Inilah momen untuk pertama kalinya Litzi rasakan, berangkat ke sekolah menggunakan mobil sport mewah itu. Apalagi yang mengantarnya adalah seorang pria tampan yang memiliki reputasi trillionaire ternama. Sekali lagi, Litzi berpikir ini nyata atau hanya mimpi? Gadis itu memejamkan mata dan membukanya bahkan mengucek matanya, berulang kali ia lakukan namun hasilnya tetap tempat yang sama. Ini nyata, kata itulah yang terlintas dibenaknya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rex melirik Litzi sesaat.
Litzi menoleh dan menggeleng. "Bukan apa-apa."
Tiba-tiba saja mobil itu berhenti di tepi jalan, Litzi mengernyit, tidak melihat dimana gedung sekolahnya. Mengapa Rex menghentikan mobilnya? Litzi terkejut ketika tangan kekar pria itu menarik dagunya. Nafas Litzi berhenti sejenak bahkan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, kedua matanya yang terbelalak beradu dengan kedua mata elang pria itu. Jarak wajah mereka saling dekat, sedikit saja wajah mereka bisa saling bersentuhan. Litzi merasa aneh, biasanya ia langsung menepis kasar tangan pria yang berani menyentuhnya, tapi entah kenapa dengan saat ini?
Kenapa tubuhku membeku begini? batin Litzi.
"Bernafaslah!" ucap Rex yang berhasil mengerjapkan kedua mata Litzi.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Litzi yang masih sulit menggerakan tangannya untuk menepis tangan pria itu.
Rex menggeleng. "Bukan apa-apa."
Litzi mengernyit. "Apa maksudmu?"
Rex melepaskan cengkeraman lembutnya dari dagu gadis itu. Lalu memegang stir dengan satu tangannya dan menatap ke depan, posisinya itu terkesan cool.
"Harusnya pertanyaan itu yang ku lontarkan padamu, Litzi. Apa maksudmu dengan kau menjawab bukan apa-apa? Padahal aku lihat kau mengucek kedua matamu tadi," ujar Rex.
"Soal itu? Itu memang bukan apa-apa. Kedua mataku cuma sedikit perih saja," kata Litzi berbohong.
Rex menoleh. "Perih? Tadi aku lihat kedua matamu baik-baik saja."
"Aku kan yang merasakannya. Bukan kau," balas Litzi yang mengelak.
"Kau tak bisa membohongiku, gadis kecil--"
"Apa katamu? Gadis kecil?" potong Litzi yang menatapnya kesalnya.
"Ya. Jangan kesal! Tubuhmu itu pendek! Kecil! Bandingkan saja denganku," timpal Rex.
"Dasar! Itu sudah jelas! Kau kan jauh lebih tinggi dariku, ternyata pria dewasa itu bodoh juga ya?"
"Benarkah? Bagaimana denganmu? Jawaban PR-mu saja masih ada yang salah. Padahal itu soal yang mudah."
"Itu kan menurutmu, tidak denganku. Lagipula.. aku kan masih tahap pembelajaran."
"Oh, sudah pintar mengelak ya?"
"Aku turun saja disini. Aku bisa jalan kaki ke sekolah. Aku bisa terlambat sekolah jika terus berdebat denganmu."
Ketika Litzi mencoba membuka pintunya, pintu itu tak kunjung terbuka. Rex tersenyum seraya menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah Litzi. Padahal pintu itu terkunci dengan password yang hanya diketahui Rex. Mobil itu pun kembali melaju.
"Mana ucapanmu? Katanya kau akan menjelaskan semuanya padaku," gumam Litzi.
Rex melihatnya sesaat. "Tentang apa?"
"Semuanya. Terutama jawaban untuk satu pertanyaan ini, kenapa kau membawaku ke mansion-mu?" tanya Litzi dengan menatapnya serius.
Rex menghela nafas dan tersenyum. "Mulai saat ini dan seterusnya, kau adalah tanggung jawabku."
Litzi hendak bertanya lagi namun mobilnya berhenti dan ternyata sudah sampai di tempat tujuan. Keberadaan mobil sport merah maroon itu menarik perhatian para murid. Mereka bertanya-tanya, mobil siapakah yang berhenti di pelataran gedung sekolah? Litzi meneguk salivanya, bagaimana ini? Mobil sport yang ditumpanginya menarik perhatian mereka.
"Kenapa kau ber-... hey!" Litzi memanggil Rex yang lebih dulu keluar.
Para murid sekolah menengah atas itu tercengang begitu melihat sosok yang terkenal di Negara tersebut. Trillionaire itu telah menghentakan jantung mereka.
"Oh, Tuhan! Bukankah dia... dia Mr. Rex?!" ucap salah satu murid perempuan.
Rex berjalan setengah melingkar menuju sisi pintu mobil lainnya seraya mengenakan kacamata hitam. Langkah kaki Rex bersamaan dengan terbukanya pintu tersebut, lalu Rex berhenti dan menyuruh Litzi keluar.
"Kenapa kau mengantarku sampai masuk area sekolah? Mereka.. mereka pasti bertanya-tanya tentang ini. Karena aku sebelumnya datang ke sekolah dengan berjalan kaki. Setidaknya kau jangan keluar," kata gadis itu dengan pelan.
"Kenapa kau harus khawatir? Jika mereka bertanya, katakan saja bila kau tinggal bersamaku."
"Itu tidaklah mudah.." Litzi menghentikan ucapannya ketika melihat beberapa murid menatapnya dengan ekspresi terkejut.
Sial! Ada mereka yang melihatku. Bagaimana ini? batin Litzi.
Litzi semakin cemas ketika beberapa murid itu memberitahu yang lain. Litzi dengan cepat keluar lalu hendak berlari, namun tangan Rex mencekalnya.
"Ada apa lagi? Cepat! Lepaskan aku!" kata Litzi dengan kesal.
"Ada kecemasan di wajahmu. Katakan ada apa?" Rex terlihat khawatir.
Litzi menarik tangannya agar terlepas dari cekalan pria itu, lalu menggeleng sekilas.
"Litzi!"
Litzi menghentikan langkah kakinya lagi lalu menoleh.
"Setelah pulang sekolah, aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Nanti aku yang kan menjemputmu. Jika aku belum datang, tunggu dan jangan kemana-mana. Kau dengar?" papar Rex.
Tak ada respon apapun, hanya ada raut wajah kesal. Gadis berusia 17 tahun itupun melangkahkan kakinya dengan cepat dan menunduk. Ia ingin cepat-cepat sampai ke kelas, menguatkan hati dan menyudutkan diri dari mereka, mereka yang selalu menguji kesabarannya. Rex menatap tas merah jambu itu dengan tersenyum, keberadaan gadis itu benar-benar membuatnya merasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Stay with me, please! I wish... ucap Rex dalam hati.
Litzi yang sampai di lobby sekolah, menghentikan kedua kakinya dan menoleh. Pria tampan bersetelan formal itu masih disana dan menatapnya.
"Mulai saat ini dan seterusnya, kau adalah tanggung jawabku."
Ucapan itu terngiang-ngiang di telinga Litzi, gadis itu kembali melajutkan perjalanannya dengan kepala yang sedikit menunduk. Litzi menatap murid-murid lainnya dengan tubuhnya yang panas dingin juga hatinya yang terasa nyeri. Inilah! Inilah ujian yang lagi, lagi dan lagi bahkan sudah seringkali Litzi dapatkan di sekolah tersebut. Bukan ujian sekolahnya tapi ujian hidup, yang kian lama lukanya semakin menganga lebar.
Tatapan menohok dan bisikan-bisikan hina, meremaskan hati Litzi yang rapuh itu. Bagaimana tidak? Bayangkan! Mereka... mereka yang satu sekolah denganmu, selalu menatapmu dengan tatapan menohok! Kau mendengar bisikan-bisikan bahkan perkataan yang frontal mengejekmu atau menghinamu. Bagaimana perasaanmu?
Litzi populer disana, benar... tetapi reputasinya itu cenderung jelek dan telah menimbulkan fitnah untuknya. Ada teman sekelasnya, yang sangat membencinya! Dia mengetahui soal pekerjaan Litzi sebagai sexy dancer di sebuah tempat hiburan malam. Dengan jahatnya, dia membocorkan rahasia terbesar Litzi kepada seluruh satu sekolah. Kecuali, guru-guru disana. Bahkan dia melebih-lebihkan ketika menyebar info tersebut, Litzi di katakan bila ia seringkali disentuh para pria dan menerima uang dari pria yang berkencan dengannya. Padahal... itu tidak benar! Litzi telah difitnah. Ia berusaha keras menghancurkan tuduhan palsu itu, namun selalu sia-sia. Litzi merasa lelah dan membiarkan suara-suara mereka yang berkoar yang terus menghinanya.
"Hey! Lihat si sexy dancer itu! Dia kelihatan berbeda ya?" kata salah satu murid perempuan yang dilewati Litzi.
"Iya. Penampilannya pagi ini jauh dari biasanya," timpal yang lain.
Litzi menunduk dan tenggelam dalam pikiran. Mereka benar, penampilannya memang tidak biasa. Litzi terkesan anak dari orang berpunya, sebelumnya dia pernah menduduki posisi itu tapi semenjak Ayahnya dililit hutang dan Litzi hidup sebatang kara, penampilannya sederhana.
Valerie, gadis angkuh dan terpopuler itu ternganga dengan raut wajahnya yang terkejut menatap Litzi. Si rambut pirang itu melihatnya dari bawah sampai ke atas, penampilan Litzi membuat rasa iri itu datang. Valerie menatap anak-anak lain yang hanya fokus menatap Litzi, melihat murid-murid laki-laki terpaku melihat Litzi, itu semakin membuatnya geram.
"Demi Tuhan! Pagi ini Litzi semakin cantik, kelihatan berbeda. Dia jauh diatasmu Valerie," gumam salah satu anggota gang-nya.
"Tidak! Enak saja kau bicara!" balas Valerie dengan kesal.
Litzi! Aku sangat membencinya! Dia telah menarik perhatian laki-laki dariku. Tidak akan ku biarkan siapapun menyaingi kecantikanku! geram Valerie dalam hati.
"Hai, Litzi! Makin cantik saja!" sapa murid laki-laki itu dengan tatapan merayu.
Litzi mengabaikan dan terus berjalan. Dia dibenci para murid perempuan, tapi tidak sedikit murid laki-laki menyukainya. Sapaan bahkan godaan didapati Litzi dari murid laki-laki, ada yang mencegatnya namun ia berhasil mengelak dan terus berjalan dengan pandangan yang terus ke bawah dan ke depan dengan mencoba menghiraukan tatapan-tatapan menohok itu.
"Eh, kalian tahu tidak? Saat aku berangkat sekolah, aku lihat ada rumah besar yang disita," kata Valerie dengan nada keras yang di sengaja.
"Benarkah? Dimana? Rumah siapa, Valerie?" timpal lainnya.
"Itu disana... rumahnya si pak tua yang mati karena dililit hutang itu. Ayahnya si sexy dancer!" jawab Valerie dengan tergelak.
Spontan! Litzi menghentikan langkah kakinya begitu mendengar ejekan Valerie, teman sekelasnya itu. Hati siapakah yang tidak sakit ketika mendengar seseorang menghina orangtua kita?
"Oh, si sexy dancer itu! Kasihan sekali ya?" kata Diana, sahabat dekat Valerie dan satu gang dengannya.
Valerie mengangguk dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. "Iya. Kasihan sekali anak itu! Sudah sengsara, tambah sengsara! Hahahaha!" Valerie pun tertawa.
"Hahaha! Lalu anak itu tinggal dimana ya? Dipinggir jalan atau tempat pembuangan sampah? Hahahaha!" sambung Diana diikuti tawa yang lainnya.
"Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin? Kekasihnya itu dimana-mana, siap menampungnya dengan senang hati. Atau... dia tinggal di apartemen mewah, dia kan mudah mendapatkan uang dengan tarian erotisnya," sindir Valerie dan tertawa lagi.
Diana berdehem. "Tiap malam kan dia ada di klub, banyak pria kaya disana. Pasti dia bukan cuma menari, tetapi... ya kalian tahulah seperti apa jalang itu."
"Oh, ya ampun Diana! Bilang saja dengan jelas. Maksudmu... jual diri bukan--"
"VALERIE!"
Emosi Litzi sudah diubun-ubun. Ini sudah diluar batas! Sebelumnya Valerie menuduhnya bila ia sering disentuh para pria dan menerima uang dari pria yang berkencan dengannya. Dan sekarang, Valerie menuduhnya dengan kata-kata yang menjijikan!
"Oh! Ternyata dia ada disini," kata Valerie pura-pura terkejut.
Litzi menghampirinya. "Valerie, cukup! Apa mulutmu itu tidak lelah terus menghinaku? Memfitnahku--"
"Hey! Fitnah katamu heh? Aku bicara sesuai fakta! Dasar sexy dancer tidak tahu malu!" potong Valerie dengan suara keras dan melototinya.
"Kau lah yang tidak tahu malu, Vale! Tingkahmu itu memalukan! Menghina, memfitnah dan selalu mencari sensasi dengan menyeret namaku!" balas Litzi.
Valerie, Diana dan yang lain tercengang melihat Litzi yang tiba-tiba berani melawan. Sebelumnya Litzi memang diam dan tidak terlalu berani melawan, bahkan menatap Valerie saja ia tak berani. Tapi sekarang? Selain penampilannya yang berbeda, sikapnya juga berubah. Valerie mengepalkan tangannya, baru kali ini ia mendapat perlawanan dan tatapan tajam dari seseorang. Apalagi orang tersebut adalah musuh terbesarnya, makhluk yang paling dibencinya.
"Sebaiknya kau diam, Valerie! Hentikan tindakan burukmu itu! Pada akhirnya itu hanya akan merugikanmu! Ingat! Tuhan itu adil! Dia akan membalasmu! Sebelum hari itu terjadi, sekarang kau cobalah menjadi orang baik dan berteman baik denganku! Jangan memusuhiku tanpa sebab!" papar Litzi.
Valerie tertawa hambar. "Jangan menceramahiku! Sampai matipun aku tetap membencimu, Litzi! Jangan kau pikir aku memusuhimu tanpa sebab!"
"Lalu kenapa kau memusuhiku?"
"Untuk apa kau mengetahuinya, jalang?"
"Valerie!"
"Apa? Kau ingin marah? Ayo! Marah saja! Lawan aku hem?" tantang Valerie.
"Oh, b***h!" ejek Diana kepada Litzi dan terdengar tawa yang riuh.
Litzi mencoba mengontrol emosinya, percuma ia jelaskan! Tak ada yang mau mendengarnya. Litzi membalikan badan dan siap melangkah pergi.
"Sudah berapa pria yang bersetubuh denganmu, Litzi?"
DEG! Kedua kaki Litzi membeku dan seolah-olah ada sesuatu yang keras menghantam dinding hatinya. Kedua mata Litzi sudah berkaca-kaca. Pertanyaan Valerie sangat menyakiti hatinya, benar-benar melewati batas! Litzi kembali membalikan badannya dan menatap tajam Valerie.
"Jangan menatapku begitu, jalang!" kata Valerie dengan ketus.
"Valerie!" suara Litzi meninggi sampai membuat semua orang terkejut.
"Hey, b***h! Berani sekali kau meneriaki namaku!" balas Valerie.
Litzi berdiri tepat di depan Valerie dan menyunggingkan senyum. "Jangan selalu berpikir bahwa aku ini tidak berani padamu, Valerie."
"Heh, kau itu sedang berusaha menutupi sosok dirimu saat malam hari. Sexy dancer and a... b***h!" desis Valerie diakhir ucapan.
"Jika kau tidak tahu apa-apa, lebih baik kau tutup mulutmu itu! Berhentilah berkata yang tidak-tidak. Ucapanmu bisa menjadi boomerang untukmu sendiri!"
"Oh ya? Omong kosong!"
"Kau yang bicara omong kosong!"
"Oh, ayolah! Akui saja pekerjaanmu!"
"Selama ini aku hidup mandiri, bekerja dari sore hingga malam. Menjadi pelayan di restoran dan hanya seorang sexy dancer di klub malam dengan gaji yang tidak seberapa, jalang? Aku bukan perempuan serendah itu. Aku bekerja disaat seharusnya aku fokus belajar. Aku berjuang untuk tetap hidup. Kau dan kalian semua itu tidak tahu apapun! Yang kalian tahu hanyalah menghina dan memfitnah! Pikirkanlah, bagaimana jika kalian berada diposisiku? Aku memang hidup sebatang kara, tapi Tuhan tak pernah meninggalkanku. Apa kalian tidak takut jika Tuhan menjauhi kalian karena sikap kalian yang buruk itu?" papar Litzi yang berusaha tegar.
Valerie menguap. "b***h, please! Jadi kau tetap tidak mau mengaku heh?"
"Apa yang harus ku akui, Valerie? Apakah kau kurang puas menyakitiku?"
Diana mencekal lengan Litzi dan membuatnya berputar kesana kemari untuk melihat seluruh penampilan Litzi. Ia bergerak memegang seragam, tas dan jam tangan yang dikenakan Litzi.
"Oh, ya Tuhan! Seragam baru! Tas, jam dan sepatu yang anak ini pakai bermerk terkenal! Oh, astaga Valerie! Dia benar-benar berada diatasmu!" ucap Diana dengan heboh.
Valerie dan murid lainnya terkejut. Valerie berjalan memutari Litzi untuk melihatnya seraya menutup mulutnya lalu menatap Litzi dengan tidak menyangka.
"Bagaimana mungkin, Litzi? Oh.. oh ya ampun! Ini aneh! Ada sesuatu yang ganjil! Bagaimana bisa orang dengan gaji sedikit bisa membeli barang-barang semahal itu?" kata Valerie dengan berpura-pura heran.
"Ini sudah jelas, Valerie!" sambung Diana.
"Mungkin Mr. Rex yang memberikannya," kata salah satu murid perempuan.
Valerie terkejut. "Apa? Apa maksudmu Mr. Rexford Mackenzie?"
"Ya! Benar! Ada kejadian heboh dipelataran gedung depan sekolah, apa kau tidak lihat tadi Litzi diantar dengan Mr. Rex?" balas perempuan yang tadi.
"Menggunakan mobil sport. Litzi sangat beruntung!" timpal lainnya.
"Mr. Rex? Oh, astaga! Trillionaire muda dan tampan itu?" kali ini Valerie benar-benar terkejut.
"Jadi Litzi? Apa trillionaire itu juga pria yang kau kencani?" tanya Diana.
Litzi menggeleng. "Jangan menuduhku! Dia--"
Valerie tersenyum miring seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran kepada Litzi.
"Bukankah Ayahmu punya hutang pada perusahaan milik CEO itu? Rumahmu sudah disita kan? Apa masih kurang? Apa kau menari di depannya atau menawarkan diri padanya agar hutang Ayahmu itu lunas?" tanya Valerie.
"Valerie, hentikan! Berhentilah mencampuri urusanku! Berhentilah berpikir buruk tentangku!" bantah Litzi.
Valerie tertawa. "Kau itu memang buruk! Oh, b***h!"
"P-E-R-R-A!" Diana mengejanya seraya menatap Litzi dengan menohok.
*(Perra : jalang).
Bel berbunyi dengan keras. Murid-muridpun bubar menuju kelas masing-masing, namun tidak sedikit dari mereka masih tetap tinggal untuk melihat kelanjutan pertengkaran antara Litzi dengan kedua murid perempuan populer itu. Litzi hendak ke kelas namun tiba-tiba rambutnya ditarik oleh Valerie. Litzi berteriak minta tolong dan meronta ketika Valerie menyeretnya dengan menarik rambut panjangnya. Litzi berteriak kesakitan, meminta tolong, berharap setidaknya ada seorang guru yang mendengarnya. Namun sepertinya tidak. Sebab jarak tempatnya dengan ruang guru cukup jauh.
"Valerie, aku mohon! Tolong lepaskan! Sakitttt!!!!" teriak Litzi yang tak kuat lagi menahan air matanya.
"Silencioso! Dasar lemah! Cengeng!" kata Diana.
*(silencioso : Diam).
Valerie tidak sendirian, Diana turut mengikutinya sampai masuk ke area lorong yang temaram dan sepi. Lorong yang terhubungan dengan kelas-kelas yang tak terpakai. Sedangkan anggota gang lainnya berjaga-jaga di ujung lorong, memastikan Valerie dan Diana aman untuk mem-bully Litzi.
Valerie melepaskan tarikan tangannya pada rambut Litzi dengan kasar. Lalu mendorong teman sekelasnya itu, Litzi sampai jatuh ke lantai hingga kedua betisnya terbentur cukup keras. Litzi meringis kesakitan dan menatap Valerie dengan luka yang amat jelas disana.
"Diana, tahan dia! Aku tidak mau pemberontakannya mempersulitku," perintah Valerie.
Diana memanggil salah satu anggota gang-nya, menyuruhnya untuk membantunya memegang kedua tangan Litzi. Litzi berontak, ia berusaha melepaskan diri namun kekuatan mereka lebih kuat. Litzi merutuk dirinya sendiri karena lemah dan bodoh. Valerie merogoh saku jasnya dan menatap lipstick merah yang ada ditangannya, seutas senyum licik diwajahnya. Litzi terkejut ketika Valerie mencengkeram dagunya dengan keras. Valerie mencoret pipi kiri Litzi dengan kata "Sexy", pipi kanan dengan kata "dancer" dan kening dengan kata "b***h". Wajah Litzi kini tercoret dengan lipstick merah itu. Jangankan wajahnya, reputasinya saja sudah sejak tercoreng karena ulah mereka yang jahat.
"Aku sangat membencimu, Litzi! Benar-benar muak!" kata Valerie.
Diana, Valerie dan satu anggota mereka tertawa lepas melihat wajah Litzi yang bagi mereka terlihat lucu. Valerie bernafas lega dan tersenyum puas, rencananya telah berhasil untuk mengacaukan Litzi. Ia pun melenggang pergi diekori kedua anggota gang-nya. Siluet mereka dan gelak tawa mereka perlahan menghilang. Litzi Euniciano, remaja malang itu duduk tak berdaya sendirian disana. Ditengah lorong yang temaram dan sunyi, tangisnya memecah. Apakah tidak ada selain Tuhan yang mendengar tangisannya? Litzi kerap kali mendapat bully-an dari mereka, namun baru kali ini ia mendapat bully-an separah pagi ini. Litzi merindukan sahabatnya, entah dimana ia sekarang. Biasanya sahabatnya itu ada bersamanya, membelanya, bahkan karenanya ia ikut terkena kejahatan Valerie dan teman-temannya.
Sampai saat ini, aku masih tidak mengerti mengapa Valerie begitu membenciku. Aku tidak tahu apa masalahnya, batin Litzi.
"Litzi!"
Mendengar suara dan mencium aroma maskulin itu, dengan cepat Litzi mendongak. Tangisnya sekejap berhenti begitu melihatnya. Pria itu berlari ke arahnya dan langsung bertekuk lutut. Kedua tangan kekar dan dengan nafas terengah-engah, pria itu menangkup wajah Litzi. Kecemasan begitu terpatri di wajah tampannya. Litzi terdiam, sesuatu seperti menyihirnya. Tubuh gadis itu terangkat dan membiarkan pria itu membopongnya.
*****