Bagian 11

1162 Words
Adrian membuka matanya perlahan saat sinar matahari mulai menelusup dari balik tirai yang belum tertutup rapat. Ia menghela napas pendek sebelum menggulingkan tubuh dan menatap langit-langit. Sekilas ia menatap jam di meja samping tempat tidur—pukul 06.37. Meski semalam tidur agak larut, ia tak ingin melewatkan pagi begitu saja. Ini hari kedua ia kembali ke rutinitas kerja setelah kepergian Dira. Dan walau perasaan masih belum stabil sepenuhnya, hidup harus terus dijalani. Ia bangkit, duduk di tepi ranjang sejenak, lalu masuk ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama baginya untuk bersiap. Pagi ini ia memilih kemeja putih bersih dan celana bahan hitam. Penampilannya rapi seperti biasa, tak ada yang tampak berbeda kecuali tatapan matanya yang masih menyimpan lelah. Ia berjalan ke dapur kecil di apartemennya yang luas. Di sana, sudah ada Bu Wati, asisten rumah tangga yang sejak dua hari lalu datang khusus untuk membantunya menjaga Disa. “Selamat pagi, Pak Adrian,” ucap Bu Wati sambil menoleh dari kompor. “Pagi, Bu. Sudah masak?” Adrian menghampiri meja makan yang sudah rapi dengan piring dan gelas. “Baru selesai. Sarapan seadanya ya, Pak. Nasi goreng telur dan teh hangat.” Adrian mengangguk pelan. “Pas banget. Saya gak sempat sarapan di luar.” Bu Wati menyendokkan nasi goreng ke piring, lalu duduk sebentar sambil memperhatikan Adrian yang mulai makan. “Maaf, Pak. Saya tahu ini bukan waktu yang mudah. Tapi saya mau lapor sedikit soal Mbak Disa.” Adrian meletakkan sendoknya sebentar, menatap Bu Wati. “Belum keluar kamar ya?” Bu Wati menghela napas. “Belum, Pak. Saya dengar suara langkahnya semalam. Mungkin ke kamar mandi. Tapi dia gak ngomong apa-apa. Tirai kamarnya juga belum dibuka.” Adrian mengangguk. “Saya juga gak mau paksa dia. Mungkin hari ini juga dia belum siap.” “Betul, Pak. Tapi saya tetap siapkan makanan di meja dekat kamarnya. Barangkali nanti dia lapar.” “Terima kasih, Bu. Ibu bantu banyak di sini.” Bu Wati tersenyum kecil. “Saya juga dulu punya anak perempuan, Pak. Saya bisa bayangkan perasaannya. Dia pasti bingung dan hampa. Tapi Insya Allah, pelan-pelan dia akan bisa hadapi.” Adrian kembali menyendok nasi goreng ke mulutnya. Rasanya biasa saja, tapi hangat. Ia tidak terlalu peduli soal rasa—yang penting hari ini bisa dimulai tanpa perut kosong. Setelah sarapan selesai, Bu Wati mengangkat piring dan mulai membereskan meja. Adrian berdiri, mengambil jasnya dari gantungan dekat pintu, lalu kembali ke arah dapur. “Oh ya, Bu. Kalau nanti Disa keluar atau minta apa-apa, langsung kabari saya. Saya mungkin pulang agak sore.” “Siap, Pak.” Adrian sempat menatap ke arah pintu kamar Disa. Pintu itu tetap tertutup rapat. Ia tahu, gadis itu butuh waktu. Tidak ada yang bisa memaksa rasa kehilangan untuk cepat pulih. Dan kalau harus menunggu, maka ia akan menunggu dengan sabar—sebab ia pernah kehilangan seseorang, dan kini ia tidak ingin kehilangan yang lain. Sebelum keluar, Adrian menepuk pelan meja dapur dua kali, semacam kebiasaan kecil yang entah sejak kapan ia lakukan. “Saya pergi dulu, Bu.” “Semoga harinya lancar, Pak Adrian.” Ia mengangguk dan melangkah keluar dari apartemen, membiarkan pintu tertutup dengan suara pelan. *** Pagi itu, langit Balikpapan berwarna biru keabu-abuan, awan rendah menggantung di atas deretan gedung perkantoran yang berdiri di kawasan pusat bisnis di Jl. MT Haryono. Mobil-mobil dinas mulai padat menuju kompleks perkantoran modern yang dikenal dengan nama Teras Borneo. Salah satu gedung tertinggi di kawasan itu adalah kantor pusat Arwana Corp, perusahaan milik Adrian. Lift terbuka di lantai 28, memperlihatkan sosok pria bertubuh tinggi dengan kemeja putih dan jas yang disampirkan di tangan. Adrian melangkah keluar dengan langkah pasti. Penampilannya rapi, tapi tidak berlebihan. Di belakangnya, Naya, sekretaris pribadi yang sudah lima tahun mendampinginya, membawa tablet dan map dengan langkah sigap. “Selamat pagi, Pak Adrian,” sapa beberapa staf yang melintas. Mereka menyapa dengan anggukan sopan, sebagian dengan senyum tulus bercampur hormat. “Pagi,” jawab Adrian singkat tapi tidak dingin. Setibanya di ruang kerja, Naya langsung menyerahkan agenda hari itu. “Rapat jam sembilan dengan divisi keuangan, kemudian jam sepuluh dengan pengembangan IT. Siang nanti ada kunjungan dari mitra tambang lokal, dan sore nanti pertemuan dengan pihak legal.” Adrian menerima tabletnya. “Sudah ada data lengkap dari Rafi?” “Sudah saya input semua, Pak. Termasuk revisi kontrak tambang dari Samboja.” “Baik. Suruh Rafi masuk sebentar lagi.” Beberapa menit kemudian, pintu diketuk dan Rafi Prakoso, asisten eksekutifnya, masuk membawa map cokelat dan laptop. Rafi adalah pria muda, tajam secara pemikiran, dan sangat bisa diandalkan. “Pagi, Pak. File draf presentasi untuk mitra baru sudah saya kirimkan, dan kita butuh persetujuan Bapak untuk poin distribusi ekspor.” Adrian memeriksa sambil membaca cepat. “Saya suka poin ini. Tapi perbaiki wording pada bagian klausul logistik. Terlalu longgar.” “Siap, Pak.” Tiba-tiba, pintu kembali terbuka dengan cepat. “Bosss ku tercinta, halo pagi!” Suara Iqbal yang nyaring langsung menyela suasana serius. Ia mengenakan batik santai dan sepatu sneakers hitam—selalu nyeleneh dari dresscode, tapi tak ada yang berani protes. Manajer IT ini memang dikenal tak biasa tapi sangat jago di bidangnya. Naya refleks menoleh tajam. “Iqbal, kamu nggak bisa belajar ketuk pintu dulu apa?” “Aku belajar, Bu Naya, tapi nggak lulus,” celetuk Iqbal santai sambil meletakkan sekotak nasi kuning dari warung langganan di meja Adrian. “Ini, Pak. Sarapan khas Balikpapan. Biar semangat ngadepin kerjaan.” Adrian yang tadi tegang, tertawa kecil. “Nasi kuning jam segini?” “Biar kerjanya wangi bumbu,” jawab Iqbal dengan bangga. “Kerjanya sih wangi... Tapi absennya sering bolong.” “Ih Pak... Saya tuh kalau bolong karena kreativitas saya butuh udara segar.” Rafi yang sedari tadi diam, ikut tertawa. Bahkan Naya menahan senyum sambil menggeleng pelan. Adrian menatap semua orang di ruangan. Di tengah tekanan kerja, mereka ini adalah pilar yang membuat semuanya berjalan. Ia menyadari, tanpa tim seperti ini, tak ada Arwana Corp yang berdiri kokoh di Balikpapan. *** Rapat pertama berjalan lancar. Pak Damas, manajer keuangan senior, memaparkan proyeksi triwulan yang cukup menjanjikan, meski ada tantangan dari logistik batu bara lintas Kalimantan. Sinta dari HRD melaporkan rencana evaluasi karyawan dan pembaruan sistem pelatihan. Setelahnya, giliran tim pengembangan IT bersama Iqbal masuk membawa demo sistem ERP baru. “Jadi sistem ini kita integrasi langsung dengan tambang, Pak. Nggak perlu lagi update manual pakai spreadsheet. Ini nih revolusi,” jelas Iqbal sambil menunjuk layar. “Revolusi kamu jangan sampai bikin chaos ya,” balas Adrian setengah bercanda. Ruang rapat terasa hidup. Serius, tapi tidak membebani. Semua menghormati Adrian, bukan karena takut, tapi karena respek atas kemampuannya memimpin dengan tenang. Menjelang tengah hari, semua agenda penting selesai. Adrian kembali ke ruangannya dan menatap layar tablet sebelum akhirnya berdiri dan melihat pemandangan Teluk Balikpapan dari balik jendela kaca besar. Ada banyak hal yang belum selesai. Termasuk luka di hatinya. Tapi hari ini, seperti kemarin, ia tahu satu hal: ia harus terus bergerak, demi orang-orang yang percaya padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD