Realita Tak Seindah Ekspektasi

1280 Words
“Iya, Ma. Aku bakal jaga diri di sini. Nggak usah khawatir. Iya, iya. Aku janji nggak bakal aneh-aneh. Kan aku baru sebulan di sini, jadi nggak bakal berani pergi ke mana-mana. Semua beres, kok. Temen-temen baik. Bos juga baik. Pokoknya perfect.” Aku mengapit ponsel di pundak, merogoh tas untuk mencari kunci rumah kontrakan. Mendengar petuah panjang Mama, aku mendesah panjang. “Iya, nggak bakal telat makan. Udah, ya. Ini baru balik kantor, mau istirahat. Bye, Ma.” Memasukkan ponsel ke tas, lagi-lagi aku membuang napas. Wajahku pasti kuyu saking banyaknya pekerjaan yang disodorkan hari ini. Dengan malas, aku membuka pintu. Sebelum kaki melangkah masuk, aku mendengar suara derum mobil di belakang, membuatku spontan menoleh. Tetangga seberang rumah yang sejak pertama pindahan tak pernah kulihat dan tegur—rumahnya hanya beberapa langkah dari tembok pembatas pekaranganku dengan jalanan dan tak berpagar. Padahal sudah sebulan, aku bahkan tak punya kenalan di kompleks ini. Awalnya aku tak acuh dan berniat masuk, namun gerakanku terhenti begitu melihat sesosok lelaki bertubuh tegap keluar dari mobil Fortuner hitam dengan jas putih tersampir di pundak. Kuamati lelaki itu yang membuka garasi dan memasukkan mobil. Aku bahkan tak sadar sedang mengamati gerak-gerik lelaki itu tanpa berkedip. Sial. Ganteng banget!   *   Malam tiba begitu cepat. Aku baru selesai merapikan rambut dan menyemprot parfum. Sebelumnya, aku telah memberi pesan pada teman-teman di grup w******p cewek-cewek redaksi yang diberi nama COGAN ADDICT, untuk sabar menunggu. Saking terburu-burunya, aku sampai tersaruk-saruk memakai sepatu berhak lima senti. Berjalan tergesa-gesa, aku memanggil layanan taksi daring dan membalas chat.   Nuansa: Iya. Gue udah OTW nih. Tiara: Bilangnya OTW, padahal masih mandi.   Bibirku mengerucut ke depan.   Nuansa: Enggak! Gue masih nunggu Ojol, hehe. Sabar ya :* Tiara: Kalau ganteng jangan lupa kasih bintang lima. Nuansa: Walau seganteng G-Dragon tapi ngebut ogah gue kasih bintang lima.   Sembari menunggu jemputan, aku berdiri di teras, memain-mainkan ponsel. Sesekali, kuperhatikan rumah di seberang. Mata tak beranjak sedetik pun, hingga pintu garasi terbuka diikuti suara omelan keras dari lelaki yang tadi kulihat. Aku bahkan bisa mendengar omelannya. “Dia pasien saya! Saya yang bertanggung jawab. Kenapa saya baru mendengar kabarnya sekarang? Kamu tidak menghargai saya, ya?” Aku tak jemu mengamati lelaki itu. Walau terlihat marah dan membentak-bentak, entah kenapa malah membuatku tersenyum seperti orang sinting, sampai-sampai kugigit ponsel gemas. Ya, Lord, lelaki seperti ini biasanya kutemukan di n****+-n****+ romantis. Ganteng-ganteng galak. Siapa tahu ia memiliki sisi romantis, seperti Nala Anarki di n****+ Klandestin yang baru kemarin selesai k****a. Mendadak aku berjalan makin ke depan dan berhenti di pinggir jalan. Aku memasang tampang memelas dan memberi gestur tak sabar. Kulirik mobil Fortuner yang mulai dikemudikan. Nah, nah. Kalau melihat perempuan berdiri di pinggir jalan sendirian dengan gestur bosan, pasti lelaki itu luluh dan kasihan. Lantas, mobil dihentikan di depanku. Ia akan menurunkan kaca jendela dan bertanya akan pergi ke mana aku. Aku menggigit bawah bibir menahan diri agar tak tersenyum. Senyum lebarku lenyap begitu kulihat mobil itu melesat cepat melewatiku dan portal kompleks kami. Kutekuk wajah masam. Tak berselang lama, ponselku berdering, dari nomor asing. Segera kuangkat panggilan yang rupanya dari sopir taksi daring. Kudengar instruksinya yang mengatakan sudah di depan portal, memintaku ke depan. Aku berjalan menuju portal dan melihat mobil jemputan. Seorang pria botak paruh baya mengangguk sopan padaku. Padahal aku berharap sopirnya pun ganteng.   *   Tiara dan Mona sudah menunggu di tempat karaoke. Celingukan, aku mencari keberadaan yang lain. “Kok cuma kalian?” tanyaku. Kami berjalan bertiga masuk ke salah satu bilik. “Yang lain batal ikut. Kan udah pada kasih tahu di grup besar,” balas Mona. “Lo nggak baca, apa?” “Yah, malas manjat. Chat di grup besar mah penuh sama gombalan Rian buat Tiara. Males baca.” “Bilang aja lo jealous nggak ada yang mau gombalin. Noh, pepet aja Nara. Masih single, loh,” tukas Tiara seraya memilih judul-judul lagu yang akan kami nyanyikan. “Apa mau sama Pak Anton? Kali aja mau dijadiin bini kedua.” Tawa Tiara dan Mona meledak mengejek, membuat bibirku manyun. Mereka tak melanjutkan ledekan ketika lagu pertama terputar. Mona memulai pertama dengan lagu dangdut yang tadi sempat k****a berjudul Kimcil Kepolen. Bersama Tiara, ia berjoget layaknya biduanita pantura di atas panggung. Aku hanya mengamati sambil melongo, tak percaya bahwa dua teman redaksiku begini gilanya. Jam karaoke lebih banyak dikuasai mereka berdua dengan deretan lagu dangdut. Mulai dari dangdut Melayu sampai koplo. Sementara aku nyaris mati kebosanan, duduk di pojok sofa, menekuk wajah dan mendengar dengan sabar.   *   Bagi kedua temanku, malam harus berjalan panjang. Mereka mengajakku mampir ke kafe yang buka sampai subuh. Kata Mona, mumpung besok Sabtu, kami bisa berleha-leha di akhir pekan. “Mana bisa berleha-leha di akhir pekan. Editan naskah gue masih banyak,” kataku seraya menyeruput teh Rosella. “Salah sendiri rakus mau nerima banyak,” sahut Tiara di sela-sela kunyahan. “Gue besok mau malming sama Rian. Lo mau ke mana, Mon?” “Gue? Ke mana, ya? Godain Big Boss kali, ya.” “Jidat lo!” Tiara mendorong kepala Mona dan menyemburkan tawa. Obrolan merapat menuju Rian, ilustrator kesayangan Big Boss, yang baru beberapa hari lalu menyatakan cinta pada Tiara. Karena aku tak terlalu mengenal Rian walau sering ditegur sapa, aku cukup menjadi pendengar yang baik saja. Bola mataku bergerak menuju ke sepenjuru arah, mengamati pengunjung yang mulai menipis. Aku nyaris tersedak minumanku begitu menemukan si tetangga ganteng di meja pojok, sedang mengobrol dengan seorang lelaki berkacamata dan berhidung mancung seperti keturunan Timur Tengah. “OMG, tetangga gue tuh.” “Tetangga? Mana? Ganteng, nggak?” Mona yang paling jeli terhadap pria tampan mengikuti arah pandanganku. “Yang mana tetangga lo?” “Yang di meja pojok.” Telunjukku perlahan teracung menunjuk tetanggaku yang tampak dari samping. “Yang mana, anjir? Dua-duanya ganteng.” Mona mendekatkan pipi pada pipiku. Aku mendorongnya menjauh. “Yang....” Si tetangga menoleh ke meja kami. Aku praktis membuang muka, sedangkan Mona kembali duduk di kursi dengan suara berisik. Kelakuan kami mirip orang norak yang baru melihat artis papan atas. “Yang ngelihat ke kita,” bisikku. “Udah, nggak usah dilihat!” Aku meremas telapak tangan Mona. Namun, diam-diam aku melirik ke meja pojok. Lelaki itu tidak lagi memerhatikan kami. “Lo kudu pasang start nih, Nu,” Tiara menimpali. “Sayang banget kalau dilewatkan. Apalagi kalau dia masih single.” “Gimana kalau dia punya pacar?” “Tikung!” Mona menyahut berapi-api. Mata Tiara memelotot tak setuju. “Ya nggak apa. Kan sebelum janur kuning melengkung, semua pria gue anggap single.” Mona menepuk pundakku. Aku mengusap-usap tangan. Kalau ia belum bertunangan, setidaknya aku masih punya peluang. Dalam hati aku tak berhenti berdoa. Semoga ia benar-benar masih sendiri dan belum memiliki tambatan hati. “Gue pura-pura bayar di kasir aja, ya. Entar gue lihat di jari dia ada cincin apa nggak,” kataku. Mona mengacungkan ibu jari setuju, sedangkan Tiara mendengus. Mereka membiarkanku berjalan dengan langkah elegan menuju kasir. Aku menyibak rambut sepunggung, berharap dapat menyita perhatian. Alih-alih melirik, lelaki itu malah beranjak berdiri diikuti temannya. Hampir dekat, ia menoleh ke arahku, membuatku praktis salah tingkah sampai-sampai aku memutar badan cepat dan menubruk tubuh tinggi seorang pria dan kakiku tergelincir, membuatku kehilangan keseimbangan. Oh, tidak. Aku akan jatuh. Jangan pesimis, Nuansa! Lelaki di sebelahmu, si tetangga ganteng, pasti menangkap tubuhmu seperti di n****+-n****+ romantis! Namun bokongku sudah mendarat di ubin, keras, sampai terdengar rintih kesakitanku. Belum sempat mulutku tertutup, gelas plastik berisi es kopi yang dipegang lelaki yang menubrukku tadi—yang ternyata si teman tetanggaku—jatuh di atas kepalaku. Mulutku ternganga selebar karung, seperti mulut Tiara dan Mona di meja kami. Menoleh ke samping, kulihat tetangga gantengku mengamati dengan sebelah alis terangkat. Lalu tertawa. Benar-benar di luar ekspektasi indahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD