3. Cahaya Senja

1024 Words
Pukul sepuluh pagi, kedai sudah mulai ramai didatangi pengunjung. Aku yang sudah selesai dengan pekerjaan memutuskan duduk di meja kasir. Membantu mereka yang memang sering kulakukan jika sedang tidak sibuk tentunya. Apalagi jika anak-anak sedang sekolah seperti ini, rumah pun akan sepi. Dan biasanya baru pukul sebelas siang aku meninggalkan kedai untuk menjemput anak kedua dan ketiga yang pulang dari sekolah. "Mami!" Telinga ini mendengar suara melengking anak kecil. Namun, kuabaikan saja karena berpikir jika pengunjung kedai yang kebanyakan memang dihadiri oleh anak-anak yang suka sekali membeli ice cream. Hanya saja aku merasa curiga ketika panggilan itu terdengar makin dekat dan diucapkan berulang-ulang. Sampai kepala ini mendongak melihat sosok anak perempuan dengan rambut panjang yang dikucir dua, tengah memandang dengan senyuman padaku. "Mami!" Lagi-lagi suara itu aku dengar. Bahkan mata ini menyipit menyaksikan anak perempuan itu justru mendekat padaku. Sayanganya, langkah kaki gadis kecil itu tertahan ketika ada sosok lain yang melarang. Bahkan sampai menggendong dan mengatakan sesuatu. "Aya, beliau bukan mami." "Aya tidak bohong, Papi. Ini mami," ucapnya sambil menuding ke arahku. Mata ini terbelalak. Tak mengerti sungguh dengan drama seorang lelaki bertubuh tinggi dengan perawakan padat berisi, bersama gadis kecil dalam gendongannya. Apakah aku yang disebut-sebut sebagai Mami oleh gadis itu? "Ayo, Papi. Kita temui mami." Gadis itu merengek dan tampak lelaki yang disebut dengan nama papi menghela napas, menurut pada apa yang diminta oleh putrinya. Dengan wajah ceria penuh senyuman, mereka berdua menghampiriku yang masih duduk di meja kasir sembari memperhatikan keduanya. "Ini mami Aya, kan, Pi?" Pertanyaan yang pada akhirnya membuatku membuka suara. "Halo cantik. Namanya siapa?" "Cahaya Senja." "Wah, cantik sekali namanya." "Aya senang banget bisa bertemu dengan Mami di sini." Kening ini mengernyit. Lalu, lelaki yang baru satu kali ini aku temui mengulas senyuman padaku. "Maafkan anak saya karena sejak tadi mengira Anda adalah maminya." Sebagai seorang pelaku usaha, tentu aku harus bersikap ramah pada setiap pengunjung yang datang ke kedai. Oleh sebab itulah hal kecil seperti ini tidak jadi masalah buatku. "Oh, tidak apa-apa, Pak. Mungkin wajah saya mirip dengan maminya Cahaya," ujarku hanya berbasa-basi saja sebenarnya. Namun, siapa sangka justru lelaki tersebut memberikan jawaban yang membuatku tercengang. "Wajah almarhum istri saya memang mirip dengan Anda. Jadi, mungkin Cahaya mengira jika Anda adalah maminya. Sekali lagi maafkan putri saya." ••• Karena hari sudah mulai siang, aku yang memiliki tanggungan menjemput anak-anak sekolah dengan terpaksa meninggalkan kedai meski kondisi di jam istirahat lumayan ramai. Banyak sekali anak-anak yang pulang dari sekolah memilih mampir ke kedai untuk melepas penat sekaligus menikmati ice cream yang lezat juga aneka jajanan yang lainnya. Selain harganya ramah di kantong, aku juga menggunakan bahan-bahan berkualitas untuk semua jenis makanan yang dijual di kedai. Jadi, tidak heran jika banyak yang menyukai. Bahkan para karyawan kantoran juga selalu memadati kedai di jam makan siang. Jika dikatakan cafe, kedaiku ini mirip-mirip meski tampilannya tidak semewah cafe pada umumnya. Harga makanan pun juga lebih terjangkau daripada menu-menu yang dijual di cafe. Mungkin karena itu juga yang membuat kedai milikku ini makin hari, semakin banyak pembeli. Bahkan jika sore sampai malam hari, hampir tidak pernah ada kata sepi. Ada saja pengunjung yang datang ke sini. Keluar dari dalam kedai segera kuambil kendaraan yang tadi aku parkir di depan. Sebagai seorang ibu tunggal bagi tiga orang putra, memiliki mobil memang sangat membantuku. Selain bisa membawa banyak penumpang, juga bisa sekaligus jalan jika aku ingin mengantarkan anak-anak entah pergi sekolah atau pun pergi ke manapun tujuanku. Mobilitasku memang lumayan tinggi sebagai ukuran ibu rumah tangga merangkap wiraswasta. Kubiarkan saja jika ada tetangga julid yang mengataiku sok sibuk. Lah, pada kenyataannya aku memang sibuk. Tak pernah juga menanggapi omongan orang yang suka negative thinking pada predikat janda yang aku sandang ini. Dikiranya, aku mempunyai simpanan sugar daddy hanya karena terlihat mapan dari segi ekonomi. Padahal ini semua aku dapatkan dengan penuh pengorbanan yang tak ada satu orang pun tahu bagaimana jungkir baliknya aku mencari nafkah sendirian. Sampai juga di depan gerbang sekolah taman kanak-kanak, tempat anak ketigaku bersekolah. Beruntung aku tidak sampai terlambat karena baru saja aku keluar dari dalam mobil, sosok tampan yang tadi pagi sangat menggemaskan, sekarang sudah berubah awut-awutan. Kugeleng-gelengkan kepalaku melihat Mondy yang berlari kecil menghampiriku. "Bunda!" teriak Mondy dengan lantangnya sembari tertawa kegirangan. Itulah putra ketigaku. Melihat bundanya, adalah hal teristimewa juga ternyaman baginya. Sebab, putraku itu seolah tak pernah mau lepas dariku. Kurentangkan kedua lengan ini bersiap menyambutnya dengan pelukan. "Bunda, tadi aku tidak bisa menggambar Jerapah." Mondy yang masih betah memelukku mengadu dengan gaya bicara yang masih sedikit cadel. Meski sudah berusia lima tahun, akan tetapi untuk berbicara dan menyusun kosakata masih sedikit berantakan. Sehingga hanya orang-orang terdekatnya saja yang sanggup memahami arti kata yang putraku itu lontarkan. "Tidak apa-apa. Nanti di rumah kita belajar menggambar Jerapah bersama." Pelukan itu Mondy lepas. Memandangku dengan tatapan puppy eyes. "Bunda janji?" "Iya." "Bunda tidak kerja?" "Bunda kerja hanya sampai sore saja hari ini. Kita akan belajar bersama nanti malam." Biasanya jika kedai sedang ramai, aku selalu pulang malam, sampai kehabisan waktu untuk dapat bersama ketiga putraku "Baiklah. Ayo kita pulang." Dengan semangat Mondy menarik lenganku menuju mobil. "Okay, Boy. Let's go." Inilah aku. Bisa berubah menjadi sosok ibu yang lemah lembut di siang hari. Sungguh berbeda dengan di pagi hari yang bisa dengan sendirinya mengubah karakter menjadi sosok Ibu yang garang, teriak-teriak karena anak-anak yang tak kunjung keluar kamar sebab suka sekali berlama-lama di dalam kamar mandi. Terkadang, lelah sendiri harus marah-marah tidak jelas seperti itu setiap hari. Namun, bagaimana lagi. Kurasa hampir sebagian besar ibu-ibu akan melakukan hal yang sama ketika pagi hari. Dikejar oleh waktu yang membuat stres datang tanpa bisa dicegah. Dan kadang kala semakin membuat emosi karena anak-anak malas pergi ke sekolah. Membuka pintu mobil dan memastikan Mondy duduk dengan nyaman. Tidak langsung membawa Mondy pulang, tapi harus menjemput dulu anak keduaku yang duduk di bangku sekolah dasar. Baru setelahnya mereka akan aku bawa ke rumah Ibu untuk aku titipkan sementara di sana selagi harus kembali ke kedai. Sungkan sebenarnya sering-sering merepotkan kedua orang tuaku. Namun, mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan lain saat ini karena bapak dan ibu juga sering mengomeliku jika aku harus membawa anak-anak ikut bekerja bersamaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD