Bab 3 : Perasaan ... Terbalas?

2591 Words
Awalnya hanya ingin mendapatkan hati Mikayla, tetapi semakin di sini, aku kira penasaran dengan panti asuhan. Jumlah anak di dalamnya ada ratusan, dari berbagai umur, sementara yang mengurus hanya tiga orang. "Memang bisa urus semuanya hanya dari tiga orang?" tanyaku pada Mirza ketika pagi pertama di sini, kami bertemu di kursi halaman. "Berat memang, Mahira. Tapi alhamdulillah, bisa, sampai sekarang ini." "Baru dibangun enam bulan lalu, panti asuhan ini?" lanjutku bertanya, setelah tahu informasi ini dari Syakila. Takjub dengan perkembangan pesat anak di dalamnya, dan Mirza menjawab dengan anggukan kecil. "Semua anak yatim dan dititipkan sama orang tuanya, diterima di sini?" "Iya, diterima semua anak yang membutuhkan kami tanpa terkecuali." "Dibayar?" Aku semakin dalam bertanya, penasaran sekaligus takjub dengan tiga pengurus di sini, terkhususnya si pendiri langsung—Mirza. "Ada, dari donatur, alhamdulillah. Sisanya kami bertiga usahakan sendiri dari bekerja, dan selalu ada rezeki buat anak-anak ini." Jawabannya terdengar bijak, tetapi sama sekali tidak bisa membuat keningku berhenti berkerut bingung. "Cukup?" Aku melihat sendiri setelah berjalan-jalan mengelilingi semua area panti. Masih kurang fasilitas belajar, apalagi anak kecil yang harusnya butuh banyak barang bantuan demi melatih sistem motorik mereka. "Alhamdulillah, cukup." Namun, aku tidak mempercayai ucapan Mirza sama sekali. "Maaf, tapi ... apa tiga orang bisa mengurus dan mendidik ratusan anak sekaligus? Makannya, pendidikannya, masa depannya." "Sebenarnya kami masih butuh pendidik baru, Mahira, tapi tahu sendiri. Gaji di sini tidak terlalu besar—bahkan mereka lebih sering menyedekahkan bayaran mereka untuk menambahkan dana pembangunan panti. Donatur tidak tetap, sehingga kami tidak bisa terlalu bergantung pada mereka. Tapi ya ... alhamdulillah untuk saat ini cukup. Anak-anak mendapatkan pendidikan cukup, walau tidak termasuk memuaskan. Makanan alhamdulillah bergizi, masih bisa menopang pertumbuhan mereka dengan baik walau tidak maksimal. Untuk masa depan, biar jadi rahasia Allah." Jawaban ini, membuatku menggaruk tengkuk. Bukannya tidak percaya pada kekuasaan Tuhan, tetapi sebagai manusia logis, aku hanya tahu bahwa untuk mendapatkan apa yang dicapai, perlu perencanaan matang, persiapan baik, dan usaha yang maksimal. Jawaban Mirza sama sekali tidak memuaskanku, dan menimbulkan perasaan-perasaan aneh. Tidak biasanya seorang Mahira memikirkan ini, tetapi aku tetap mengatakannya pada Mirza. "Kalau saya tawarkan diri jadi pengurus dan pendidik di sini juga, apa bisa?" tanyaku, yang segera membuat pria itu menoleh padaku dengan mata berbinar. Semakin aneh, karena sekali lagi—sejak obrolan perdana di mana aku menatap wajahnya terlalu intens hingga menghasilkan detak jantung yang sangat keras— kondisi itu kembali terulang. Debarku terasa lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Aneh, karena detak keras ini baru, dan hanya terasa ketika aku berurusan dengan pria ini. "Tapi saya nggak janji bisa setiap hari mampir di sini karena ya ... jarak. Apalagi saya ada waktu-waktu sibuknya. Tapi saya pastikan, dalam satu pekan, saya bisa hadir satu-dua kali di sini," lanjutku. "Tidak masalah. Semua bantuan sekecil apa pun, diterima di sini," jawab Mirza dengan tenang. Senyum tipisnya masih ada, dam semakin diperhatikan, terlihat kian manis. Membuatku meneguk ludah entah karena apa. "Terima kasih, Mahira. Tapi, kamu siap dengan bayaran yang hanya 800 ribu perbulan? Itu tidak sebanding dengan gaji kamu mungkin." Sangat jauh dari gaji dari pekerjaan utama, jawabku dalam hati. "Nggak masalah," jawabku mantap. "Sama seperti yang lainnya, saya sumbangkan juga gaji itu nanti untuk perkembangan panti." "Alhamdulillah," kata Mirza, yang melebarkan senyum. Semakin membuatku kikuk, dan perasaan aneh itu kian berkembang sangat besar tanpa bisa aku cegah. "Terima kasih, Mahira. Semoga Allah balas kebaikan kamu dengan kebaikan." Dan sialnya, aku kecanduan dengan senyum manis itu, dan enggan jika hanya berakhir begitu saja. Maka, aku menambahkan kalimat lain, hanya demi satu hal. Melihat senyum manis pria itu lebih lama. Maka, aku mengajukan penawaran lain, yang tidak biasanya seorang Mahira Hameeza lakukan. "Saya juga bisa jadi donatur tetap di sini?" * Panggilan video call dari Mama mencegahku untuk tidur dengan tenang. Aku secara spontan mengambil ponsel demi menjawab panggilan dengan menggeser icon hijau ke atas. "Kamu sudah mau tidur, Nak?" tanya Mama basa-basi ketika melihatku sudah berbaring dalam posisi telentang di kasur. "Iya, Ma," jawabku jujur. "Kamu di mana? Bukan kayak seprei kamarmu." Walaupun sudah berumur hingga mudah lupa dengan barang yang bahkan baru beberapa detik Mama tinggalkan, ternyata wanitaku ini malah ingat dengan warna sepreiku yang krem, bukan hitam kotak-kotak seperti di bawahku saat ini.. Demi mengalihkan fokus sekaligus mencegah pegal menahan ponsel di atas wajah, aku mengubah posisi berbaring jadi menyamping. "Iya, Ma. Aku lagi ... liburan bentar." Mama bisa-bisa kaget jika tahu aku tinggal di panti asuhan sementara waktu, karena putrinya ini hampir tidak pernah berurusan dengan kegiatan sosial karena selalu menerapkan satu prinsip: mau uang? Kerja! Jangan dari hasil meminta dari orang lain! Namun, kali ini, malah aku sendiri yang sukarela mengeluarkan uang demi pembangunan panti—dan senyum bahagia seorang pria. Aneh. Mahira Hameeza juga aneh, dan itu terjadi sekali lagi karena seorang pria asing bernama Mirza. Namun, terasa aneh ketika Mama berhenti bicara mendadak. Biasanya perempuan ini akan bertanya banyak hal mengenai perjalananku. Membuyarkan lamunan tadi, aku memperhatikan Mama yang tampak memicingkan mata serius. Aku juga dibuat penasaran oleh sikap dadakannya ini. "Kenapa, Ma?" tanyaku. "Itu, yang digantung di dinding ... pakaian laki-laki bukan, Ra? Kamu lagi suka gaya tomboi sekarang?" Aku segera berbalik demi melihat apa yang Mama lihat di dinding belakangku. Mendapati sebuah kemeja dan celana panjang di sana, mataku langsung melotot lebar. "Ah itu ...." Aku langsung kalap mencari jawaban, tetapi suara ketukan membuatku sulit berpikir hingga berakhir blank. "Assalamualaikum, Mahira?" Aishit! Mirza memanggil. "Ma, nanti aku telepon lagi ya. Bentar, ada urusan," kataku buru-buru. Mama sempat membuka mulut—kuyakini—hendak mengutarakan pencegahan, tetapi aku sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Aku buru-buru turun dari tempat tidur, tidak lupa merapikan pakaian dan rambut sebelum menghampiri pintu untuk membukanya. "Wa alaikumussalam," jawabku, sedikit gugup. "Maaf mengganggu. Saya mau ambil beberapa barang di sini," kata Mirza. Aku mempersilakan tanpa mengatakan apa pun, segera menepi untuk memberikan pria itu ruang untuk masuk. Ia membuka lemari, tampaknya hanya ingin mengambil beberapa map dan kertas di sana. Memang, pria itu jelas tidak mau menyentuh pakaiannya karena aku hanya sementara di sini. Namun, mengingat kecerobohan tadi, aku jadi takut. "Pakaiannya," kataku ragu. Padahal, di sini aku yang menumpang, tetapi secara tidak sopan meminta si pemilik asli untuk mengemasi barang-barang. Jadi, aku berniat meralat ucapan tadi. Biarkan saja, hanya perlu mengalihkan Mama ke jawaban bohong nanti. "Iya?" Namun, Mirza sudah mendengarnya. "Pakaian?" "Ah, enggak jadi," jawabku sembari memaksa senyum kikuk. "Nggak masalah." Mirza mengangguk, lalu menutup pintu lemarinya. Ia baru saja berbalik hendak keluar, tetapi tiba-tiba batal dan malah berjalan ke dinding di mana pakaiannya berada. "Maaf, kalau risi. Saya lupa ambil yang ini kemarin." Uh, untung dia peka. Aku hanya tersenyum kikuk, dan memberikan anggukan kecil sebagai ganti terima kasih. Mirza melanjutkan langkahnya untuk keluar, tetapi di saat ia hanya perlu satu langkah lagi untuk melewati ambang pintu, ia malah berhenti. Bahkan memutar tumitnya menghadapku. "Kamu biasa tidur awal? Kalau belum mengantuk dan lagi suntuk, mau ke masjid sebentar? Lagi ada lomba tilawah sederhana di sana. Mana tau mau lihat?" Aku sebenarnya mau lanjut istirahat, rebahan, dan tidur sekalian. Bahkan seharusnya lanjut menelepon Mama untuk menghilangkan kecurigaan pada anak gadisnya ini. Namun, kepalaku malah berkhianat dan memberikan anggukan pengiyaan. "Oke, sebentar." Pria itu sekali lagi berjalan ke arah lemari, dan di antara tumpukan pakaiannya, ia mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam entah apa di sana. Tiba di depanku, Mirza mengapit barang-barangnya di antara dua lututnya, sehingga bisa memaksimalkan dua tangannya memegang kain tadi untuk dilebarkan, lalu dibawa ke belakangku. Sialnya, perbuatan tanpa ucapan dari pria ini membuatku semua anggota tubuhku kaku di tempat, menyisakan jantung yang terus berdetak lebih keras dari sebelum-sebelumnya ketika Mirza mulai membawa kain itu di atas kepalaku, lalu setiap ujungnya dibawa ke depan, dan disampirkan ke masing-masing bahu secara bersilangan. Jadilah ... sebuah penutup kepala sederhana. "Biar lebih sopan," kata Mirza dengan senyum tipisnya. Tatap pria itu lurus ke arahku, menghipnotis, sehingga aku tidak bisa melarikan pandangan ke tempat lain kecuali ke mata dan bibirnya. "Dan lebih cantik." Sial. Efek magis tiga kata terakhir yang Mirza keluarkan jauh lebih dahsyat lagi. Jantungku tidak hanya berdetak lebih keras, tetapi juga mengguncang jiwaku, dan mulai menutup kewarasanku. Sehingga untuk saat-saat blank ini, aku lupa segalanya. Termasuk status pria di depanku ini. Bahwa ia sudah beristri yang tidak lain adalah suami sahabatku sendiri. Pada titik ini, aku terlalu gila, hingga bisa menafsirkan detak jantung dan perasaan aneh ini sebagai ... cinta dari seorang wanita kesepian pada seorang pria dewasa yang memesona. * Seharusnya aku mundur setelah memahami arti dari perasaan salah ini. Seharusnya aku pulang, dan melupakan keinginan menaklukkan hati Mikayla karena di sini malah hatiku yang diambil alih. Seharusnya, aku menampar diri sendiri karena sudah menciptakan perasaan terlarang itu. Seharusnya .... Banyak hal yang seharusnya aku lakukan agar tidak terjadi kesalahan merusak di sini. Otak warasku terus mengingatkan, tetapi sial! Si bodoh ini malah keberatan meninggalkan panti asuhan karena kecanduan bertemu, menatap senyum Mirza, dan mengobrol dengan pria itu. Sempat mencoba bicara pada Fatma atau suaminya agar bisa mengalihkanku dari Mirza, tetapi meski keduanya baik, tetap tidak ada yang seteduh cara Mirza menatapku. Mereka memiliki senyum ramah, tetapi tidak semanis yang diciptakan oleh bibir berisi milik Mirza. Ugh, sial. Aku pernah mencoba untuk menyibukkan diri mengajar anak-anak baca tulis dan pengetahuan dasar lainnya. Sehingga dengan itu, aku bisa mengurangi interaksi dengan Mirza. Namun sialnya, aku kesulitan tenang di malam hari, karena ... merindukan pria itu. Sekali lagi, sial! Karena bukannya memaksakan tidur agar otakku bisa didominasi oleh kewarasan daripada hal gila, kakiku malah berkhianat. Turun dari tempat tidur, berjalan ke lemari untuk mengambil pasmina yang pernah dipakaikan Mirza padaku. Menggunakan kain itu, sehingga aku percaya diri memasuki masjid melihat kegiatan belajar mengaji anak-anak. Namun, bukannya fokus pada kegiatan utama di sini, mataku malah sulit berhenti menatap Mirza yang sedang mendengarkan saksama ucapan seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Pria itu memejam menikmati bacaan, sehingga aku bebas melakukan ini tanpa takut ketahuan. Jemarinya yang bermain di atas meja kecil tempat anak itu meletakkan Al-Quran. Ketika terdengar salah, ia akan mengetukkan dua kali. Bahkan, hal sederhana itu bisa membuat jantungku bereaksi aneh lagi—dan hanya khusus untuk pria itu saja. Termasuk ketika melihat jari yang sibuk mengetuk di atas meja itu, salah satunya dihiasi sebuah cincin perak tanda ikatan hubungan dengan perempuan lain. Sahabatku sendiri. Debar membahagiakan tadi, kini terasa sangat menyakitkan. Si—astagfirullah. Kepalaku tertunduk lemah, sekali lagi tertampar kenyataan. Namun, kali ini menimbulkan rasa sesak yang menyiksa. Aku memilih mundur untuk bisa bersandar di dinding, dan semakin memperdalam tundukan agar kian sadar. Bahwa pria itu sudah menikah, Mahira. Tidak ada harapan! Tidak ada .... Jangan mengikuti permintaan hati, yang akan membuatku semakin terluka, sekaligus mengancam dua ikatan: persahabatan dan pernikahan. Aku memilih meninggalkan tempat ini, bersamaan dengan sakit di lubuk jantung, menghasilkan rasa panas di mata yang melahirkan buliran cairan asin dari sana. Bahkan sebelum maju, aku sudah terluka. * Ketukan pintu membuatku menghentikan tangis kewarasan. Aku seketika membeku di posisi berbaring menyamping ini, sembari mempertajam indera pendengaran. "Assalamualaikum, Mahira." Uh, Mirza .... Aku ingin menjauh, tolong! Aku berteriak dalam hati, tanpa berani mengatakannya lewat suara. Karena sejujurnya, di sudut hati, aku senang pria itu datang lagi. Aku menggeleng kasar, dan menampar diri sendiri. Waras, Hira! Waras! "Mahira? Kata Fatma kamu belum makan malam? Boleh buka pintunya sebentar? Saya cuman bawa makanan buat kamu." Aku membuka mulut hendak menolak, mau berbohong bahwa sudah kenyang. Tetapi baru sedikit suara yang kukeluarkan, malah terdengar tersendat bahkan serak. Aku tidak percaya pada suara sendiri yang masih terpengaruh efek tangisan, sehingga satu-satunya yang bisa kulakukan adalah turun dari tempat tidur. Sheetmask hitam aku gunakan secepat kilat—bahkan tanpa cuci wajah. Hanya agar tidak ketahuan sedang menangis oleh Mirza. Pintu aku buka sedikit ragu. Mataku menunduk, agar ia tidak melihat skleraku yang memerah sempurna. "Ini," kata Mirza sembari menjulurkan nampan yang terdapat piring berisi makanan dan segelas air padaku. Aku buru-buru menerimanya, dan berniat menutup pintu. Namun, terdapat kendala, sehingga pintu tersendat. Aku memberanikan diri melirik penyebabnya, dan menemukan bahwa Mirza sengaja menahan pintu dengan tangannya. "Ada masalah?" Aishit! Kenapa pria ini terlalu peka? "Nggak papa," jawabku dengan suara parau seperti yang diduga sebelumnya. "Cuman abis menonton film sedih tadi," jawabku bohong. "Nggak papa itu kalau bohong, dosa loh, Mahira." Pria itu berbicara dengan nada bergurau. Ia maju selangkah sehingga berdiri tepat di ambang pintu, berjarak sangat dekat denganku. "Jangan begini, Mahira. Saya merasa bersalah kalau ada masalah yang mengganggu kamu di sini, sementara kamu sudah bantu kami dengan baik. Mau ke halaman sebentar buat tenangin diri?" Otak warasku meminta untuk menolak bahkan susah payah memerintahkan agar menutup pintu saja. Persetan jika ide itu membuat pintu menampar Mirza dengan keras sampai memar dan berakhir jelek. Setidaknya aku mungkin bisa berhenti kagum padanya. Namun, kepala sialan ini—aku seperti tidak mengenali diri sendiri. Aku mengangguk mengiyakannya. Membawa nampan mengikuti Mirza ke tempat yang pria itu maksud, bahkan tanpa melepaskan sheetmask hitam. Semoga tidak ada anak yang melihat wajahku saat ini. Aku mulai menyantap makanan dengan perlahan, berharap bisa membantuku mengurangi kesedihan. "Jadi ... apa ada anak kecil yang ganggu kamu, Mahira? Atau, pengurus di sini—bahkan mungkin saya—singgung kamu?" Awalnya mau jawab 'nggak papa' seperti biasa, tetapi mengetahui hal itu tidak akan bisa membohongi seorang pria ini, maka aku mengalihkan ke jawaban setengah jujur. "Biasa, masalah perempuan umumnya. Selalu kalah sama perasaan. Nggak tahu kenapa, hati perempuan itu lemah banget," kataku setengah curhat. Padahal sebelum ini, aku kebal terhadap rayuan segala jenis pria kecuali tipe Mirza ini. "Jangankan perempuan, Ra. Laki-laki juga sering dijebak sama perasaan kok, dan tidak sedikit yang kalah sama perasaan salah itu," balas Mirza. "Perasaan laki-laki hampir sama hebatnya seperti perempuan, cuman biasanya mudah ditutupi." Aku mengangguk kecil mendengarnya, sekadar menghargai ucapan pria itu. "Jadi, ada saran nggak, buat atasi ini? Sebenarnya bisa aja pembiasaan dan bakalan dihapus seiring waktu gitu, tapi ... baru kali ini rasanya berat banget. Susah dilawan, dan nggak tahu kapan bisa hilang. Aku takut ... takut banget .... Yang ini bakalan membahayakan diri sendiri sama orang sekitar." Mirza menarik napas panjang, seolah mendadak ada beban dalam dirinya. Ia sempat melirik arah lain sebelum kembali memandangku. "Tentang solusi, saya cuman bisa sarankan perbanyak doa. Karena perasaan dan hati, umumnya dari Allah langsung," kata Mirza, lalu menghadap ke halaman di depan kami sembari menempelkan punggungnya di sandaran kursi. "Saya bingung kasih solusi apa selain itu, karena saya sendiri, juga kewalahan urus perasaan sendiri sekarang." "Perasaan juga? Perasaan jenis apa?" Aku menjeda makan hanya demi fokus pada topik satu ini. "Perasaan ...." Mirza tampak ragu menjawab, bahkan memalingkan wajah ke arah lain seolah kebingungan mencari jawaban. "Nggak boleh bohong, loh, dosa." Aku mengulang ucapannya beberapa menit lalu, sehingga Mirza tertawa kecil, dan sialnya mengaktifkan detak istimewa di jantungku—lagi. Pria itu menoleh padaku dengan tatap intens, mengarah lurus padaku. Wajahnya sangat serius, seolah menyeretku dalam dunia yang hanya diisi kami berdua. Untuk sesaat, suara anak-anak yang berbicara riang-gembira terhenti karena suasana intensi kami. "Perasaan terlarang," jawab Mirza dengan suara berbisik. Tidak ada lagi senyum, dan pandangan pria itu seolah menjelaskan kesamaan dalam diri kami. Jiwaku sekali lagi bergetar karena hal ini. Tidak sempat mengedip, bahkan aku menahan napas ketika ingin mengonfirmasi hal itu lebih lanjut maksud pria ini. Karena pikiranku sedikit memahami makna tatap dan ucapannya—dan berusaha aku elak agar tetap waras. "U—untuk?" Aku bertanya, dengan suara tercekat. Napasku berubah cepat selama menunggu jawaban Mirza yang tampak ragu sejenak ketika ia menundukkan pandangan selama beberapa detik, lalu sekali lagi melirikku dengan tatap yang lebih dalam dari sebelumnya. Tidak ... tidak mungkin kebetulan. Tidak mungkin perasaanku ini terbalas— "Kamu." *

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD