Anjani merapikan roknya sebelum duduk. Di hadapannya sang pacar tersenyum lembut. Pria itu mengulurkan setangkai mawar merah kepada Anjani.
"Terima kasih, Mas."
Bila sang ayah berkata dirinya adalah standar minimum bagi Anjani dalam mencari pasangan, mungkin itu tidak sepenuhnya benar. Arya berwajah tampan. Mungkin itulah faktor utama penyebab Anjani jatuh cinta. Rahangnya kokoh dan tegas, dihiasi rambut-rambut halus yang dicukur bersih meninggalkan jejak keabuan di kulitnya. Darah Anjani berdesir melihatnya. Alis tebal dan rapi menaungi kedua matanya yang tajam dan sesekali intimidatif. Irisnya berwarna hitam pekat. Bila hubungan mereka sedang baik-baik saja, tatapan Arya dipenuhi kelembutan dan pemujaan kepada Anjani. Tubuhnya tinggi, bidang bahunya lebar. Anjani pernah membayangkan otot-otot liat di balik kemeja Arya saking rutinnya pria itu menyambangi pusat kebugaran. Tidak demikian halnya dengan sang ayah. Meskipun Angga sering memarahi ayahnya agar menjaga asupan makanan, tetap saja ayahnya lebih menyukai makanan berlemak sehingga kian hari perut ayahnya kian subur.
"Vegan aushak, rib eye grilled with mushroom sauce, green salad," Anjani menyebutkan pesanannya.
Arya tertawa kecil. "Kamu nggak bosan, setiap kali makan di sini pesanannya itu melulu?"
"Aku menyukai kestabilan karena kestabilan menciptakan kenyamanan, Mas."
"Tapi nggak ada salahnya mencoba menu yang lain, kan?"
Bahu Anjani mengedik. "Minggu kemarin Mas ke mana?" tanyanya setelah pelayan pergi membawa daftar pesanan mereka. Biasanya dia dan Arya bertemu di akhir minggu. "Sibuk banget, ya?"
"Ada kegiatan procurement di Jember, pengambilan dokumen tender. Weekend-nya main golf bareng pejabat setempat." Arya menyebutkan kebanyakan proyek yang ditanganinya kini berada di beberapa daerah di Jawa Timur, sehingga intensitas pertemuannya dengan Anjani ke depannya akan sedikit berkurang. "Kamu apa kabar, Sayang? Miss me?" Matanya mengedip.
"Baik, Mas." Anjani tersipu.
"Kamu sudah bilang ke Tita?"
"Soal?"
"Kalian batal ke Singapura, kan?"
"Ehem." Anjani mengangguk pasrah. "Tita dan Jo tetap berangkat, sih."
"Yang penting kamunya nggak pergi. Lagian nonton konser nggak ada gunanya. Lebih baik nonton pertunjukan musik klasik, lebih berkelas. Nanti Mas ajakin nonton di Vienna. Kamu pasti belum pernah ke Eropa, kan?"
Anjani hanya tersenyum tipis. Ocehan Arya terdengar agak meremehkan. Robert pernah menghadiahkan tiket berlibur ke Swiss setelah Anjani wisuda S.Ked. Bukan hanya itu, kakaknya juga memberi hadiah berlibur ke beberapa negara di Eropa setelah Anjani sukses ujian OSCE UKMPPD. Anjani sendiri lebih suka menabung uangnya daripada dipakai untuk jalan-jalan. Hanya saja, ia enggan membantah ucapan Arya, sekaligus menghindari perdebatan panjang. Perjalanan ke Eropa hanyalah perjalanan biasa, tidak sepatutnya dibanggakan. Terkadang mengangguk saja sudah cukup membuat Arya senang.
"Chelsea kirim salam buat kamu. Tadi dia protes kenapa nggak diajak. Padahal kepingin ketemu Tante Jani. Anak itu lengket banget sama kamu. Setelah kita nikah, pasti dia nggak mau lepas dari kamu."
Menit demi menit berikutnya Anjani sibuk mendengarkan celotehan Arya tentang putrinya. Terlihat jelas pria itu sangat menyayangi Chelsea. Tiba-tiba saja Anjani merasa ragu. Sepercik rasa takut menyelinap dalam hati. Apakah nanti tidak akan ada gesekan antara dirinya dan Chelsea yang akhirnya menyebabkan Arya menjatuhkan pilihan pada salah satu di antara mereka? Anjani memprediksi, bila itu terjadi dirinyalah yang harus mengalah.
"Aku kepingin banget surfing lagi," pancing Anjani merengek. Siapa tahu kali ini Arya mendorongnya pergi hingga ia tidak perlu merasa bersalah menolak ajakan Om Robert. "Boleh ya, Mas?"
"Astaga!" Arya terbelalak. "Surfing nggak cocok buat kamu, Sayang. Kayak nggak ada hobi lain saja."
Diam-diam Anjani memutar bola mata. Tuh kan? "Kenapa sih Mas selalu melarangku surfing? Gak sesering dulu kok, Mas."
"Sini, Mas bilangin, ya. Mas melarang kamu surfing demi kebaikanmu sendiri. Kamu tahu kan efek sinar matahari? Bisa membuat kulitmu cepat keriput, kusam, dan rusak. Belum lagi potensi kanker kulit. Mas menyukai kulitmu yang sekarang, cerah, bening, glowing kayak para model iklan di televisi. Kamu sekarang jauh lebih cantik. Jangan main di laut, ya. Nanti kulitmu gelap lagi. Kayak dulu, auranya Maghrib banget."
Anjani membuka mulut untuk menjawab, tetapi mengatupkannya kembali. Mukanya memerah. Jujur saja ia tersinggung. Di sepanjang hidupnya, Anjani jarang merasa insecure. Kepercayaan dirinya cukup tinggi. Orang-orang mengejeknya cina ireng dan ia malah tersenyum bangga menanggapinya.
Kalau dipikir-pikir, semenjak bersama Arya kecemasan demi kecemasan selalu datang dan pergi. Cemas wajahnya kurang cantik, kulitnya kurang cerah, kakinya kurang mulus, atau rambutnya kurang wangi. Bahkan, jerawat satu biji menjelang menstruasi pun sudah membuatnya uring-uringan.
Dan ... dia bilang apa tadi? Aura Maghrib? Kok nyakitin, ya?
Anjani menutupi kesedihannya dengan senyuman tipis. "Ya sudah, aku gak surfing lagi."
"Nah, gitu dong. Kamu tahu kan, Mas nggak suka kalau kamu ngeyelan?"
"Chelsea ngeyelan lho Mas," Anjani terkekeh. Chelsea sangat cerewet. Gadis kecil itu tak pernah kehabisan stok topik pembicaraan. Mulai dari rumah barbie sampai tingkah polah teman-temannya di sekolah.
"Tapi Chelsea masih anak-anak, Sayang. Memang lagi fasenya demikian. Kamu nggak cemburu pada Chelsea, kan?" Arya menatap curiga.
"Apa?" Anjani mengerang, "enggaklah!"
Arya mengusap tangan Anjani. "Mas harap kalian selalu akur."
"Oh ya, kira-kira bila kita menikah nanti, Mas mau punya berapa anak?" kata Anjani mengalihkan topik mengenai mereka berdua.
"Hmm, dua?"
Anjani mengangguk setuju. Dua anak sudah cukup pada saat ini. Zaman semakin edan. Maraknya beragam kejahatan menjadi headline di media massa dan media sosial.
"Yang penting, kita harus memprioritaskan Chelsea terlebih dahulu. Jangan sampai dia merasa ditinggalkan. Dia sudah ditinggal oleh ibunya," tegas Arya.
"Ya, Mas," Anjani mengangguk patuh.
Perbincangan mereka disela oleh kedatangan menu utama. Sayangnya, Anjani sudah kehilangan selera.
"Malam ini pengumuman kelulusan PPDS. Doain aku diterima ya, Mas," gumam Anjani sebelum menyuap potongan daging ke mulutnya.
Arya meletakkan pisau dan garpu. "Sebenarnya, Mas keberatan kamu lanjut spesialis. Apa iya pernikahan kita harus ditunda?"
"Boro-boro nikah, Mas aja belum berkenalan dengan kedua orang tuaku," Anjani mendengus kecil.
"Iya, itu gampang. Tapi pendidikan kamu memakan waktu empat tahun. Dan selama itu sebagian besar waktumu habis di rumah sakit. Bagaimana dengan Chelsea? Percuma kita nikah kalau dia tetap tidak kamu temani, kan? Lagipula menjadi dokter umum saja sudah cukup. Malah Mas kepingin kamu berhenti. Gaji dokter umum nggak banyak. Jangan khawatir. Nanti kamu kerja di perusahaan Mas. Kamu mau posisi sebagai apa? Bisa diatur," cerocos Arya panjang lebar.
Anjani sejenak ternganga. Sabar, Jani, batinnya.
"Mas sayang banget ya, sama Chelsea?" Topik mengenai Chelsea tak kunjung beranjak walaupun ia sudah berusaha mengalihkannya ke topik lain.
"Tentunya. Orang bilang, anak perempuan adalah cinta terakhir ayahnya dan sang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya."
"Begitu, ya?" Anjani mengangguk. "Kayaknya Papa juga pernah bilang begitu."
"Papa kerja di mana, sih? Mas sudah pernah nanya belum ya? Maaf ya, Mas keseringan ngobrolin Chelsea bila sedang bersama kamu."
"Papa dosen, Mas," kata Anjani seadanya, sekaligus mengetes respons Arya.
Selama ini Arya yang memegang kendali dalam obrolan mereka. Pria itu tidak banyak bertanya tentang keluarga Anjani dan lebih banyak menceritakan tentang dirinya sendiri, keluarganya, bisnisnya, dan anaknya. Arya memimpin perusahaan konstruksi milik ayahnya yang sudah pensiun. Dia kerap bercerita, ayahnya dulu hidup miskin, kemudian sukses mengangkat derajat keluarganya setelah mendirikan perusahaan sendiri. Sebelumnya ayahnya bekerja di sektor pertambangan.
"Oh, dosen." Arya mangut-mangut. "Kenapa Papa lebih memilih jadi dosen?"
"Keluarga kami berdarah akademisi. Papa tiga bersaudara, semuanya jadi dosen. Mas Angga juga sering diundang jadi dosen tamu." Dalam kesehariannya, sang ayah lebih sering memperkenalkan dirinya sebagai dosen kepada orang asing. Seorang Rama Hadyan Gunardi sangat mencintai pekerjaannya berinteraksi dengan para anak didiknya, koas dan residen.
"Angga? Kakak kamu?"
"Iya, Mas. Kalau Mami dulunya lawyer. Cuma aku yang gak berminat jadi tenaga pendidik."
"Ya wajar, itu namanya kamu rasional. Guru, dosen, bukan profesi yang prestius. Gajinya nggak seberapa. Banyak dosen yang boro-boro mikirin riset, tapi malah sibuk berkutat dengan kesejahteraan keluarga."
Anjani terdiam. Ini aneh, batinnya. Seumur hidupnya, belum pernah Anjani mendengar seseorang meremehkan profesi ayahnya secara terang-terangan seperti ini.
Setitik amarah perlahan berkobar di dadanya. Jemarinya meremas pegangan garpu dengan erat. Kemudian ia teringat, dalam sebuah relasi harus ada rasa hormat. Bila terhadap ayahnya saja Arya tidak menaruh hormat, bagaimana nasib Anjani ke depannya?
Arya masih saja mengoceh. "Semoga saja ketika ayah kita bertemu nanti, obrolan mereka nyambung. Karena mungkin saja papa kamu nggak bakalan ngerti diajakin bicara soal bisnis konstruksi," ledeknya terkekeh.
"Astaga, aku sudah gak tahan," desah Anjani seraya membanting garpu ke atas piring. Pipinya beranjak merah padam. Tidak seorang pun ia izinkan menghina ayahnya.
Arya terlonjak kaget. Beberapa kepala menoleh penasaran ke arah mereka. "Jani?"
"Kamu mencintai saya?" Anjani mengangkat dagunya.
Raut bingung terukir di wajah Arya. "Tentu ... tentu saja."
"Enggak." Anjani menggeleng. "Kamu gak mencintai saya. Kamu hanya membutuhkan saya. Sebagai pengasuh Chelsea, bukan untuk dirimu sendiri. You always talk about Chelsea, not about us. Dunia ini nggak melulu tentang kamu dan anakmu saja," semprotnya pedas.
Arya tertegun. "Kok kamu kasar, sih?"
"Dari tadi kamu yang nyerocos melulu." Anjani melipat kedua tangannya di atas meja. Tubuhnya condong ke depan. Kedua matanya terhunus sejajar dengan mata Arya. "Sekarang giliran saya yang bicara, Mas Ananda Aryaguna. Tolong dengarkan. Kamu tahu sindrom OKB? Selamat, kayaknya kamu menderita sindrom itu."
"Apa?" Mata Arya menyipit.
Tungkai Anjani menggigil. Jujur saja saat ini rasa takut mulai merayapinya. Baru kali ini ia berani membantah Arya. Entah bagaimana, ia baru sadar, ternyata Arya sudah mengisap kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit. Sudah kepalang tanggung. Anjani siap mengambil risikonya. "Kamu sibuk menghina profesi papa saya, dan menganggap profesi papa saya tidak menghasilkan banyak uang. Memangnya kamu tahu papa saya dosen apa? Maaf, ya. Papa saya itu dosen sekaligus dokter konsultan. Saya merasa kamu berpikir bahwa posisi kita tidak setara. Benar demikian?"
"Jan, bu–bukan begitu maksud Mas. Kamu ini kenapa, sih?"
"Kamu itu sombong banget, Mas. Selama ini saya menahan diri atas kesombongan kamu yang sering meremehkan saya semata-mata karena saya cinta banget sama kamu. Kamu tahu, sejak kecil saya sudah terbiasa bergaul dengan para old money dan mereka gak sombong kayak kamu," Anjani mendengus kasar. "Kalau begini ceritanya, pantesan saja kamu diceraikan oleh istrimu."
"Jani, jaga bicaramu!" desis Arya menautkan geraham. Mukanya merah padam.
"Kamu tahu Guna Persada Hospital?" Anjani balas menatap Arya tajam. Boleh kan ia menyombongkan diri sedikit? "Rumah sakit kami memiliki empat cabang di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Keempatnya terdaftar sebagai milik ayah saya. Silakan cek silsilah keluarga saya di Wikipedia. Gaji saya sebagai dokter umum memang kecil, pantas kamu cuma menganggapnya kayak remahan biskuit. Tapi saya mendapatkannya dengan kerja keras, bukan dengan warisan. Bahkan tanpa warisan keluarga pun, saya masih bisa hidup dengan layak. Setiap orang selalu punya rencana cadangan agar tetap kaya, bukan? Maaf, saya terdengar sombong ya? Kamu duluan yang mulai, sih."
Dada Anjani naik turun saking lubernya emosi yang ia muntahkan. Petuah demi petuah ayah dan ibunya merasuk satu persatu memenuhi gendang telinganya. Anjani sadar selama ini sudah terlalu buta. Sementara Arya hanya diam terpaku di tempatnya. Ekspresi tak percaya membias di matanya.
"Satu hal lagi, Mas Arya. Kamu gak punya hak melarang saya surfing atau nonton konser. Who the hell are you? Siapa bilang saya belum pernah ke Eropa? Seluruh sudut Swiss sudah saya jelajahi. Dan memangnya kenapa kalau aura saya Maghrib banget? Mendingan daripada kamu, auramu kayak malam Jum'at kliwon!" Anjani mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya, kemudian mengimpitnya dengan gelas minuman. "Nggak akan ada pernikahan. Hubungan kita selesai sampai di sini. Saya akan mengembalikan barang-barang yang pernah kamu berikan pada saya. Astaga! g****k banget saya pernah jatuh cinta sama kamu. Bisa-bisanya!"
Setelah Anjani menghilang dari pandangan, Arya masih melongo di tempatnya. Beberapa kepala masih menoleh kepadanya. Terdengar bisik-bisik kecil. Pipi Arya beranjak merah.
Arya tak habis pikir. Ia tidak percaya. Barusan benar-benar Anjani? Mengapa dia sangat berbeda? Biasanya gadis itu manut-manut saja.
Gamang ia menyambar ponselnya dan mengetik Guna Persada Hospital di laman pencarian. Beberapa detik kemudian, ia hanya bisa memaki ketololannya sendiri. Tanpa sengaja, ia baru saja membuang sebongkah berlian.
Sementara di luar restoran, Anjani membungkuk seraya menyandarkan bahunya ke dinding kayu di pojok sebelah kiri. Angin malam membelai lengannya yang terbuka. Tungkainya masih gemetar, perutnya pun mual. "Barusan aku ngapain?" desahnya seraya memukul-mukul kepalanya sendiri. "Kok bisa? Apa aku kerasukan?"
Berkali-kali Anjani mengatur laju napasnya. Dadanya masih bergemuruh hebat. Menggigil tangannya mengusap ponsel, lalu menjepitnya di antara bahu dan telinga. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia menyelipkan sebatang rokok—Anjani merampoknya dari petugas parkir—di sela bibirnya.
"Ya, Jan?"
Anjani menyalakan pemantik api. Nikotin perlahan merayap ke paru-parunya. "Om, kita ke Sumba setelah aku pulang dari Singapura ya."