak di tengah pada baris kedua. Letak yang sangat strategis. Sebuah buket bunga dengan vas keramik menghiasi tengah meja.
Charlie menggeser sebuah kursi yang kemudian dipersilahkan untuk Julia. Cangkir berisi kopi panas diletakan Julia tepat di sampingnya. Masih mengepul. Aromanya berkeliaran kemana-mana.
“Thanks Charlie,” ucap Julia dengan penuh makna.
Julia duduk bersisian dengan Charlie. Mereka membicarakan buku yang akan diluncurkan beberapa menit lagi. Seperti dugaan Julia dan Lily. Yang disyukuri Julia, ia sudah sempat membaca sebagian dari buku yang dimaksud, semua tersaji dalam skrip yang dibuat Lily. Sepertinya Charlie ingin memastikan tamu-tamunya datang dengan minat untuk buku terbarunya.
“Hello Julia,” sapa seorang pria dari seberang meja dimana Julia duduk.
Pupil mata Julia melebar saat mendapati sosok di hadapannya. Sosok yang teramat Julia ingin kubur dalam-dalam, bahkan hingga tidak berjejak lagi.
“Rob, kau…” kalimat Julia menggantung.
Pria yang telah mencampakkan Julia kini berdiri tepat di hadapannya dengan jas hitam yang membalut kemeja warna biru muda. Rambut yang disisir kebelakang.
“Hi Charlie,” sapa Rob kepada Charlie dengan suara yang terdengar ramah.
Charlie hanya membalas dengan anggukan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Charlie. Ada rasa tak suka dalam tatapan mata Charlie yang tertuju pada Rob. Namun sikap Rob seakan tidak peduli. Ia tampak acuh.
“Bagaimana kabarmu, Julia?” tanya Rob dengan tatapan intens kearah Julia.
Julia tersenyum, hatinya berdebar kencang seketika. Rasa panik mulai menghinggapi Julia. Diluar perkiraan Julia jika harus bertemu dengan masa lalunya di sini. Ditengah keramaian acara penting milik sahabatnya. Dihelanya nafas panjang dan dihembuskannya perlahan, hingga tidak kentara dihadapan siapapun. “Aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat,” jawab Julia dengan senyum mengembang.
Butuh usaha dan tekat keras dari Julia untuk terlihat sempurna di hadapan sang mantan.
“Ya, kau tampak lebih cantik dari sebelumnya, Julia,” selak Charlie tiba-tiba dengan makna sindiran. Charlie meraih telapak tangan Julia dan memberikan kecupan pada punggung tangan yang di genggamnya erat.
Julia tersenyum semanis yang dia bisa.
Kasus perceraian Julia dan Rob sudah bukan rahasia lagi. Dengan berita yang beredar atas ketidakmampuan Julia untuk urusan s*x membuatnya tertinju telak. Rob hanya tersenyum miring, ada seringai mencurigakan dibaliknya. Secara mengejutkan seseorang memanggil Rob dari kejauhan. Hingga tak hanya Rob yang menoleh, tapi Julia dan Charlie pun ikut mencari asal suara.
Seorang wanita cantik nan seksi dengan pakaian ketat yang membungkusnya melambaikan tangan ke udara. Ya, wanita yang menjadi pasangan Rob kini. Julia ingat betul dengan wajah wanita itu. Perasaan Julia kian tak menentu. Peri cinta dalam dirinya seakan menabuh genderang perang. Julia tetap berusaha tetap berpikir sehat.
“Baiklah, aku permisi dulu. Senang bertemu denganmu, Julia. Bye, Charlie,” pamit Rob dengan wajah licik.
Julia dan Charlie melepas dengan senyum masam. Julia menghela nafas panjang yang kemudian ia hembuskan dengan kasar. Kali ini tidak ada yang perlu Julia sembunyikan. Tampak di atas panggung sang pembawa acara sudah mulai berbicara. Suaranya bergema keseluruh sudut ruangan. Julia mulai merasakan kegelisahan dalam dirinya. Telapak tangannya terasa berkeringat.
“Abaikan Julia. Rob tak lebih dari seorang b******n yang harus kau lempar ke neraka,” bisik Charlie sambil menepuk punggung tangan Julia.
Julia tersenyum meski jantungnya masih belum normal. Hatinya tiba-tiba terasa perih. Sekilas Julia melirik kearah Rob dari sudut matanya, didapatinya Rob yang ternyata duduk tak jauh dari meja tempatnya berada. Rob dan wanita itu sedang berciuman. Julia hanya dapat menelan ludah.
***
Julia memutuskan untuk langsung pulang seusai acara. Ia merasakan ada yang tidak beres dengan dirinya. Rasa pening yang menghantam kepalanya mulai terasa lagi. Julia mengirimkan pesan kepada Lily jika dirinya bertemu dengan Rob di acara Charlie. Julia membutuhkan seseorang untuk menumpahkan isi kepalanya.
“Pria b******n, dia masih berani muncul dihadapanmu bersama wanita p*****r itu. Aku akan menyiramnya dengan air keras,” pesan balasan dari Lily dengan nada kesal dan marah. Julia hanya tersenyum masam saat membacanya.
Taksi yang ditumpangi Julia berhenti tepat di depan pintu masuk apartemen. Disambut Nick sang penjaga pintu. “Hello Mrs. Ross,” sapa Nick.
“Hi Nick,” balas Julia.
Julia berjalan menuju lift. Ia langsung masuk dan menekan tombol tempat lantai yang dituju. Di dalam lift Julia tidak sendiri. Ia mendapati seorang pria setengah baya dan seorang gadis berusia belasan menurut perkiraan Julia, mereka bergandengan tangan dengan erat. Sepintas lalu Julia memperhatikan, sepasang telapak tangan yang saling bersilangan, ia hanya berfikir pasangan ayah dan anak. Tanpa ada hal lain dibaliknya. Membuang semua pikiran aneh di kepalanya, genggaman erat yang tak biasa.
Julia bergegas keluar dari lift saat pintu lift terbuka. Dan betapa terkejutnya Julia sebuah tas besar menghalangi jalannya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, tak seorangpun didapatinya, kecuali sebuah ruangan apartemen yang berjarak selisih 2 pintu dari miliknya terbuka lebar. Julia berjalan untuk mendekat dan melihat apa yang terjadi.
Tampak kosong dari tempat Julia berdiri di bibir pintu. “Hallo,” suara Julia memecah keheningan.
“Hi,” sapa seorang wanita cantik dengan riasan tebal dan polesan lipstik berwarna merah menyala. Wanita itu muncul dari balik dinding. Wajahnya terlihat ceria.
“Barang-barang ini milikmu?” tanya Julia dengan seulas senyum.
Wanita itu mengangguk. Wanita bertubuh mungil dan berambut hitam lurus sebahu.
“Iya. Oh maaf jika mengganggumu. Aku baru pindah hari ini,” katanya.
Julia menganggukan kepala bagai burung pelatuk. Barang yang sama banyak dengan dirinya saat pindah beberapa hari yang lalu.
“Kenalkan namaku, Casey William,” wanita itu mengulurkan tangannya ke hadapan Julia.
“Ya, namaku Julia. Julia Ross. Senang berkenalan denganmu, Ms. William,” ujar Julia sambil menyambut uluran tangan wanita di hadapannya. Mereka saling tersenyum.
“Panggil aku, Casey. Kita akan bertetangga,” katanya dengan wajah semringah.
Julia tersenyum tak kalah manis.
“Ya, kau benar.”
Wanita itu berjalan keluar untuk mengambil barang lainnya yang tergeletak di lorong apartemen.
“Maafkan aku jika barang-barangku menghalangimu,” Casey berujar sambil menenteng sebuah tas besar. Sebuah tas yang tampak berat jika dilihat dari ekspresi Casey saat membawanya.
“Biar aku bantu.” Julia meraih sebuah tas lainnya. “Tidak perlu aku bisa melakukannya,” kata Casey yang berjalan dihadapan Julia.
“Bukan masalah untukku,” timpal Julia.
Julia membawa 2 buah tas milik tetangga barunya. Ia meletakkan barang tersebut di lantai yang kosong. Ruangan yang sama persis dengan miliknya. Hanya saja ruangan milik Casey tampak lebih berwarna dengan barang-barang yang full color. Tampak lebih semarak.
“Aku letakan disini?” tanya Julia.
“Ya, terima kasih aku sudah merepotkanmu--”
“Julia, kau bisa panggil aku, Julia,” sambar Julia cepat.
Casey terdiam sesaat. Seakan ada seseuatu yang baru diingatnya. Mereka saling bertatapan.
“Sepertinya ada paket yang datang untukmu,” ujar Casey.
Julia menatap Casey dengan kening berkerut. Casey berbalik, berjalan ke sebuah lemari di sudut ruangan. Keheningan yang menyelinap sesaat sebelum Casey berjalan kembali kehadapan Julia.
“Julia Ross, ya ini paket yang datang untukmu.”
Casey memberikan sebuah bungkusan pada Julia. Mereka saling melepaskan senyuman. Julia mencari nama si pengirim. Tertera jelas nama salah seorang klien Julia di kantor. Hingga sebuah dering telepon terdengar memecah suasana ruangan.
“Maaf aku…”
“Ya, terima kasih untuk paket ini, apartemenku 2 pintu dari sini. Senang berkenalan denganmu, Casey,” ujar Julia sambil melangkah mundur dan berbalik untuk keluar. Ia meninggalkan Casey ditempatnya.
Julia berjalan menuju apartemennya sendiri. Membuka pintu dan menguncinya rapat di belakang langkahnya. Bagai refleks, dan sudah menjadi kebiasaan bagi Julia begitu ia memasuki tempat tinggalnya, ia langsung melepaskan pakaiannya, hingga menyisakan pakaian dalam yang membungkus tubuhnya, bahkan terkadang Julia akan memilih untuk telanjang jelang jam tidurnya.
***
Tampak di layar CCTV milik Max, Julia yang hanya mengenakan pakaian dalam dan kepala yang masih terbungkus handuk usai mandi. Wajah cantik Julia tampak segar meski tanpa riasan.
“Kau selalu menggoda untukku dengan tubuhmu, Julia,” desis Max sambil menatap Julia dalam layar di hadapannya.
Julia berada di ruang tengahnya, di meja yang selalu dipergunakan oleh Julia untuk bekerja. Max memperbesar fokus pada layar dihadapannya. Sebuah paket yang sedang dibuka oleh Julia dengan penuh kehati-hatian. Max memperbesar fokus layarnya pada bagian nama pengirim. 3 buah buku diterima Julia dari dalam paket. Buku yang tampaknya membuat Julia tersenyum.
Julia mengenakan pakaian dalam berwarna hitam, baik bra maupun calana dalamnya. Warna yang selalu senada. Bra yang membungkus pas untuk kedua d**a milik Julia yang berisi. Celana dalam berbahan tipis nyaris menyerupai G-string menutupi area pribadi Julia dengan sempurna.
Max terus mengamati semua gerak-gerik Julia dalam apartemennya. Semua hal, tak ada yang terlewati. Begitu juga dengan reaksi terkejut Julia saat didapatinya sebuah teropong bertuliskan Secret Admirer di sebuah kartu yang tergantung pada bagian teropong. Julia menatap heran benda yang terpasang di dekat jendela apartemennya.
“Secret Admirer,” desis Julia penuh kebingungan. Julia menoleh ke kiri dan ke kanan.
Max tersenyum puas melihat reaksi Julia dari balik kameranya. Tampak kebingungan tapi tidak mempertanyakan lebih jauh bahkan sampai menyingkirkan barang tersebut. Tampak Julia yang sedang mencoba teropong tersebut. Mengarahkan fokusnya pada objek di seberang apartemennya. Tak lama Julia terkekeh seorang diri. Tawa yang dirasa renyah, dan membuat wajah cantik Julia kian manis.
“Aku senang kau menerimanya, Julia,” ucap Max pada dirinya sendiri sambil tersenyum-senyum.
Max beralih pada layar monitor lainnya. Dari sekian banyak layar CCTV dalam ruangannya, kali ini entah mengapa Max begitu tertarik dengan layar CCTV yang berada di samping kanannya yang nyaris tidak pernah ia tengok.
Tampak Dave yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Ekspresi wajahnya tampak serius, dan membuat Max penasaran. Max menjulurkan tangannya untuk menekan sebuah tombol, memperdengarkan percakapan Dave dari dalam apartemennya.
“Kau harus melihat wanita itu. Dia benar-benar mirip sekali dengan Grace yang ditemukan mati bunuh diri, Rich,” ujar Dave dengan serius.
Kening Max berkerut sambil tetap mendengarkan.
“Aku rasa kau berhalusinasi, Dave.”
“Tidak, kau harus menemuinya. Dia tinggal di apartemen Lt. 12 nomor 5. Namanya Julia Ross. Aku sudah menanyakan padanya tentang hal ini.” Dave menjelaskan panjang lebar tanpa jeda sedetikpun.
“Lantas dia bilang apa? Apakah saudara kembarnya?”
Tampak Dave yang menggelengkan kepala. Ia terlihat kecewa dengan hasil yang didapatnya. Terdiam sesaat sebelum melanjutkan percakapannya.
“Mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Wanita itu anak tunggal.”
Max menganggukan kepala dan tersenyum miring mendapati informasi yang keluar dari mulut Dave. Informasi mengenai Julia Ross. Menarik untuk Max.
Max beralih kembali ke monitor yang menampilkan Julia didalam apartemennya, Julia yang sedang membaca buku. Julia tampak santai dan nyaman dengan hanya menggunakan pakaian dalamnya saja. Dan sungguh godaan bagi Max yang melihatnya. Ereksinya yang terbungkus mulai berkedut.
Di monitor lainnya, terlihat Casey William yang polos tanpa mengenakan apapun. d**a milik Casey yang besar, dan titik intim yang tampak baru habis di cukur habis.
“Seksi yang tak kalah dari Julia,” desis Max. Ia memasukan jarinya ke dalam celana. Milik Max kian berkedut hebat setelah melihat Julia dengan pakaian dalamnya dan Casey yang polos dengan kulit yang lebih kecoklatan.
Casey penghuni baru di lantai yang sama dengan Julia. Ia sedang berada dalam kamar mandi dan menuangkan sesuatu dalam sebuah wadah. Bubuk halus yang kemudian bubuk itu ia ambil dengan menggunakan kuku jari kelingkingnya yang panjang. Casey memasukan bubuk putih itu ke dalam hidungnya. Tertunduk sesaat sebelum tiba-tiba Casey mendongakkan kepalanya. Nafas panjang dengan mata terpejam. Semua terpampang di depan mata Max.
“Ternyata kau tak hanya seksi, tapi juga pecandu,” desis Max dengan segala pikiran dalam kepalanya mengenai Casey. Senyum yang tampak terlihat jahat dibalik wajah tampan Max.
Max menarik turun celananya, membebaskan miliknya yang sudah mulai membesar dalam genggamannya. Arah tatapan Max masih terus tertuju pada Casey yang mulai menenggak segelas wine yang digenggamnya. Gelas yang berakhir kosong tanpa sisa.
Isi kepala Max bercampur aduk bersamaan dengan gairahnya yang sudah terbangun dan siap meledak. Casey yang sudah setengah sadar dalam pengaruh kokain. Julia yang tampak tertidur pulas dengan buku yang menutupi perut terbukanya.
“Kita akan bermain malam ini sayang,” ucap Max sambil beranjak dari kursinya. Meninggalkan monitor-monitor di hadapannya. Max sudah tak tahan lagi dengan gairah yang menyelubungi semua indera di tubuhnya. Semua seakan berteriak minta dituntaskan.
Sepeninggal Max dari apartemennya, tampak di monitor, Dave yang tak sadarkan diri di kamar mandi, di bawah kucuran shower.
***