Gangguan Itu Bernama Irene

2360 Words
 Pintu lift terbuka lebar di lantai tiga.  Klara yang baru saja usai menyantap sarapan pagi di area makan yang terletak di lantai bawah sekaligus memberikan arahan yang diperlukan kepada Gerald dan Anggota timnya yang lain, secepatnya melangkah keluar dari kotak lift tersebut. Enggan membuang waktu barang satu detik saja. Dia sudah tak sabar untuk segera tiba di kamarnya dan mempersiapkan diri untuk check out dari hotel untuk kemudian segera menuju ke Bandara. Dengan langkah-langkah yang panjang lantaran didukung kaki jenjangnya yang bergerak demikian gesit, Klara menuju ke kamarnya dan menempelkan kartu akses untuk membuka pintu kamar. Kilap lampu led berwarna biru menyala, pertanda pintu kamar tidak lagi terkunci. Klara mendorong pintu kamar di depannya. “Aduh! Baru ingat nih aku. Tadi malam itu pulang dari venue acara sudah larut malam dan masih harus mengecek beberapa hal, jadi aku belum sempat buat berkemas,” gumam Klara agak menyesal, ketika pintu kamar terbuka dan ia melihat beberapa pakaiannya masih tergantung. Laptop serta kameranya juga masih ada di atas meja. Hal yang rupanya baru disadarinya, sebab tadi pagi pun, dia turun ke area makan dengan tergesa. Klara langsung melirik arlojinya. Dihembuskannya napasnya kuat-kuat. Bagai tengah melepaskan beban berat yang menindihnya. “Huft! Masih cukup waktu. Harus super ngebut. Nggak boleh ada yang ketinggalan nih! Ayo, kamu bisa, Ra!” ucapnya, menyemangati dirinya sendiri. Hal pertama yang langsung dilakukan oleh Klara adalah menyeret kopernya yang teronggok di sudut kamar. Sadar harus bergerak cepat, Klara mengangkat koper tersebut lalu diletakkannya dalam keadaan terbuka di atas kasur hotel. Saat itulah, telepon genggam di saku celananya berbunyi. Berpikir bahwa Salah Satu Anggota Tim-nya atau Klien yang menghubunginya, Klara segera menarik telepon itu. Kala mendapati Siapa nama Sang Penelepon, ingin rasanya dia langsung memencet ikon telepon berwarna merah. Tapi dia tahu, itu sama sekali bukan solusi. Jangankan terang-terangan ditolak panggilan teleponnya, jika didiamkan sampai mati sendiri saja, masih tetap ada kemungkinan Sang Penelepon tersebut akan kembali menghubunginya. Sebetulnya dari tiga hari yang lalu, itulah yang terus terjadi.  Padahal saat itu Klara sedang sibuk-sibuknya mengawasi acara pameran hasil produksi lokal yang memilih perusahaan Organizer-nya sebagai Penanggung jawab untuk penyelenggaraannya. Dan saat telepon genggamnya berdering berkali-kali, acara pembukaan belum lama usai, juga masih berlangsung sejumlah wawancara dengan sbeberapa perwakilan dari media setempat yang datang untuk meliput acara. Saat itu, Sang Penelepon yang tak lain adalah satu-satunya Kakak Perempuannya yang bernama Irene terus saja menghubunginya, sampai-sampai dia tak enak hati dan meminta ijin kepada Lawan bicaranya untuk menerima panggilan telepon tersebut.  Kabar yang disampaikan kepadanya kemudian membuat dirinya terperanjat.  