Ruangan itu sunyi. Cahaya senja menerobos tipis dari balik tirai, mewarnai dinding dengan semburat oranye yang sayu. Disa duduk bersandar di ranjang rumah sakit, tubuhnya masih lemah, tapi matanya tak lagi terpejam. Ia menatap kosong ke depan, melewati segala yang ada di ruangan itu. Tatapannya seperti kehilangan arah.
Di ambang pintu, Adrian berdiri. Masih dengan pakaian yang sama sejak pagi, dengan wajah letih yang tak bisa ia sembunyikan. Ada keraguan dalam langkahnya, tapi akhirnya ia masuk juga, pelan, seolah tak ingin mengusik luka yang baru saja terbuka.
Disa tahu ia ada di sana, tapi ia tak menoleh. Tangannya mencengkeram selimut tipis yang menutupi kakinya. Ia masih bisa merasakan bayangan tangisnya tadi. Air matanya sudah kering, tapi tidak dengan hatinya.
Adrian mendekat, mengambil kursi di sudut ruangan lalu duduk tak jauh dari ranjang. Jarak mereka hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti puluhan meter.
“Aku pesan makanan buat kamu,” ucapnya perlahan. Suaranya parau.
Disa tak menjawab.
“Ada perawat yang akan bantu kamu bersihkan diri juga. Kalau kamu mau, mereka bisa bawakan baju ganti,” lanjutnya, lebih pelan. Ada nada khawatir yang disembunyikan dalam kalimat-kalimat datar itu.
“Aku gak lapar,” Disa menjawab, suara kecilnya nyaris tak terdengar.
Adrian hanya mengangguk. Ia tahu tak ada gunanya memaksa. Ia berdiri, menghela napas perlahan. "Aku ke kamar mandi sebentar."
Tanpa berkata lebih, ia meninggalkan ruangan. Langkahnya lesu, bajunya lusuh, dan tubuhnya seperti menyeret beban yang berat tak kasat mata.
**
Sepuluh menit berlalu. Di wastafel rumah sakit, Adrian memandangi wajahnya yang memucat. Mata sembab, pipi cekung, rambut berantakan. Ia mengusap wajahnya dengan air dingin, membiarkan dirinya sedikit sadar dari kabut duka. Ia menyalin baju yang dibawakan oleh ajudannya, lalu duduk sejenak di kursi tunggu. Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, ia mencoba bernapas lebih dalam.
Tangis Dira masih menggema di kepalanya. Suara terakhirnya, permintaan terakhirnya—semuanya menyatu menjadi beban yang menyesakkan d**a. Tapi di atas semua itu, ia sadar… kini ia tidak bisa pergi. Bukan hanya karena janji, tapi karena seseorang di dalam ruangan itu—yang kehilangan lebih dari yang bisa ia bayangkan.
**
Adrian kembali ke kamar. Disa masih dalam posisi yang sama, tapi kini tangannya memegang gelas air. Perawat mungkin sempat masuk membantunya.
“Kamu mandi dulu?” tanyanya tanpa menoleh.
Adrian duduk di kursi yang sama. “Iya. Sekalian makan sedikit.”
Disa hanya mengangguk kecil. Masih tak berani menatapnya.
Ada jeda panjang. Hening. Tapi bukan hening yang canggung—melainkan hening yang letih.
Lalu suara Disa pecah, lirih, tapi jujur, “Aku masih ngerasa ini mimpi, Adrian…”
Adrian menoleh. Ia ingin menjawab, tapi tenggorokannya terasa kering.
“Kak Dira... dia yang selalu ada buat aku. Satu-satunya. Aku… bahkan gak sempat bilang makasih…”
Adrian membuka mulut, tapi kata-kata tercekat. Ia akhirnya hanya berkata, “Aku tahu...”
Disa menatapnya dengan mata sembab yang mulai menggenang lagi. “Kenapa kamu yang kubenci sekarang jadi satu-satunya orang yang tersisa?”
Pertanyaan itu menghantam keras. Tapi Adrian tidak bereaksi keras. Ia hanya menarik napas dan berkata dengan tenang, “Karena memang begitu takdirnya, Dis. Aku gak bisa ngubah apa yang udah terjadi...”
Disa menunduk. Isaknya tertahan. “Aku pengin ke makamnya.”
“Besok. Kalau kamu udah lebih kuat,” jawab Adrian cepat, tapi lembut.
Disa mengangguk pelan. Mereka kembali diam.
Beberapa saat kemudian, makanan datang. Perawat meletakkannya di atas meja kecil dan keluar. Adrian menarik meja itu mendekat ke tempat tidur Disa. “Cobalah makan sedikit.”
Disa menatap nasi yang masih hangat. Tangannya ragu, tapi akhirnya ia menyendok perlahan. Adrian pun membuka satu kotak makanan untuk dirinya. Mereka makan dalam sunyi, hanya suara sendok dan napas panjang yang terdengar.
Setelah beberapa suap, Disa berhenti. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding. “Aku capek…”
“Tidurlah sebentar,” ucap Adrian, meski ia tahu Disa mungkin tidak akan bisa tidur.
Ia bangkit, melipat lengan kemejanya. Berdiri sejenak, menatap jendela. Lalu berkata, “Kalau kamu butuh aku... aku di luar.”
Disa tidak menjawab. Tapi ia memejamkan mata.
Saat Adrian berjalan ke luar ruangan, ia menoleh sekali. Melihat Disa yang kini sendirian di tempat tidur, tubuhnya kecil dalam selimut putih, wajahnya redup.
Ia tahu, ini baru awal. Tapi setidaknya... mereka punya jeda sejenak. Jeda untuk bernapas dalam luka yang masih menganga.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, meski hanya sekejap, dunia terasa sedikit lebih tenang.
***
Disa sudah berdiri di depan pintu kamar rumah sakit. Ia mengenakan pakaian sederhana, atasan putih polos dan celana panjang hitam. Tak banyak yang ia bawa, hanya satu tas kecil berisi barang-barang pribadinya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah tak seterlihat sembab seperti kemarin.
Adrian datang menghampiri setelah berbicara sebentar dengan perawat. Ia membawa sebotol air mineral dan memberikannya pada Disa.
“Kalau sudah siap, kita langsung ke pemakaman,” katanya singkat.
Disa mengangguk pelan. Mereka keluar dari kamar, menyusuri lorong rumah sakit dalam diam, lalu masuk ke mobil yang sudah terparkir sejak pagi.
Perjalanan ke pemakaman berlangsung tanpa suara. Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara jalanan dan beberapa klakson kendaraan lain yang sesekali terdengar.
Mobil berhenti di sebuah pemakaman kecil yang terawat. Langit mendung, tapi belum turun hujan. Disa turun lebih dulu, langkahnya lambat tapi pasti menuju ke tiga makam yang berdampingan—ayah, ibu, dan kakaknya, Dira.
Ia berlutut di depan ketiga nisan itu, menatap nama-nama yang terukir di atas batu.
“Kalian sekarang sudah bareng, ya?” gumamnya pelan. “Ayah, Bunda, Kak Dira... sekarang tinggal aku sendiri.”
Tangannya menyentuh nisan satu per satu, lalu berhenti di makam yang paling baru. Genggaman tangannya perlahan mencengkeram bunga tabur yang ada di atas gundukan tanah.
Tubuhnya merosot, lalu bersandar ke makam. Kepalanya tertunduk hingga menyentuh tanah. Bahunya berguncang pelan saat tangisnya pecah.
“Aku rindu… aku rindu Ayah, Bunda… dan sekarang Kak Dira…” ujarnya sambil meremas tanah dan bunga di tangannya.
Adrian yang sejak tadi berdiri agak jauh, akhirnya mendekat saat melihat tubuh Disa mulai limbung. Ia berjongkok di sampingnya, lalu menopang bahu gadis itu, menegakkannya perlahan.
“Dis…” ucapnya pelan.
Disa tak langsung menoleh. Air matanya masih mengalir. Ia hanya bergumam lirih, “Aku belum sempat peluk dia... aku belum sempat bilang aku sayang…”
“Disa...” Adrian menatapnya tenang. “Kamu nggak sendiri.”
Disa menggeleng, suaranya mulai naik. “Aku yang harusnya pergi! Bukan Kak Dira! Aku nggak penting, aku cuma nyusahin…”
“Jangan ngomong kayak gitu.” Kali ini suara Adrian lebih tegas. “Jangan pernah bilang kamu nggak penting.”
Tangis Disa makin keras. Ia terduduk lemas, tubuhnya disandarkan sebentar ke lengan Adrian.
Beberapa saat kemudian, Disa berkata lirih, “Aku nggak bisa langsung pulang ke rumah. Rasanya... kosong banget di sana.”
Adrian mengangguk. “Kalau mau, kita ke apartemenku dulu. Di tengah kota, lebih ramai. Biar nggak terlalu sepi.”
Disa mengangguk pelan. Ia menatap sekali lagi ke makam-makam di depannya, lalu memejamkan mata sejenak, seolah mengucapkan salam perpisahan.
Mereka pun perlahan berjalan kembali ke mobil.
***