Insiden

1131 Words
“Harpa, kamu masih marah?” tanya Adras yang mengikutinya sejak lobi kampus. “Tanya saja sama angin!” jawab Harpa kesal. Suaranya sampai terdengar hingga memancing perhatian orang-orang yang ada di sana. Lengan Harpa ditarik Adrasha hingga gadis itu memutar dan jatuh ke pangkuan Adras. Adegan yang sama persis seperti dalam drama romansa. “Adras! Kamu gimana, sih!” protes Harpa. “Dengerin aku dulu, dong,” pinta Adras. “Iya, tapi jangan kayak gitu. Kalau kayak gitu aku jadi deg-degan, tahu!” Harpa menunduk sambi memilin ujung rambutnya. “Deg-degan sama siapa?” “Sama kamu, lah.” “Lebih deg-degan mana? Sama aku, apa Dios?” tanya Adras jahil. Harpa mengetuk-ngetuk kening. Matanya menyipit dan bibirnya sedikit manyun. Dia tengah memikirkan sesuatu. “Dios, lah. Dia itu ‘kan ganteng, terus punya roti sobek, terus suaranya bagus. Kamu ….” “Aku kenapa? Enggak ganteng?” “Ganteng, sih. Banget malah! Cuman itu loh.” “Enggak punya roti sobek? Yakin? Mau lihat, enggak?” canda Adras. “Ogah! Bahaya! Sudah, ah! Aku lagi ngambek tadi. Ngapain kamu bikin aku jadi deket kamu lagi, sih!” Harpa berbalik. Dia lipat kedua tangan di depan d**a. Salah satu ujung depan sepatunya mengetuk-ngetuk ke lantai. “Kalau jauh nanti kangen. Mana obatnya enggak dijual di apotek.” “Dari dulu obat kangen mana ada, Dras!” “Ada. Obatnya buat aku itu kamu. Dan buat kamu itu aku.” Adras memeluk Harpa dari belakang. Pipi Harpa memerah. “Jangan marah-marah terus. Nanti kamu darah tinggi. Aku enggak mau kamu sakit, apalagi sampai meninggal. Soalnya aku enggak bisa hidup tanpa kamu. Tapi aku juga enggak mau mati muda. Jadi jangan marah-marah, pokoknya.” “Apa, sih? Kamu tuh enggak jelas! Aku mau ke kelas dulu. Nanti telat.” Harpa hendak berjalan, Adras menuntunnya. “Biar aku anterin. Anggap permintaan maaf, soalnya aku biarin kamu masuk sendirian ke hatiku,” ucap Adras. “Iyalah, kalau ada cewek lain di hatimu, aku yang ngamuk.” Pasangan itu akhirnya tiba di kelas. Adras bahkan mengantar Harpa hingga duduk di kursi. “Aku juga mau masuk kelas. Sampai ketemu di kantin, Cintaku,” pamit Adras lalu mencium kening Harpa. Harpa tersenyum. Dia melambaikan tangan ke arah Adras yang mulai berjalan pergi. Pemandangan itu membuat iri mahasiswa lain di kelas. “Dia bucin banget sama kamu, Har,” komentar Narvi. “Gimana konser kemarin?” tanya Harpa, melenceng jauh dari pertanyaan sahabatnya. “Aku nungguin kamu enggak dateng-dateng. Mana tas kamu ditinggal. Aku bawa-bawa berat banget. Ya sudah, aku titipin satpam. Sekarang ada di rumah, ambil nanti pulangnya,” jawab Narvi dengan nada kesal. Gadis itu memutar pulpen di atas meja. “Makasih banyak. Habis Papaku keterlaluan. Aku dikunci di kamar sampai enggak bisa kabur. Mana balkon tinggi banget. Mau lompat malah entar aku abis. Mendingan relakan saja, deh.” “Nih!” Narvi menunjukan foto Dios yang berhasil dia ambil. “Astaga, bisa sedeket ini? Kamu beruntung banget, sih!” puji Harpa. Dia ambil ponsel Narvi dan mengusap wajah Dios di sana. “Dedek Dios, sayangku, cintaku. Maaf ya, Kakak enggak bisa nonton kamu kemarin. Kakak janji akan menyumbang banyak buat proyek ulang tahun kamu, Sayang,” ucap Harpa. Seorang wanita menatap dengan jijik ke arah Harpa. Salah satu sudut bibir bagian atasnya naik. “Aneh, ya. Punya pacar ganteng, tetap saja ngehalu. Kayaknya semua pria ganteng di dunia ini harus jadi milik dia,” sindir wanita itu. “Iya, persis orang yang hilang akal sehatnya,” timpal yang lain. Harpa berdiri. Dia menggebrak meja. “Hei! Iri bilang, Bos. Mendingan orang aneh ini, punya pacar ganteng! Daripada situ, katanya normal tapi masih jomlo!” hina Harpa yang langsung mendapat tepukan tangan Narvi. “Kena mental enggak, tuh!” timpal Narvi. “Hati-hati kalau ngomong!” tunjuk wanita itu. “Kamu yang ngomong harus hati-hati!” balas Harpa. Dia menatap Narvi. “Siapa dia namanya?” tanya Harpa yang memang tak tahu teman satu kelasnya. “Okna,” jawab Narvi. “Ingat ya, Oktopus! Iri itu tanda enggak mampu! Enggak mampu punya cowok ganteng, sirik, ngatain. Bawa ke bengkel dulu mukanya.” Harpa dan Narvi tertawa puas melihat wajah Okna yang memerah. Sayang, dosen mereka sudah datang dan siap memberi materi mata kuliah pagi itu. Alhasil, Okna tak bisa balas dendam. ⭐⭐⭐ “Narvi! Aku pulang bareng Adrasha, ya?” pamit Harpa yang langsung dibalas anggukan Narvi. Narvi memberikan pasangan itu jempol. “Adras, titip dia, ya? Awas kalau ada poster Dios, minggir dulu. Takutnya dia lompat dari motor tiba-tiba,” pesan Narvi memacing tawa Adras. “Jahat kamu!” Harpa menggetok kening sahabatnya. Tak lama motor Adras meninggalkan halaman kampus. Harpa memeluk kekasihnya dari belakang. Dia nikmati angin yang bertiup begitu lembut hingga membuat sebagian rambutnya bergerak-gerak. “Kamu suka naik motor?” tanya Adras sambil membuka kaca helmnya. “Banget! Aku mau punya motor sendiri. Tapi Papa enggak izinin. Kesal baget, aku!” keluh Harpa. “Papa kamu peduli sama keselamatan kamu. Ingat kamu itu ….” “Satu-satunya anak Papa kamu. Jadi harus banget dijaga. Aku sudah kesel denger kamu bahas itu terus. Emang kalau anak satu-satunya kenapa? Aku sampai enggak boleh ini dan itu? Aku punya hak ngelakuin apa yang aku mau.” Harpa menyandarkan kepalanya ke punggung Adras. “Aku lelah, Dras. Lelah banget sama tuntutan Papaku. Sampai kapan sih dia bisa ngertiin aku? Memang enggak ada orang lain apa yang bisa megang perusahaan selain aku?” keluh Harpa. Di depan, lampu merah menyala. Adras menyalip di antara mobil hingga tak ada lagi celah untuk maju. Harpa menegakkan tubuhnya. Adras memegang tangan Harpa sambil menunggu lampu berubah hijau. “Kamu boleh lelah jadi pewaris. Cuman jangan lelah mencintaiku,” pinta Adras sambil cekikikan. “Apaan, sih? Kamu tuh bikin aku deg-degan terus.” Harpa menepuk bahu Adras. Pria itu mengangkat dagu hingga bagian belakang kepala bisa bersandar ke bahu Harpa. “Apaan, sih! Enggak enak dilihat orang lain,” protes Harpa. Dia melirik ke samping untuk memastikan tak ada yang risi melihat mereka. Justru Harpa malah terkejut. Dia melihat Papanya ada dalam mobil. Jelas Harpa terbelalak dan langsung mendorong kepala Adras agar kembali tegak. “Apa, sih? Sakit,” keluh Adras. “Papa,” ucap Harpa pelan. Adras berpaling ke arah Harpa melihat kini. Pria itu ikut tertegun. Dia tidak hanya melihat Papa Harpa pun Papanya, Thyon Adiswara yang juga sekretaris Papanya Harpa. Keempatnya sama-sama mematung. Thyon duduk di kursi depan mobil sedang Chaldan, Papa Harpa di kursi belakang. Jika saja lampu hijau tak menyala dan suara klakson tak mengganggu, mungkin keempatnya akan terus dalam posisi itu. Adras memutar gas motornya. Kedua remaja itu langsung panik. “Gimana ini? Kita kepergok Papa kamu!” tanya Harpa. “Bukan cuman Papa aku, ada Papa kamu juga. Ini bahaya,” timpal Adras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD