Part 2 | I'm Yours

1185 Words
"Jadi saya gak bisa ngelanjut untuk bekerja disini pak?" "Maaf Gladys. Bapak juga bingung gimana cara atasi nya. Kamu tau sendiri ini kedai kopi kecil. Sekarang banyak anak muda yang lebih milik nongkrong di tempat yang lebih berkelas dan modern. Sedangkan tempat bapak? hanya gubuk kecil, nak" Gladys menghela nafasnya kuat. Ia tersenyum lalu memutar tubuhnya setelah berpamitan dengan paman pemilik kedai. Rasanya kepalanya sakit sekali memikirkan banyak hal. Dan itu membuat dirinya kesal dan ingin sekali marah. Namun, ia harus menahan itu semua. Ia tau Tuhan tidak akan memberi cobaan sebegini besarnya kalau ia tau takaran kekuatan manusia itu sendiri. Gadis itu duduk di trotoar jalan. Sambil membuka minuman kaleng soda, Gladys menatap kedepan dimana ia bisa melihat anak anak yang bermain petak umpet. Mereka masih kecil dan sangat manis. Dan di malam hari ini, mereka juga tak memikirkan makan apa besok. Indahnya masa kecil. "Kok duduk di komplek rumah gue?" tanya seorang pemuda dengan mata polosnya dan bibir yang membentuk gravitasi senyuman. "Ini bukan komplek lo, Daniel" "Emang bukan. Gue kan cuman bilang gitu. Sewot amat buset!" Gladys hanya mendengus lalu membuka kaleng soda keduanya. Daniel yang melihatnya langsung menyambar dan meminumnya. Membuat Gladys melotot sebal dan ingin mencabik pemuda itu. "GAK PUNYA MODAL APA GIMANA SIH?!" Daniel malah tertawa saat Gladys mengatakan itu. Suaranya yang berat dengan terpingkal pingkal mampu membuat Gladys makin naik darah. Ia menjambak rambut Daniel dan menghempas begitu saja. Matanya menatap nyalang pemuda itu yang ingin sekali ia sumpah serapahi beribu ribu kali. "Udah keles gak usah ngambek" Daniel mencolek pipi bulat Gladys. Membuat gadis itu makin ingin memasukkan Daniel kedalam panci panas. Sumpah demi kerang ajaib! Daniel lebih menyebalkan dari Patrick star di serial Spongebob. "Lo ada kerjaan Daniel?" "Hm? Gue?" "Nggak! Neneknya Tapasya" "Uttaran~" Daniel memainkan nada itu membuat Gladys makin kesal saja. Namun tak urung bibirnya ikut tersenyum saat cipratan ludah Daniel sudah mengenai dagunya. Tipekal bicara berasa hujan lokal "Ada nggak?!" tanya Gladys kesal "Ada sih. cuma lo mau apa nggak sama pekerjaan ini" "Apa itu?" "Ngajarin gue piano" "Kenapa lo minta itu?" Daniel tertawa lalu tangannya terulur mengusap kepala Gladys pelan. Dengan wajah teduh yang sangat dekat jaraknya ini membuat Gladys meneguk ludahnya kuat. "Gue jatuh cinta sama permainan piano lo. Apalagi pas saat lo mainin Nocturne 9. Gue kayak ngerasa melayang" "Lebay!" "Iya! Lo tuh percayaan dikit napa sih sama gue" Gladys tertawa mendengar pemuda itu bicara begitu. Menurutnya permainan pianonya tidak sepiawai bundanya. Dia masih amatir dan hanya tau itu saja. Kalau Rachminnof bundanya belum sempat. mengajarkan padanya. Maka dari itu ia belum mau mengajar di les piano padahal banyak tawaran datang. "Coba sini ayo!" Daniel menarik gadis itu ke tengah lapangan dimana anak anak berkumpul. Dia memutar tubuh Gladys dan mencubit pipinya. Kini wajah Gladys sudah merah karena anak anak itu juga mengikuti apa yang di katakan Daniel. Gadis 21 tahun itu mengejar anak anak itu juga. Menjambak Daniel lalu memberi lumpur yang pada wajah pemuda itu. Gladys tertawa riang dan kembali menata wajah Daniel dengan banyak hal. Bahkan sekarang ia menaburi wajah pemuda itu dengan tanah. Ia bahagia dengan Daniel Namun juga takut -/- Malam harinya Gladys pulang kerumah mewah yang bahkan terlihat sangat megah. Dia mengendap pelan agar suara kakinya tidak ketahuan. Dengan perlahan ia masuk ke dalam kamar. Kamar yang bahkan sangat di katakan benar benar mewah. Jika masuk ke kamar ini Gladys kadang menahan nafasnya karena tak snaggup melihat betapa megahnya tempat yang dia tinggali sekarang ini. Bahkan ia merasa tak pantas tinggal di tempat ini. Gladys mandi dengan cepat. Udara sangat dingin sekarang. Dengan baju minions dan sandal kelincinya, ia sudah bersiap ingin tidur. Ketika ia menghampiri meja rias untuk memakai handbody. Perutnya serasa di peluk dari belakang. Ia tak terkejut lagi. Ini sudah terlalu biasa. Walau pintu kamarnya di kunci, pria ini akan dengan mudahnya masuk ke dalam. "Darimana saja?" ucap pemuda itu dengan nada berat. Ia menciumi leher Gladys hingga meninggalkan bekas disana. Gladys hanya diam menahan nafas dan memegang erat sisi bajunya. Kepalanya mendadak pening dan membuatnya mengernyitkan keningnya lalu menarik nafas kuat saat Daniel makin mengeratkan pelukannya. Pria itu menyusuri tulang selangka Gladys dan gadis itu juga hanya diam saja. Pemuda itu sekarang memutar tubuh Gladys menghadapnya. Dengan cekatan ia membuka kancing baju gadis itu dengan lembut. Bibirnya yang masih menyatu dengan bibir Gladys tak di hentikannya. Pemuda itu bahkan sudah membawa Gladys ke ranjang dan makin menciumnya ganas. Tangannya tak terhenti menjejaki tubuh gadis yang ada di hadapannya ini. Oh, lebih tepaatnya wanita. "Dave, stop it" Pemuda itu tak berhenti. Makin melunjak dengan membuka seluruh pakaian Gladys. Gadis itu ingin menangis saja saat bajunya sudah tak berbentuk lagi. Kepalanya makin pening karena ia menahan suara tangisnya. "Aku mohon, Dave" ucap Gladys sembari menarik tubuh Dave agar tegak dan sedikit menjauhinya. Matanya merebak memerah saat pandangan mata itu bersitatapan dengan Dave. Rasanya hatinya sedikit ngilu saat melihat tatapan itu. "Sampai kapan? Aku ingin memiliki anak" ucap Dave dengan nada frustasi. Tangannya masih setia mengungkung tubuh istrinya. "Dave! aku masih kuliah. Kamu pahami sedikit" Dengan tubuh yang sudah shirtless, pemuda itu menatap wajah Gladys dengan teduh. Gadis yang di bawahnya ini hanya meneguk ludah dengan bibir gemetar. Rasanya kepalanya kembali pusing sekarang. "Lalu tunggu apa? Tunggu kamu dan dia bersatu?" Dave menarik dagu Gladys. "Aku suamimu. Orangtuamu menyetujuinya dan sekarang kita sudah menikah bukan? Selama empat tahun ini. Apa aku pernah dengan paksa meminta hakku? Gak ada. Dan kamu gak mengerti juga?" "Karena aku nggak cinta sama kamu, Dave. Orangtua kita bener bener gak bisa memaksa kita kan? Aku sama kamu gak saling cin-" "Aku cinta kamu" tekan Dave di setiap kata. "Aku cinta kamu maka dari itu aku menerimanya perjodohan ini. Dengan kamu sama dia memangnya kalian akan bersatu? Dia musuh keluargamu. Karena keluarganya kalian kehilangan kakakmu" "TAPI BUKAN DIA YANG SALAH!" Wajah pemuda itu berang. Ingin sekali ia membentak istrinya. Namun, melihat air mata itu ia tak sanggup. Ia dusuk di sisi ranjang dan membiarkan tubuhnya yang tanpa balutan itu terkena oleh pendingin ruangan. Gladys menangis dan memeluk Dave dari samping. Dave Abhiyaksa Pria berumur dua puluh lima tahun ini adalah suaminya yang sudah bersamanya sejak empat tahun yang lalu. Pria yang sudah menjadi imam di setiap sholatnya. Menjadi seorang suami yang paling sabar menunggu kesiapan Gladys untuk menjadi istri sepenuhnya. Tidak, Gladys sudah menjadi seorang istri yang sempurna dengan mengurus dan melayani suaminya. Namun, ia belum siap menjadi istri sepenuhnya dengan menghadiahkan seorang anak pada Dave. Setiap mereka selesai berhubungan, Gladys akan langsung meminum pil KB dan membiarkan apa yang di usahakan Dave me njadi gagal. Mereka menikah karena perjodohan. Gladys hanya menjalankan apa yang seharusnya di jalankan oleh seorang istri. Namun, tentang anak yang teklh di usahakan dua tahun lalu, Gladys tak membuat semuanya mudah. “Mas-“ Gladys menarik tubuh pria itu agar menghadapnya. Namun, Dave hanya diam lalu beranjak keluar kamar. Gladys hanya diam dan tak mengejar suaminya itu. Ia menarik rambutnya lalu menjambaknya pelan. Bagaimana bisa ia tak mencintai Dave yang bahkan sudah memberi segalanya untuknya. Tak membiarkan dirinya serba kekurangan dan damai. Namun perasaan bukan suatu perkara mudah dengan hanya menancapkan hati lalu diam begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD