"Kamu mau ke mana, Dios?" tegur Regal begitu melihat Dios pelan-pelan membuka pintu kamar apartemen. Dios berbalik dengan leher tegang seolah di belakangnya ada hantu menampakan diri. "Ditanya malah cengengesan! Berapa kali kamu dibilangin jangan pergi sembarangan!"
Dios menggerak-gerakan tubuhnya miring ke kanan dan kiri. "Sudah sangat lama aku tak membuat masalah. Kali ini juga. Janji!" Dios memperlihatkan jari telunjuk dan tengahnya. Regal menatap pria itu curiga. "Aku hanya beli cireng di tempat biasa. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan penjualnya. Bisa dibilang rindu yang sudah sangat menggebu," alasan Dios.
Regal mengerutkan dahi. "Aku tahu kita tak bisa pacaran hingga akhir masa kontrak. Bukan artinya kamu harus begitu dengan tukang cireng." Regal bergidik.
Tangan Dios menepuk lengan atas pria itu yang agak berotot. "Aku masih normal! Tunggu saja di rumah. Nanti aku bawakan makanan untuk kalian. Tenang saja, paling setelah ini pelatih minta kita traveling di lapangan dua puluh kali," celetuk Dios.
Dia membuka pintu, melambaikan tangan pada Regal kemudian mencelat pergi. "Kalau sampai kamu buat masalah lagi, Dios! Aku benar-benar akan kirim kamu ke Uranus!" teriak Regal sambil menyembulkan kepalanya di antara ujung daun dan rangka pintu.
Sedang Dios turun dari apartemen dengan menggunakan lift. Tiba di lantai dua belas, seorang wanita mengenakan pakaian training dan topi masuk ke dalam lift yang sama. Dios bergeser mencoba memberikan ruang.
"Kamu artis juga?" tanya wanita itu. Dia tak berani melirik ke arah Dios. Sedang yang ditanya malah sengaja menunduk agar melihat wajah wanita itu. Jelas perempuan dengan topi merah muda itu menghadap ke sisi lain dan menutupi wajah dengan telapak tangan.
"Kamu akan diam-diam berkencan? Hati-hati kalau begitu!" ucap Dios. Lift berhenti di lantai paling bawah yang merupakan tempat parkir. Dios menyalakan mobil pribadinya. Dia naik benda itu. Hendak menjalankan kemudi, Dios melihat wanita tadi terdiam di sisi lintasan jalan keluar. Tak lama sebuah mobil berhenti.
Wanita tadi masuk ke dalam sana. Karena gelap, Dios bahkan tak bisa melihat bayangan mereka. Hanya saja dia refleks langsung memfoto plat mobil itu. "Yang punyanya artis sini juga? Yang jelas bukan anggota grupku, mereka semua ada di asrama dan mereka semua aura jomlonya sangat kuat," komentar Dios.
Kini mobil Dios mulai meninggalkan parkiran. Pria itu terus melanjukan kendaraannya hingga masuk ke dalam sebuah perkomplekan sepi. Di ujung jalan ini ada mobil lain yang sudah menunggu. Dios berbelok. Dia menepikan mobil di sisi lapangan. Terlihat seorang wanita mengenakan topi berdiri di tengah lapangan. Dios menyimpan sebuah keresek di sisi tempat itu. Setelah mendapatkan isyarat berupa anggukkan, Dios kembali ke mobilnya dan lekas pergi.
Wanita itu melangkah mengambil keresek yang Dios tinggalkan dan kembali ke mobilnya, meski agak jauh dari TKP. "Sudah dapat?" tanya Narvi begitu Harpa menutup pintu.
"Sudah. Sesuai dengan yang kita minta. Ini Bukti pembayaran yang terpotong secara ilegal." Harpa membuka isinya satu per satu. Semua struk itu milik banyak artis. "Gila, sampai harga minuman saja di upgrade. Padahal tagihan air minum yang bayar perusahaan. Ini gak bener," komentar Harpa.
"Apa itu gak akan membebankan ke sisi narasumber kamu?" tanya Isla menatap Harpa melalui spion depan mobil.
"Gak. Ini milik banyak artis. Jadi mereka tidak akan curiga aku mendapatkan ini dari seseorang. Paling mereka berpikir aku mencari tahu ini sendiri," jelas Harpa.
"Sudah, itu saja?" Narvi kembali bertanya.
"Masih banyak hal lain yang aku perlukan dari Dios. Terutama tentang skandal yang mungkin dibuat oleh artis yang Gera pilih," tambah Harpa.
"Dios?" tanya Isla kaget.
"Iya, Dios. Anggota boy grup Diamond kesayanganku. Hebat aku, kan? Idolaku sendiri diajakin main detektif." Harpa mengenakan kaca matanya. Kaca benda itu bening. Padahal Harpa minusnya masih sedikit. Namun, dia pakai itu agar terlihat sedikit pintar dan elegan saja.
Isla mengangguk. "Jadi kalian saling kenal? Aku pikir CEO tak semuanya dekat dengan arti mereka," timpal Isla. Wanita itu menyalakan mesin mobil. Mereka keluar dari komplek perumahan yang kebanyakan bangunanya kosong itu.
"Mungkin suatu hari nanti aku beneran akan jadi istrinya!" tutus Harpa kemudian dia berteriak histeris sendiri hingga kedua temannya di depan saling tatap dan melemparnya dengan cimol.
"Harpa, halu juga ada batasnya," ledek Narvi.
Harpa menoyor bagian belakang kepala sahabatnya itu. "Berharap boleh. Lagian bisa saja dia lama-lama terbiasa akan kehadiranku dalam hidupnya kemudian dia dan aku, tahu sendiri!" Harpa menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menendang-nendang ke bagian belakang kursi yang diduduki Isla.
"Harpa! Kalau kamu gak tenang, aku bisa saja paketin kamu ke segitiga bermuda," ancam Isla.
Harpa nyengir kuda. Dia langsung duduk dengan manis. Selama perjalanan menuju rumah, Harpa berkali-kali menggeleng untuk mengusir rasa kantuk. Dia harus pulang dalam keadaan sadar. Kalau tidak, Narvi mengancam akan membaringkannya di pinggir jalan. Nyatanya Narvi pernah melakukan itu pada Harpa.
Jadi Harpa memaksa bergadang demi berjuang mendapatkan tiket konser Diamond. Mereka sampai stand by di depan layar komputer dan menyewa warnet. Ketika pulang karena takut dimarahi Papanya, Harpa putuskan naik angkot dengan Narvi.
Pukul lima pagi mereka duduk di pinggir jalan. Angkot lama sekali lewat. Harpa duduk di sana sambil menganggut. Akhirnya Harpa tertidur sambil bersandar pada tiang listrik. Narvi yang sudah tak fokus naik angkot yang tak lama menepi. Dia pikir Harpa mengikutinya.
Jadilah Harpa tidur di sana sendiri hingga disangka mayat yang dibuang dan baru sadar ketika polisi membangunkannya. Karena itu Harpa dilarang menginap lagi oleh Papanya.
Dengan mata setengah terbuka Harpa berjalan lemas ke gerbang belakang. Bi Melia sudah berjaga di sana. "Untung Nona cepat pulang. Tuan Thyon datang dan menayakan Nona," ungkap pelayan itu.
"Terus Bibi bilang apa sama, Om?" Harpa memegang lengan wanita tua itu.
"Aku bilang Nona Harpa sedang ke toilet dulu. Cepat masuk dan ganti pakaian!" seru Bi Melia.
Harpa mengangguk. Dia yang sudah mengantuk mendadak segar kembali dan lari ke lantai atas melalui tangga belakang. Harpa membuka pakaian dan melemparnya sembarangan, kemudian mengenakan piyama tidur. Gadis itu turun ke ruang tamu.
Thyon yang tengah duduk langsung berdiri dan menunduk. "Duduk, Om. Ada apa?" tanya Harpa.
Thyon terlihat gusar. Tak tahu kenapa, Harpa bisa menerka kalau Thyon akan membahas tentang sidang besok. "Kalau Om ingin menasihatiku tentang kebodohanku di perusahaan, tak usah. Aku sudah kenyang diomeli anak, Om. Dia sekretaris, tapi galaknya mengalahkan ibu-ibu kalau sedang tak mood," komentar Harpa.
"Bukan hal yang aneh kalau kebijakan seorang CEO memicu polemik. Malah seorang CEO harus tegas mengambil keputusan." Wajah Thyon malah terlihat hangat.
Harpa sedikit memundurkan wajahnya. "Kenapa Om justru mendukungku?" Harpa rasanya curiga dengan sikap Thyon itu. "Jadi yang aku lakukan itu sebenarnya keren, kan?"
"Namun, di awal karir sebaiknya jangan sampai terjadi lebih dahulu. Anda masih butuh adaptasi dengan medan," saran Thyon.
Harpa mendengkus. "Medan di Sumatera, Om. Bukan di Jawa Barat," rajuk Harpa.
Thyon hanya terkekeh. "Adras memang kadang terlalu tegas. Mungkin itu membuat Anda tak nyaman, saya yang memerintahkan dia begitu. Namun, keputusan Anda kali ini sudah benar. Anda memilih jalan paling tepat. Sudah lama Tuan Chaldan mengkhawatirkan tentang masuknya orang-orang baru dalam perusahaan. Dan mereka kebanyakan menentang kebijakan, bahkan kinerja mereka sangat buruk."
"Iya, tapi besok mereka akan menyerangku. Aku tidak tahu, mungkin saja dewan komisaris akan memintaku mengirimkan surat pengunduran diri." Harpa berkacak pinggang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Anda tidak perlu khawatir. Saya pastikan beberapa jajaran direktur dan komisaris ada di pihak Anda. Mereka juga mendukung keputusan itu. Santailah! Tegakkan punggung Anda. Jangan sekalipun memperlihatkan rasa takut," saran Thyon. Pria itu bangkit dan undur diri.
"Om tahu kalau Fatur Gusman adalah teman dekat Gera?" tegur Harpa. Thyon berbalik. Harpa barulah menghadap ke arah pria itu. "Kalau Om ingin mendukungku, harusnya Om menjauh dari musuhku. Nyatanya meski Om berhubungan baik dengan Papa, tidak denganku."
Thyon mengangguk. "Jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk dengan pengelihatan dan perasaan Anda, Nona." Thyon pun pergi meninggalkan banyak tanya di benak Harpa.
Sedang Adras mengantarkan Okna hingga ke depan rumah wanita itu. Okna mengecup pipi Adras. "Hati-hati di jalan, calon suamiku," pesan Okna sambil memegang erat tangan Adras.
"Mimpi yang nyenyak, calon istriku," balas Adras.
Okna melambaikan tangan kemudian masuk ke dalam rumah. Adras lekas meninggalkan carport rumah itu. Begitu kencang mobil yang dikendarai pria itu. "Aku tak ingin menunggu besok pagi. Masalahnya akan semakin besar jika itu semua tidak aku bongkar di rapat besok," ucap Adras pada orang di balik telepon sana.
"Kamu kenapa begitu membela Harpa?" tanya Nolan yang kini memegang bukti kecurangan beberapa pegawai yang ada dalam daftar PHK.
"Aku ini sekretarisnya. Tentu aku harus membantu dia keluar dari kesulitan," jawab Adras.
"Tapi sepertinya tanpa sadar sistem perusahaan kalian sudah dibobol. Aku tak bisa menemukan alamat IP asal pelaku," ungkap Nolan.
"Apa?" Adras menaikkan sebelah alis. Dia mencoba menerka orang yang mungkin melakukan semua ini. "Apa mungkin Narvi?"
Nolan sendiri tak yakin. "Mungkin saja. Tapi dia hacker yang hebat juga. Tak ada data yang hilang dan berubah. Orang ini bergerak secara bergerilya dan jelas hanya untuk mengumpulkan informasi. Ini bisa saja dari kubu musuh Adras. Kamu harus hati-hati," saran Nolan.
"Baik." Adras kembali berkonsentrasi pada kemudi. Dia menggenggam kemudi dengan kuat. "Jadi begini yang wanita itu maksud untuk berhati-hati dengan tunanganku. Okna jelas memancingku tentang perusahaan. Untuk apa? Jelas awalnya itu tak menarik untuk Okna." Memikirkan itu otak Adras rasanya nyeri dan pusing. Sementara dia harus lekas ke rumah Nolan sebelum temannya itu ketiduran.