48. Alasan

1501 Words
Bi Melia undur diri. Satu mangkuk bubur sudah Harpa habiskan. Kini gadis itu menyandarkan punggung ke headboard kasur sementara kakinya berselonjor. "Kamu duduk saja di situ!" tunjuk Harpa pada kursi single yang ada di depan meja belajarnya. Adras mendekati kursi itu. Matanya sempat melirik ke arah meja dan menemukan foto Dios di sana. Itu foto yang Harpa ambil tadi malam dan langsung dia print out. Pria itu menarik napas panjang. Dia seret kursi ke sisi tempat tidur Harpa. Adras memeriksa jadwalnya. "Boleh lihat surat sakit Anda?" pinta Adras sambil mengulurkan tangan. Kedua mata Harpa mendelik dengan tajam. Harpa mengambil selembar surat di atas nakas dan memberikannya pada Adras dengan wajah masam. "Ternyata hanya satu hari saja. Jadi saya tidak perlu mengubah banyak jadwal," komentar Adras. Matanya sibuk membaca isi surat izin. "Emang kamu gak takut kalau aku semakin parah?" protes Harpa. Dia bersedekap. Tengkuknya sengaja dibuat agak ke belakang agar lebih rileks. Sementara bibirnya manyun dengan mata yang menyipit. Adras mengulurkan tangan hendak merasakan panas kening Harpa. Pria itu tertegun. "Suhu tubuh Anda panas sekali." Adras membuka jas dan menaikkan lengan kemejanya. "Kenapa kamu gak percaya kalau aku sakit?" sindir Harpa dengan tajamnya. "Bukan begitu. Lain kali lebih baik Anda istirahat. Bi Melia benar. Anda sudah sangat lelah dengan pekerjaan," nasihat Adras. Pria itu berkacak pinggang. Dia melihat kamar Harpa yang memang agak berantakan. Jaket dan topi disimpan di sandaran sofa. "Kamu punya tunangan, kan? Memang dia mau kamu tidak pedulikan karena pekerjaan? Aku juga sama. Aku mau ketemu dengan pacarku," dusta Harpa, lebih tepatnya halu. Yang Harpa tahu sekarang Adras sedang berpikir kalau Dios dan dirinya tengah berpacaran. "Anda pergi untuk bertemu Dios?" terka pria itu. "Kenapa? Kamu cemburu, ya?" Harpa tunjuk wajah Adras yang sama sekali tak menunjukkan perubahan mimik wajah. "Kamu gak asik banget, sih. Setidaknya pura-pura saja kalau kamu cemburu biar obrolan kita makin banyak. Sebenarnya tadi malam aku ada sesuatu dengan Dios." "Apa pun itu, lebih baik jangan sampai ketahuan masyarakat. Apalagi fans Diamond." Adras mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. "Ini laporan hari pertama jalannya rencana Tuan Gera." Harpa ambil dokumen itu dan membacanya. "Sudah launching? Memang tidak terburu-buru?" "Baru percobaan saja. Hanya sudah terlihat ramai. Kemungkinan akan sukses rencana itu. Apa yang akan Anda lakukan? Ini jauh dari prediksi Anda," ungkap Adras. Harpa terkekeh. Gadis itu masih terlihat santai. "Kuncinya ada di sini! Dia bakar uang." Harpa menunjukkan satu teknik promosi yang Gera dan timnya lakukan. "Maksud Anda?" "Siapa yang tak akan datang demi diskon? Emak-emak dibikin gatel. Bahkan diskon memiliki daya tarik dibandingkan pria tampan bagi wanita. Tentu mereka mencoba karena penasaran, ini hal baru untuk mereka dan harganya murah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti setelah ini." Dokumen itu Harpa simpan di atas nakas. "Ada lagi yang lain? Karena aku ingin membicarakan hal lain denganmu." "Apa itu, Nona?" "Aku akan melakukan sebuah proyek. Di sini aku butuh tim. Aku ingin tim dengan kualifikasi ini." Harpa turun dari tempat tidurnya. Dia berjalan ke meja belajar dan mengambil sebuah file. Kumpulan kertas itu Harpa berikan pada Adras. "Kalau sudah menemukan orang-orang ini, minta mereka berkumpul di ruanganku. Tentu kamu harus laporan dulu." Adras membuka map itu dan membaca halaman pertama. Dia langsung berpikir keras. Rencana apa yang hendak Harpa lakukan hingga dia membutuhkan seorang ahli seni rupa? "Hanya ini? Bagaimana kalau karyawan itu salah satu anggota Tuan Gera? Apa tidak akan berisiko? Atau lebih baik merekrut orang baru?" Harpa menggelengkan kepala. "Itulah arti sebuah negosiasi. Orang akan memilih hal yang terlihat menguntungkan. Kapan proyek Gera launching?" "Mungkin sekitar dua minggu lagi," jawab Adras. Dia masih duduk di tempatnya. Harpa hendak kembali ke tempat tidur. Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut dan mengeluarkan rasa nyeri tak tertahankan hingga Harpa hampir terjatuh ke lantai. Adras dengan sigap meraih tubuh gadis itu. "Anda tak apa-apa, Nona?" tanya Adras. Harpa pegangi keningnya. "Aku pusing," keluh gadis itu. Adras bisa merasakan betapa panasnya tubuh Harpa. Dia gendong gadis itu kembali ke atas tempat tidur dan menyelimutinya. "Anda belum minum obat, kan?" tanya Adras. "Aku lupa minta Bi Melia membeli resepnya," jawab Harpa dengan suara bervolume kecil. "Saya akan ke apotek. Mana resepnya? Tunggu di sini!" pintanya. Harpa menunjuk nakas. Adras ambil selembar kertas persegi panjang itu dan lekas lari keluar kamar. Harpa terdiam cukup lama. "Adras, kalau kamu masih sama aku sekarang, pasti aku gak akan pernah sakit kayak gini," batinnya. Harpa memeluk bantal dan berbaring ke pinggir. Adras menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia hampir saja beberapa kali menabrak. Untuk kakinya cekatan menginjak rem. Tiba di apotek, pria itu langsung memanggil karyawan toko. "Aku ingin beli obat ini. Tolong cepat, atasanku demamnya semakin tinggi," pinta Adras. Dia menunggu cukup lama duduk di kursi. Tak lama nama Harpa dipanggil dan Adras lekas ambil obat yang sudah disiapkan. Adras sempat terhenti di ujung tangga rumah Harpa karena lelah berlari-lari. Dia tiba di depan pintu kamar atasannya dan merapikan pakaian. Ketika masuk, Adras memanggil Harpa. Namun, tak ada balasan dari gadis itu. Adras duduk di lantai. Wajahnya berhadapan dengan wajah Harpa. "Anda tertidur?" tanya Adras. Tangannya mengusap rambut Harpa. Perlahan mata gadis itu terbuka. Dia pegang tangan Adras. "Kamu pergi lama banget, Dras?" tanya Harpa. Terlihat sekali wajahnya pucat. "Maaf, saya menunggu apoteker menyiapkan obatnya. Sekarang minum dulu obatnya, ya?" pinta Adras. Dia berdiri mengeluarkan obat dari kemasan dan juga air putih. Adras bantu Harpa untuk duduk dan menyuapinya kapsul serta membantunya minum. "Aku ngantuk," keluh Harpa kemudian menguap dan mengucek mata. "Tidurlah," saran Adras. Dia menepuk-nepuk pelan lengan gadis yang kini terbaring lemah itu. Mungkin karena efek obat, Harpa seperti setengah sadar. Matanya yang sayu menatap Adras yang kini duduk memeluk lutut menghadapnya. "Kenapa duduk di lantai?" tanya Harpa terdengar parau. "Lebih enak di sini. Sejuk dan bisa memperhatikan Anda," jawab Adras. "Gitu, ya?" Harpa menguap. Mereka sangat lama saling menatap. Tak satu pun kalimat terucap dari mulut meski hati sudah ingin mengungkapkan banyak pertanyaan. Hanya terdengar suara ketukan jam di dinding dan angin yang menerpa gorden kamar. "Aku sama Okna cantikan siapa?" tanya Harpa tiba-tiba. Dia tersenyum jahil seakan menyembunyikan rasa sakit. "Anda," jawab Adras dalam hati. Dia terkekeh. "Lebih cantik Gigi Hadid," jawab Adras sekenanya. Harpa tersenyum sinis. "Aku ini jelek, ya? Makanya kamu lebih milih ninggalin aku? Okna itu pintar, sering juara di kampus. Berbakat. Sedang aku? Anak-anak saja sering bilang gelar S1 milikku pemberian kampus karena Papa menyogok." "Anda harus istirahat, Nona. Jangan bicara terus," potong Adras. Harpa meneteskan air mata. "Kamu gak tahu perjuangan aku. Karena dosen pembimbing yang gak satu misi, aku mohon-mohon dosen lain yang menghargai skripsiku. Dua hari aku gak tidur, revisi hampir setiap hari sampai pertama kalinya aku gak nonton konser Diamond. Sedih banget jadi aku, kan? Habis itu gak ada yang percaya dengan perjuanganku," keluh Harpa. "Perjuangan itu akan indah kalau diri kita sendiri yang menghargainya." Adras menggeser tubuhnya lebih maju. "Kenapa kamu mutusin aku, Dras?" Pertanyaan itu seakan seperti suara petir yang menyambar langsung di telinga Adras. Pria itu hanya diam karena Harpa mulau tertidur lebih lelap lagi. Adras menunduk. Dia mulai menjelajah waktu ke beberapa tahun lalu. Hari di mana dia pulang main sepak bola dan Chaldan tiba-tiba menunggunya di parkiran. Adras kaget luar biasa. Meski takut, dia tetap menghadapi pria itu. "Kamu putranya Thyon?" tanya Chaldan. Adras mengangguk. "Kamu sangat tampan. Bahkan tidak ada miripnya dengan Papamu." Dari cara bicaranya Chaldan terdengar ramah. Mata Adras masih tertuju ke ujung sepatunya. "Kamu mencintai putriku?" tanya Chaldan. Adras mengangkat wajah. "Iya. Saya sangat mencintai putri Anda hingga tak ingin berpisah dengannya. Jadi mohon, jangan salahkan dia. Karena saya juga memiliki keterkaitan," pinta Adras. "Harpa adalah putriku satu-satunya. Dia akan mewarisi posisiku. Menurut kamu ketika itu terjadi nanti, perasaan kamu bagaimana? Apa kamu tidak merasa rendah diri? Apa kamu tidak takut komentar orang-orang nanti?" Pertanyaan Chaldan saat itu membuat tubuh Adras bergetar. "Aku sangat berharap putriku mendapatkan pria yang lebih darinya. Dengan jabatan tinggi, latar belakang dari keluarga bangsawan." "Apa dia akan bahagia dengan itu? Di balik fakta kalau dia putri Anda, Harpa gadis sederhana yang hanya ingin hidupnya bahagia. Dia ingin bermain dengan ceria dan memiliki teman," jelas Adras. Dia masih berusaha mempertahankan hubungannya. "Kamu masih muda. Suatu hari nanti kamu akan mengerti sendiri kenapa kasta harus ada di dunia ini. Hanya saja, mana yang paling kamu pilih? Ayahmu atau putriku?" "Maksud Anda?" Adras terbelalak. "Aku tidak bisa menerima Thyon ada di sisiku dengan masalah ini. Dan aku tidak bisa biarkan Harpa semakin jauh dalam hubungan ini. Demi kebaikan dia, tinggalkan dia segera. Kamu tak akan bisa memberikan banyak hal yang dia butuhkan di masa depan. Jangan bersikap egois," tegas Chaldan. Kini Adras merasa menyesal karena kalah dengan Chaldan saat itu. Andai saja jika dia bisa lebih bertahan dengan keadaan. "Aku pikir kamu akan lebih bahagia. Bukan dengan pria sepertiku yang tak memiliki apa pun," batin Adras. Air matanya menetes lagi. Dia usap bawah matanya yang basah. Tangan Adras mengusap rambut Harpa perlahan. "Kamu harus bahagia karena aku sudah sejauh ini untukmu. Jangan terus sedih. Aku akan selalu merasa bersalah. Maksudku bukan untuk menyakiti kamu. Gak begitu. Aku sayang kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD