“Astagfirullohal’adzim,” Rabiah tidak henti-hentinya mengucapkan istighfar sembari terus memeriksa tasnya. Dimana? Apa tertinggal di apartemen? batinnya kalut. Tangannya serampangan memeriksa ranselnya entah keberapa kalinya. Tidak ada juga. Bagaimana ini? Rabiah menyapukan pandangannya. Terik matahari membuatnya urung melangkahkan kaki. Ini musim panas, dan dia biasanya selalu menyiapkan payung di ransel, tapi sepertinya hari ini dia lupa. Kebiasaan, itulah yang biasanya dikatakan temannya setiap kali dia kelupaan membawa payung. Rabiah terkadang bisa sangat ceroboh.
Jarak dari kampus ke tempat tinggalnya tidak jauh, hanya beberapa menit ditempuh dengan jalan kaki, tapi dengan cuaca seperti ini…Rabiah ragu. Gedung fakultasnya dengan gerbang kampus berjarak cukup jauh, membuatnya semakin urung melangkah. Matanya melirik jam tangan mungilnya. Jam 14.30. Sudah cukup lama sejak dia berdiri diaula kampus ini.
“Ini,”
Rabiah membeku saat melihat tangan kokoh yang menyodorkan payung kecil berwarna abu-abu padanya. Rabiah mematung, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Pakai saja.” dan laki-laki itu melongos pergi tanpa membiarkan Rabiah mengucapkan sepatah katapun.
Rabiah menatap payung yang sekarang tergeletak tidak berdaya di bawah kakinya. Otaknya masih belum bisa mencerna kejadian mendadak yang dia alami. Perlahan dia mengambil dan menatapnya cukup lama. Siapa laki-laki tadi? Bagaimana dia akan mengembalikannya jika dia bahkan tidak mengenal siapa yang memberikan payung ini padanya? Apa dia mengabaikannya saja? tapi dia sudah diamanahi dan kelak dia akan dimintai pertanggung jawaban atas payung ini. Terdengar sederhana bukan? Tapi sungguh tidak ada yang luput walau sebiji zarrah sekalipun. Setiap hamba akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya kelak dihadapan Rab-nya.
Rabiah ragu-ragu, namun detik berikutnya dia membawanya. Dia bisa menunggu laki-laki itu disini bukan? Baiklah, besok dia bisa menunggu ditempat ini dan mengembalikannya pada laki-laki tadi. Rabiah melangkah pulang menggunakan payung yang diberikan pria misterius itu padanya. Alhamdulillah, batinnya penuh syukur saat merasakan kenyamanan karena payung ini menghalaunya dari terik matahari.
*****
“Assalamu’alaikum,” ucapnya saat memasuki apartemen. Tidak ada sahutan, batinnya. Sepertinya Alesha belum kembali dari kampus. Rabiah bergegas memasuki kamarnya, mengganti setelan gamisnya dengan baju rumahan. Rambut panjangnya dia ikat kuda. Hari ini jadwalnya memasak dan dia tidak ingin sahabatnya kelaparan saat dia datang. Ini salah satu strategi mereka untuk menghemat pengeluaran. Rabiah yang seorang mahasisiwi beasiswa harus bisa meminimalisir pengeluaran mengingat biaya hidup disini cukup mahal. Berbeda dengan dirinya, sahabatnya Alesha dan Aliyah merupakan mahasisiwi mandiri dengan biaya sendiri. Meski begitu mereka sepakat untuk berhemat sebaik mungkin. Sederhana dan berkah, itu adalah motto yang selalu mereka pegang jika sudah berhubungan dengan pengeluaran. Rabiah memeriksa isi kulkas, dan memutuskan untuk memasak Fasoulya Khadra6.
“Assalamu’alakum,”
“Wa’alaikumussalam.” Sahut Rabiah begitu mendengar salam dari sahabatnya.
“Masak apa?”
“Fasoulya Khadra. Bagaimana tugasnya?” Rabiah bertanya begitu melihat wajah kusut Alesha.
Alesha memutar mata bosan. “Kau tahu, aku mulai berfikir sepertinya ada yang salah dengan Profesorku itu.”
Rabiah tertawa mendengarnya, jika sudah seperti ini, itu berarti sahabatnya benar-benar sudah kesal.
“Dan…?”
“Dia memintaku untuk mencari sumber lebih banyak. Profesor bilang jika makin banyak bahan dan sumber yang dikumpul maka penelitian yang kubuat akan semakin hidup.” Alesha cemberut mengucapkan kalimat terakhir.
Rabiah menyipitkan mata dan mengangkat telunjuknya. “Eitss, Alesha sayang, masa cuma disuruh tambah referensi aja udah nyerah,” gumamnya mengerling jail.
“Masalahnya itu berarti aku harus ke Amman,” gumamnya cemberut.
Rabiah mengerut mendengarnya. “Kenapa?”
“Buku yang kucari tidak ada disini,” keluhnya menengadahkan kepalanya lelah, seolah mencari inspirasi yang bisa membuatnya tenang. Kepalanya menoleh pada Rabiah yang menatapnya dengan sabar. “Aku harus ke Amman.” Ucapnya nelangsa yang membuat Rabiah seketika tertawa melihat ekspresi sahabatnya. Amman merupakan ibukota Yordania. Jaraknya hampir dua jam dari Mu’tah jika ditempuh dengan bus.
“Apa kau lupa? Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga. Para malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda senang kepada orang yang mencari ilmu. Orang yang mencari ilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan penduduk bumi sampai ikan-ikan pun ikut beristighfar untuknya. Keutamaan orang berilmu dibandingkan ahli ibadah seperti keutamaan bulan dibanding bintang lainnya. Apa kau tidak ingin mendapatkan semua itu?” Rabiah mengangkat alis menunggu sahabatnya merespon.
Alesha seketika tersenyum malu. “InsyaAllah…”
“Dan jangan takut aku akan ikut menemanimu besok.”
Alesha seketika sumringah. “Benar?”
Rabiah mengangguk. “Sekalian besok mau ke kampus.”
“Buat? Besok jadwal kuliahmu kan kosong?” ucapnya mengernyit tidak paham.
Rabiah hanya menunjuk payung abu-abu yang sekarang menggantung disalah satu sudut dapur mereka.
“Itu payung siapa? Apa kau melupakan payungmu lagi?” ucapnya telak membuat Rabiah meringis.
“Aku tidak tahu itu payung siapa, aku berniat mengembalikannya besok, dan ya aku melupakan payungku lagi.”
“Ceroboh.” gumamnya tidak bisa menahan kegeliannya. “Jika kau tidak tahu itu punya siapa bagaimana payung itu ada padamu?” tanyanya tidak paham.
Rabiah menceritakan kronologi payung yang dia alami saat sedang dilema tentang panas matahari yang membuatnya urung pulang.
“Apa kau mengenalnya?” tanyanya setelah mendengarkan cerita Rabiah.
Rabiah menggeleng.
“Kau pastinya melihat wajahnya kan?”
Rabiah menggeleng lemah. “Tidak. Aku hanya sempat melihat punggungnya.”
“Lalu bagaimana caramu mengembalikannya?”
Rabiah mengangkat bahu seolah jawabannya sudah jelas.
“Aku akan menunggunya ditempat yang sama.”
Aleesha bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa mendengarnya. Apa itu ide yang baik? Tapi dia tahu jika sahabatnya sudah memutuskan seperti itu maka berarti itu yang akan dia lakukan. Rabiah orang yang sangat hati-hati terhadap amanah orang padanya.
“Apa jangan-jangan dia jodohmu ya?” gurau Alesha tiba-tiba mengerling jail.
Rabiah memukul pelan bahu sahabatnya.”Jangan aneh-aneh.” Serunya mendengar ucapan Aleesha yang menurutnya mulai melantur.
Alesha pura-pura mengaduh kesakitan meski pukulan sahabatnya tidak sakit. “Siapa tahu kan? Kita kan gak pernah tahu rencana Allah Biah sayaang.”
Rabiah hanya menggelengkan kepala mendengar candaan sahabatnya. Jodoh? Dia bahkan belum memikirkan kata itu sama sekali. Dia hanya ingin fokus menyelesaikan kuliahnya agar bisa pulang dan mengabdi seperti yang diinginkan Abi dan Uminya. Soal jodoh? Dia yakin akan datang saat waktunya sudah tepat.
“Belum kefikiran sampai kesana,”
“Harus. Usia kita sudah cukup untuk mulai menjalankan sunnah Rasulullah, meski bukan berarti kita harus buru-buru, hanya saja mempersiapkan diri sejak dini itu hal yang baik, agar kelak jika kita sudah memulai biduk rumah tangga kita tahu bagaimana menjalankannya sesuai tuntunan islam. Kamu lihat? Maraknya perceraian, ketika suami istri saling menyalahkan. Mereka lupa, Islam mengatur semua aspek kehidupan dengan sempurna, kita saja yang malas mempelajarinya.”
Rabiah tersenyum. “Bagaimana denganmu?”
Wajahnya sumringah, dia menatap Rabiah dengan sorot mata yakin. “Jika ada yang datang mengkhitbah dan dia sesuai dengan kriteriaku dan tentu saja dapat restu dari Umi dan Abi, InsyaAllah aku siap,”
“Seperti apa kriteria yang kau cari?”
“Tentu saja yang pertama paham agama, yang bisa menjadi imam. Dia lah kelak yang akan menjadi nakhkoda dalam rumah tangga kami. Jika dia bahkan tidak memiliki ilmu bagaimana menjalankannya dengan baik, maka hanya soal waktu sebelum kapal nya tenggelam,”
Rabiah menggeleng mendengar perumpamaan yang digunakan Aleesha. Tapi yang dikatakannya benar. Suami harus bisa menjadi imam, dalam artian suami lah yang akan memimpin bagaimana menjalankan rumah tangga agar sesuai dengan tuntunan islam, sementara istri memastikan aturan yang dibuat dijalankan dengan baik. Suami dan istri memiliki peranan masing-masing agar rumah tangga yang mereka jalani mendapat sakinah mawaddah wa rohmah, dan ini membutuhkan kerja sama dan rasa saling percaya. Terdengar mudah ditelinga, tapi prakteknya membutuhkan kesabaran seumur hidup.
“Bagaimana denganmu?”
Rabiah terhenyak mendengar pertanyaan Aleesha.
“Apa?” tanyanya tidak paham.
“Apa kau sudah memikirkan kriteria calonmu?”
“Biarkan saat ini kami saling mendo’akan. Kelak jika sudah tiba saatnya, Allah yang akan mengatur jalan untuk kami bertemu,” jawabnya sok puitis.
“Sudah punya calon?”
Rabiah tersenyum lebar. “Calon yang masih Allah rahasiakan,”
Aleesha yang sudah berharap mendengar sesuatu yang lebih serius, membelalak mendengar jawaban diplomatis Rabiah. “Dasar,”
Rabiah terkekeh pelan. Di percaya, jodoh akan menemukan jalannya jika waktunya tepat. Tugasnya adalah berdo’a agar diberikan jodoh yang bisa menjadi imam, sahabat, dalam urusan dunia dan akhiratnya kelak.
6. Buncis dimasak dengan saus tomat dan disajikan dengan nasi