Aku bangun lebih pagi dari sebelumnya. Hari cutiku sudah habis, ini waktunya aku kembali beraktivitas. Terlebih dahulu aku menunaikan sholat sepertiga malam dan turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan. Meski aku tahu bahwa nanti mas Barga tidak akan memakan makanan buatanku, tapi setidaknya aku sudah membuatkannya dan menunaikan tugasku sebagai seorang istri.
Aku membuatkan opor untuk mas Barga, balado udang untuk mertuaku, dan tentunya nasi goreng yang merupakan ciri khas menu sarapan. Setelah cukup lama berkutat dengan alat-alat dapur, aku kembali ke atas dan membersihkan badan.
Rencananya, setelah membersihkan badan, aku akan membangunkan mas Barga untuk sama-sama menunaikan ibadah subuh. Tapi aku kembali mengingat ucapan menyakitkan dari mas Barga yang dengan terang-terangan menyebutku adalah seseorang yang busuk karena memiliki ibu yang melahirkan di luar pernikahan.
Sudahlah, mengingatnya kembali menciptakan luka.
Shubuh memang menyejukkan. Aku gunakan untuk menumpahkan segala macam kesedihanku dengan doa yang selalu ku panjatkan. Dzikir sampai rasanya kepala pusing, dan tangis yang tak berhenti di atas tengadahan tangan. Astaga, betapa lemahnya hambamu ini, Ya Allah.
Meski aku tahu jawabannya sudah pasti tepisan tangan, tapi aku tetap berusaha untuk membangunkan mas Barga. Ingat kali dengan kejadian tadi malam. Setelah acara rasanya telah usai, mas Barga masuk ke dalam kamar dan menemukanku masih dalam keadaan menangis. Mas Barga hanya masuk, menyalin baju dan keluar begitu saja. Karena aku merasa ia tak kunjung masuk ke dalam kamar, alhasil aku mencarinya dan ternyata ia masih berdiri di balkon.
Tanpa malu, aku pun menghampirinya. Ia seperti menghindar dariku, sampai membuatku merasa bahwa sekotor itukah diriku?. Ternyata, semakin lama didekatnya membuatku semakin merasakan rasa sakit yang tak bertepi dan tak berujung. Aku diam, dia pun demikian sampai membuatku sedikit marah dan memutuskan untuk masuk terlebih dahulu ke dalam kamar.
"Aku masuk lebih dulu ke kamar, mas. Jangan terlalu malam tidurnya" ucapku dan berjalan masuk ke dalam kamar.
"Sudah aku katakan sebelumnya untuk jangan terlalu berusaha untuk menarik perhatianku. Jangan bertindak berlebihan. Pikirkan saja hidupmu yang sudah terlalu rusak itu"
Sontak, waktu itu, tanpa di minta, air mataku turun begitu saja. Jangankan tangisan, bahkan aku tak sanggup untuk melanjutkan langkahku untuk masuk ke dalam kamar. Kenapa dia sampai segitunya terhadapku?.
Saat sampai di dalam kamar, aku menumpahkan kembali tangisku. Bahkan aku tidak bisa teridur. Sampai pada akhirnya, mas Barga masuk ke dalam kamar dan tertidur di sampingku.
Mengingat kejadian kemarin malam benar-benar menguras pikiran dan hati, tentunya.
"Mas, bangun mas. Ini sudah subuh"
Aku membangunkan mas Barga. Masih dengan memakai mukena dan tasbih di tangan kanan. Naasnya, tanganku di tepis olehnya. Padahal aku membangunkannya untuk kebaikannya sendiri. Aku membangunkannya untuk menunaikan ibadah sholat. Bahkan aku tidak meminta untuk satu sajadah dengannya. Lalu aku salah apa?.
"Kamu gak usah sok suci!"
Sakit.
Baiklah. Turuti saja kemauannya.
Aku pergi ke ruang sebelah untuk mengganti pakaian dengan pakaian kerja. Setelah mengganti pakaian, aku memoleskan sedikit make up dan memakai hijab, tentunya. Setelah sudah siap dengan segala hal, aku keluar dari ruangan itu dan menemukan mas Barga yang baru saja selesai sholat shubuh.
Aku menghampirinya dan memberikan tanganku, meminta salim pada seorang suami sebelum berangkat kerja. Sebenarnya, kami bekerja di satu atap. Dia atasannya dan aku bawahannya. Seorang suami dan seorang istri seharusnya berangkat kerja bersama, tapi rasanya mas Barga sangat tidak sudi untuk melihatku untuk sekedar duduk dimobilnya. Aku lebih memilih ketenangan dengan pergi bekerja sendirian.
Tangan yang aku berikan, tidak di balas olehnya.Malah, ia seakan tidak tahu menahu. Baiklah, ini bukan sekali duakali. Tapi berulang kali.
Aku kemudia turun ke bawah. Masih sepi, tidak ada orang.
"Sepertinya aku membuatkan mas Barga kopi dulu deh sebelum berangkat kerja"
Aku beranjak ke dapur dan membuatkan mas Barga kopi.Tidak hanya mas Barga, aku juga membuatkannya untuk mertuaku. Setelah aku rasa cukup, aku kemudian mengambil tas kerja dan berangkat kerja.
***
Sambil berjalan kaki, aku sambil mengingat keadaan rumah. Bagaimana ya keadaan ibu sekarang di rumah? Apakah tidak semenyedihkan dulu karena si haram udah menikah?. Bagaimana ya keadaan nenek? Apakah masih sering naik tensi dan gula darah?. Jujur, aku merindukan mereka yang selalu bersikap baik dengaku.Tidak seperti keluargaku yang sekarang. Sudahlah, tak cukup jika hanya menginginkan yang terbaik saja.
Astaga, aku kembali teringat dengan mas Barga yang tahu tentang aku yang merupakan anak haram. Aku menduga bahwa dalang dari semuanya adalah Aisyah. Karena, selain dia, aku tidak pernah menceritakan pada siapapun. Jika benar yang menceritakan hal itu adalah Aisyah, sungguh dia sangat tega.
Sungguh, Aisyah adalah perempuan yang tega jika benar ia menceritakan hal itu. Atas dasar apa ia membocorkan rahasia itu? Dulu, ia berjanji untuk tidak ingkar. Fyi, dulu aku dengan Aisyah sangat lah dekat. Saking dekatnya, ia sering di undang untuk makan malam keluarga dan juga sering menginap di rumah. Sungguh dia sangatlah tega jika menceritakan hal itu pada siapapun.
Terlalu lama dan terlalu asik memikirkan hal yang sudah terjadi sampai membuatku tidak sadar bahwa sudah sampai di kantor. Karena aku berangkat masih dini hari, tentu saja tidak banyak yang sudah sampai kantor. Ada beberapa karyawan yang terus saja melihat ke arahku seakan aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa di maafkan. Tapi, aku salah apa pada mereka?
Aku mengabaikan tatapan aneh mereka dan terus berjalan ke ruangan departemenku. Saat beradadi lobi, sayup-sayup aku mendengar bisikan para karyawan. Sepintas, aku mendengar namaku yang di sebut. Rasanya,ingin sekali menempelkan telinga di dekat mereka dan mendengarkan perihal apa yang mereka bicarakan.
Saat hendak masuk ke ruangan departemen, aku sudah memegang engsel pintu, tapi aku ucapan karyawan yang lewat di dekatku. Kini, bukan lagi sebuah bisikan,tapi benar-benar seperti sindiran sampai membuatku melepas dengan lemas engsel pintu itu.
"Kasihan sekali Ajeng. Padahal dia adalah istri pak Barga, tapi dia tidak pernah di ekspos di akun media sosial pak Barga. Malah aku melihat Aisyah yang di ekspos"
Deg.
Astaga, sebentar lagi semua orang tahu bahwa aku tidak di harapkan oleh mas Barga. Bahkan mas Barga lebih mengakui Aisyah dari pada aku. Aku kira mereka hanya akan mengucapkan hal itu, tapi nyatanya tidak. Masih ada ucapan berlanjut yang dengan jelas menyatakan bahwa aku benar-benar tidak di harapkan.
"Benarkah?. Oh iya, tadi malam, pak Barga juga melakukan siaran langsung di i********: dan kebanyakan dia memperlihatkan kecantikan Aisyah di sampingnya. Aku penasaran deh, tadi malam Ajeng dimana ya? "
"Mungkin di dapur?"
Setelah mengatakan itu, mereka tertawa.
Astaga, aku tidak punya hak untuk marah karena pada dasarnya mereka benar. Sangat benar. Saking benarnya, sakitnya tak tertahan.