Harpa menatap kamarnya. Dia tak lama menarik napas dan tersenyum. "Selamat tinggal, aku akan pulang dua setengah tahun dari sekarang. Aku janji," ucap Harpa.
Harpa berbalik dan meninggalkan kamar. Dia berjalan di mezanin dan menuruni tangga. Chaldan sudah menunggu di bawah. "Berangkat sekarang, Nak?" tanya pria itu.
"Iya. Aku akan rindu kamu, Pa." Harpa memeluk Papanya dengan erat. Sedih hati Chaldan harus melepaskan putri kesayangannya. Namun, ini demi masa depan Harpa. Dengan pergi dari negera ini, anak itu akan melupakan kesedihan hatinya.
"Di sana jangan banyak main. Apalagi pergi jauh sendirian. Papa tak ingin kamu celaka. Jangan ikut-ikutan kalau di sana ada temanmu yang nakal. Ingat, membawa nama baik negara," pesan Chaldan.
Harpa mengangguk. Dia sudah berjanji tidak akan menangis. Pada akhirnya gadis itu tetap meneteskan air mata. "Pa, jaga kesehatan, ya? Pokoknya saat nanti aku pulang, aku ingin melihat Papa dalam keadaan sehat," pinta Harpa.
"Tentu. Aku juga ingin bertemu denganmu lagi, Nak."
Pelayan di sana turut meneteskan air mata. Harpa sudah mereka asuh sejak bayi dan selama itu dia tak pernah meninggalkan rumah. sekalipun. "Non, banyak makan. Ingat minum air putih. Kalau butuh apa-apa telepon ke rumah. Nanti Mbak di sini langsung terbang nyusul Non Harpa ke sana," ucap pelayan utama rumah itu.
"Ke sana mau naik apa? Jangan lupa urus dulu visanya," pesan Harpa.
"Kenapa ke London harus bawa pizza, Non?" tanya pelayan tadi dengan nada heran.
Harpa tertawa. "Mbok ini bikin aku gagal haru ini. Visa, Mbok. Bukan Pizza," tegas Harpa. Dia peluk erat pelayannya itu. "Aku sayang sama Mbok, sama bibi-bibi semua. Maafin Harpa yang sering bikin kesel dan banyak maunya. Nanti saat pulang, Harpa janji akan jadi orang yang baru."
Harpa melambaikan tangan. Chaldan menuntunnya hingga ke teras. Sampai di sana, sopir membukakan pintu. Harpa mengatur kembali perasaannya. "Aku harus kuat," tegas Harpa. Dia masuk ke dalam mobil. Chaldan melambaikan tangan tanda perpisahan dengan sang putri.
Harpa balas labaian Papanya. Perlahan mobil mulai meninggalkan carport. Harpa duduk menghadap ke kaca depan. Air matanya menetes. "Jangan nangis, Non. Semua akan baik-baik saja. Sekarang memang berat, lama-lama pasti betah di sana sampai gak mau pulang," ucap sopir Harpa.
"Pak, kalau ada apa-apa sama Papa, telepon aku, ya?"
Mobil itu akan menempuh perjalan panjang menuju Tangerang. Selama di perjalanan, Harpa mengirimkan chat pada Papanya. Dia masih berat pergi dari rumah. Tak lama ponsel Harpa menerima panggilan dari nomor Narvi. Lekas Harpa angkat.
"Kamu pergi kenapa gak ke rumah aku dulu? Aku mau ketemu kamu paling gak terakhir kali," ucap Narvi sambil sesenggukan.
"Katanya kamu gak mau ketemu aku, takut nangis," ledek Harpa. Hidungnya sudah memerah akibat menangis sedari tadi.
"Suruh siapa pakai kuliah di luar negeri segala. Aku jadi gak ada teman. Dari dulu teman aku cuman kamu saja," omel Narvi.
"Kamu bilang katanya aku harus belajar mandiri. Kalau di rumah terus mana bisa?" timpal Harpa.
Mereka terdiam lama. Hanya terdengar tangisan dari keduanya. Bingung mereka ingin berkata apa. Karena apa yang dalam hati bila terucap akan terasa sakit hingga menolak untuk berpisah. "Cepat pulang, Harpa. Aku pasti nunggu kamu di sini," pesan Narvi.
Tiba di bandara, Harpa menunggu waktu berangkat. Dia duduk di salah satu kursi tunggu sambil membeli minuman hangat. "Permisi. Aku boleh duduk di sini? Kursi lainnya penuh," pinta seseorang.
"Tentu," jawab Harpa. Dia pindahkan jaket ke sandaran kursi.
Wanita itu menyimpan minuman dan makanan di atas meja. "Kamu ke luar negeri juga?" tanya wanita itu.
"Iya. Aku kuliah bisnis di London," jawab Harpa.
"Oh ya? Universitas mana?"
"Greistown University."
Wanita itu berseru. Matanya terbelalak. "Wah, kita satu universitas. Aku Isla. Nama kamu siapa?" tanya Isla sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Harpa. Mahasiswa strata dua di sana. Aku baru masuk tahun ini."
"Aku juga. Hanya aku ambil bidang IT. Mungkin nanti kita bisa bersahabat di sana. Soalnya aku gak punya teman yang kuliah di sana juga," ungkap Isla.
"Tentu. Aku juga tak punya kenalan di sana. Sungguh keberuntungan bisa bertemu dengan kamu. Kamu dari kota mana?"
Mereka mengobrol hingga panggilan untuk masuk pesawat terdengar. Mereka berada di pesawat yang sama, meski beda kelas. Harpa duduk di kelas bisnis dengan segala fasilitas mewahnya. Meski sepanjang perjalanan dia habiskan dengan menonton, tetap saja rasanya begitu lama. Ini bukan pertama kalinya Harpa pergi ke luar negeri. Hanya saja kalau tidak dengan Chaldan, Harpa akan mengajak Narvi. Kali ini terasa sekali kehilangan.
Hampir seharian berada dalam pesawat, akhirnya Harpa tiba di London. Harpa menarik kopernya dengan tas ransel besar di punggung. Di sini dia tidak akan diperlakukan layaknya putri. Harpa benar-benar harus belajar mandiri bahkan untuk urusan masak.
Dari bandara, dia tak bertemu dengan Isla. Mereka hanya akan janjian lusa saat pembukaan hari pertama kuliah untuk bertemu di depan gerbang. Harpa sudah menuliskan tugasnya selama di sana, mulai dari membeli nomor dan mendaftarkan ponsel hingga menemukan laundry terdekat dari asrama.
Di luar pintu, Harpa naik taksi hingga ke flat yang disewa Papanya selama dua tahun lebih. Flat itu berada di tengah kota London dan tepat di pinggir jalan agar Harpa mudah membeli bahan makanan dan keperluan lain. Tidak heran jika harga sewanya mahal.
London dengan bangunannya yang klasik menjadi pemandangan yang indah dilihat dari jendela taksi di siang hari. Ini musim semi sehingga pepohonan di pinggir jalan tampak hijau. Taksi berhenti tepat di depan flat. Sopirnya membantu Harpa menurunkan koper. Dia sangat berterima kasih pun memberikan tips bagi sopir itu.
Tak ada teras di depan flat. Pintu langsung menghadap ke trotoar yang luas. Harpa membuka pintu berwarna coklat tua itu. Di dalamnya ada lorong dan dua tangga. Harpa masuk ke tangga di kanan. Itulah flat tempat dia akan tinggal. Kunci sudah dimasukkan ke dalam saku jaket.
Begitu pintu flat terbuka, lampu di dalam langsung menyala. Ruangannya luas, memiliki ruang tamu yang menghadap ke jalan. Di sisi kanan langsung ke dapur dan ruang mencuci. Ada tangga ke atas, rupanya di sana kamar tidur luas memiliki walking closet dan kamar mandi. Untuk ukuran mahasiswa, itu flat yang sangat mewah.
"Aku bisa mengajak teman main ke sini. Tapi, apa aku punya teman?" pikir Harpa. Dia menjatuhkan tubuh ke atas tempat tidur. "Harpa, petualangan kamu akan dimulai!" serunya.
Cahaya matahari masuk melalui jendela kamar dan langsung jatuh ke dekat tempat tidur. Harpa mendengkus. Begitu sunyi di sana hingga suara napasnya saja bisa terdengar. Harpa terkekeh. "Aku mau pulang," ucapnya.