Sebuah kabar duka. Memang, yang meninggal bukanlah Kerabat dekat mereka, tetapi persahabatan Sang Mama dengan Bu Virny, cukup akrab. Ditambah lagi, ternyata setelah dirunut, rupanya Pak Alvin, Sang Papa, berasal dari almamater yang sama dengan Pak Suwandi, Suaminya Bu Virny. “Hallo, Kak?” sapa Klara walau dengan perasaan terpaksa. Dibiarkannya telepon genggamnya berada tak jauh darinya, setelah menekan tombol loudspeaker di atas layarnya. Klara berpikir, Sang Kakak pasti akan mencerewetinya sebagaimana yang telah dilakukan kepadanya di hari-hari terakhir ini. ... “Masa kamu nggak bisa pulang, Ra?” “Ya diusahakan dong, Ra. Paling tidak, pastikan kamu itu ikut mengantarkan ke pemakaman. Tempat peristirahatan terakhirnya Tante Virny...” “Aduh Ra, yang namanya pekerjaan itu nggak akan ada kata selesainya. Bakal nyambung terus. Aku juga Orang kerja. Apalagi pekerjaanku juga urusannya sama data melulu. Nyambung terus. Sudah sangat paham, jadi nggak usah beralasan. Makanya, kamu jangan alasan pekerjaan terus deh. Lagi pula kamu itu kan nggak sendiri datangnya ke sana. Pemakamannya kan beberapa hari lagi. Kamu pulang duluan saja. Kan masih ada Anak Buahmu toh di sana?” “Minimal sekarang kamu langsung telepon dulu ke Om Suwandi dan Randy buat menyampaikan ungkapan belasungkawa. Tunjukkan bahwa kamu peduli.” “Jangan lupa Ra, secepatnya cari tiket untuk pulang. Jangan sampai kamu menyesal.” "Ingat ya Ra, jangan egois. Pertimbangkan persahabatan Mama dengan Tante Virny. Hubungan baik Keluarga kita dengan Keluarga mereka." ... Tanpa dikehendakinya, semua perkataan Sang Kakak bagai terngiang-ngiang kembali di telinganya. Betapa mengganggu. Bak dengungan suara tawon yang mendekat dan berpotensi mengakibatkan luka sengat yang menyakitkan. Bedanya, kalau tawon, begitu melihat dari jauh saja tentu Klara bisa mengambil ancang-ancang untuk berlari menjauh atau minimal melindungi diri. Namun berhubung ini Irene, Klara belum menemukan 'obatnya'. Dia seperti dalam keadaan terjebak saja. Maju kena, mundur juga sama. Apalagi diam tanpa perlawanan. “Kamu di mana sekarang? Masih di hotel atau sudah berangkat ke tempat acara pameran berlangsung?” Klara tak mau segera menjawab. Dia tahu akan panjang urusannya, terlepas dari apa pun jenis jawaban yang dia berikan. Karenanya Klara lebih memilih untuk bergerak cepat memasukkan pakaian yang diambilnya dari dalam lemari serta yang masih digantung di luar lemari, ke dalam koper. “Ra!” Terdengar Suara Irene, Sang Kakak dari perangkat telepon genggam Klara. Suara yang merupakan paduan antara bentakan dan rengekan penuh tuntutan. Gadis itu mengeluh dalam hati. Cerewet banget sih! Nggak tahu Orang lagi buru-buru apa! Malah bikin tambah repot saja! Ini namanya memecah konsentrasi Orang. “Ra, kamu masih di sana nggak sih?”  “Iya, Kak,” sahut Klara dengan lebih terpaksa lagi ketimbang tadi.  Dia melirik sepatunya yang masih ada di dekat pintu kamar dan segera bergerak lantas membungkusnya agar dapat segera dimasukkannya ke dalam koper. Sudah tidak ada kata rapi lagi, sebagaimana saat dia berkemas untuk perjalanan bisnisnya kali ini. Berantakan. Kalau koper bisa ditutup juga sudah bagus. “Jadi kapan kamu pulangnya?” “Hhh.” Klara mendesah kesal. “Ra, ini teleponnya kamu loudspeaker, ya? Suara kamu jauh kedengarannya, tahu!” Protes Irene. “Ya ini aku sambil siap-siap, makanya harus di-loudspeaker.” “Siap-siap pulang ke Jakarta atau siap-siap ke venue acara? Wah kalau siap-siap ke venue acara, kebangetan kamu, Ra!” Klara menggertakan giginya. Mama sama Papa saja nggak sebawel ini. Om Suwandi juga. Semuanya paham kok, aku sedang ada pekerjaan di sini bukannya lagi berwisata. Tapi Orang satu ini. Duh, ya ampun! Dia itu, setahuku load pekerjaannya lumayan padat, tambahan lagi sekarang sudah jadi Istri, yang notabene harus punya waktu khusus juga buat Suaminya. Kok ya masih sempat-sempatnya menggerecoki urusanku terus sih? Duh, semoga dia secepatnya hamil dan punya Anak kembar tiga sekalian, biar repot dan nggak lagi punya waktu untuk merusak mood baikku. Ya Tuhan, semoga Kakakku satu itu segera hamil, deh. Dan semoga hamilnya juga manja, ada bonus sedikit payah di awal kehamilan dan kalau bisa jadi timbul egois deh, biar dia mikirin dirinya sendiri. Dengan begitu, aku kan aman sentosa jauh dari gangguan dia, harap Klara dalam diamnya. “Oh? Kamu bisa pulang, akhirnya? Bagus deh kalau begitu. Nggak enak tahu, kalau ada satu saja dari Keluarga kita yang nggak setor muka.” Lagi-lagi Suara Irene terdengar sebelum Klara menjawab. Asumsi pribadi Irene. Konsentrasi Klara yang sedang mengingat-ingat barang apa lagi yang belum dikemasnya, menjadi terpecah seketika. “Rara!” Kini Suara itu lebih mirip bentakan kesal. Klara menggerakkan gigi. “Apa sih, Kak?” “Ya kamu, ditanya bukannya jawab.” “Memangnya tanya apa? Itu tadi bukannya kalimat pernyataan?” “Iiiih, anak ini! Tolong deh!” Klara menggeleng-gelengkan kepala lalu mengusap dadanya sendiri, mengundang rasa sabar. “Kak, aku harus buru-buru nih, nanti aku hubungi Kak Irene deh.” “Buru-buru mau ngapain?” Klara berdecak gemas. Saking geregetan, dia sampai menepuk jidatnya sendiri sekarang. Untung saja tidak ada jerawat di jidatnya. Kalau ada, auto pecah tentunya. “Ya buru-buru berkemas, Kak. Ini juga masih mending, acaranya bisa aku tinggal dan aku percayakan sepenuh nya sama Gerrald dan yang lainnya, karena sudah tinggal acara penutupan saja, besok malam. Dan beruntung pula aku bisa mendapatkan tiket pulang untuk hari ini.” “Hari ini? Serius, Ra?” Ada keceriaan terbias dalam suara Sang Kakak. “Iya,” sahut Klara pendek. Klara menarik reseleting kopernya serta menguncinya, usai memastikan semua barang yang harus masuk ke dalam koper telah ada di dalamnya. Itu setelah dia melakukan sejumlah percobaan agar koper dapat tertutup sempurna. Awalnya dia menekan dengan tangan, tapi karena gagal, dia sampai menduduki koper itu. Maklumlah, penataan yang sedikit asal memang jadi lebih makan tempat. “Bagus, bagus. Kalau begitu kamu sempat ke rumah duka dulu. Kita berangkat sama-sama dari sana, mengantarkan Mendiang Tante Virny ke tempat peristirahatannya yang terakhir.  Alamat rumah dukanya sudah tahu, kan? Aku sudah kirim dari kemarin-kemarin lho!” “Ya ampun Kak Irene, yang benar dong! Katanya dimakamkannya besok. Kalau kasih informasi yang akurat dong Kak! Kenapa tiba-tiba bilang hari ini?” sesal Klara. “Sorry, aku salah ucap. Namanya juga dalam suasana berduka di sini. Jadi wajar kalau aku kurang konsentrasi, Ra,” sahut Irene seenaknya. Tidak terlintas penyesalan sama sekali. Hampir saja menghentikan gerakan tangan Klara yang mengemasi laptop, kamera dan beberapa berkasnya terhenti mendengar nada suara Irene yang amat datar dan tenang. Andai bisa menuruti kata hati, ingin benar dia segera memukul telepon genggamnya lantaran jengkel. Dia merasa usahanya percuma. Rasanya sia-sia sekali dirinya sudah memajukan jadwal kepulangannya. Dengan memburu tiket pesawat tertanggal hari ini, semula Klara sudah berharap masih sempat pulang ke apartemennya dulu untuk berganti baju dan istirahat sebentar, lantas setelah itu baru datang ke rumah duka dan nanti malam menginap di rumah Orang tuanya. Dengan begitu, esok harinya mereka akan dapat berangkat bersama untuk mengikuti semua rangkaian prosesi pemakaman Bu Virny dari awal hinggai usai. “Ra, kita ketemu di rumah duka, ya. Kamu kan bisa tidur di sebentar selama penerbangan. Pemakamannya sekitar jam dua siang, kok.” “Aku nggak yakin bakalan sempat, Kak. Pesawatku saja mendarat hampir jam dua belas siang.  Aku langsung saja deh, ke tempat pemakamannya. Kirim alamatnya dan blok-nya, Kak.” “Masih sempat. Atau perlu aku kirim Supirku yang jago ngebut?” “Nggak usah. Aku sudah minta Supir kantor buat menjemputku.” “Ya sudah. Sampai ketemu nanti.” “Oke.” Klara dapat sedikit menarik napas lega setelah panggilan telepon dari Irene berlalu. Ia lekas masuk ke kamar mandi dan memeriksa masih adakah peralatan mandinya yang tertinggal di sana. Lekas diambilnya dan dicemplungkannya ke dalam samping luar kopernya. “Oke, saatnya berangkat,” ucap Klara. Dijangkaunya tas ranselnya yang berisi laptop serta kamera, dan menyeret keluar kopernya. Terus melewati lorong menuju lift dan menghampiri meja Receptionist untuk mengembalikan kartu aksesnya. Proses check out berjalan lancar. Taksi yang ia pesan melalui Pihak Hotel juga telah menantinya. Semuanya berjalan cukup baik, hingga dirinya sampai ke bandara. Klarajuga bersyukur, meski masih tetap bersikukuh mengajak bertemu di rumah duka “Heaven” tempat Bu Virny disemayamkan selama beberapa hari ini lebih dahulu, toh akhirnya Irene mau juga mengirimkan alamat tempat pemakaman Bu Virny. Dasar Klara tak mau membuang waktu percuma selagi menanti saat boarding, dia masih menyempatkan untuk memonitor situasi di venue dengan melakukan panggilan video kepada Gerald. Tampaknya semua berjalan baik sesuai harapannya. Tidak ada kendala yang dilaporkan oleh Gerald. Klara juga masih sempat membalas satu dua email yang menurutnya penting dan mendesak. Dia memang selalu seperti itu. Malas berleha-leha atau menunda pekerjaan. Ketika dirinya baru saja mengakhiri panggilan telepon dari Salah Satu Calon Klien-nya, Irene kembali meneleponnya. Klara memejam mata. “Ya, Kak? Ada apa?” “Heh! Kok begitu cara terima teleponnya? Seperti nggak suka begitu diteleponin.” “Enggak begitu juga. Kak Irene saja terlalu sensitif.” “Kamu sudah di Bandara? Telepon kamu dari tadi sibuk melulu deh.” “Sudah,” sahut Klara singkat. Tak hendak diperjelasnya dengan kalimat berikut, “Sibuklah, namanya juga sambil kerja. Nanti Kak Irene rasakan deh, kalau punya usaha sendiri. Mana baru, lagi. Dan merintis dari nol. Tanggung jawabnya itu bukan sebatas ke beban pekerjaan, tapi banyak yang harus dipikirkan. Mikirin kelangsungan perusahaan, mikirin untuk mendapatkan sebanyak mungkin pekerjaan tapi tetap tertangani dengan sumber daya yang ada, mikirin cara buat menutup biaya operasional, dan lain-lain.” “Jadwal take off  kamu jam berapa?” Klara menatap arlojinya, memperhatikan sesaat. "Sekitar tiga puluh lima menit lagi.” “Oh, ya sudah kalau begitu. Safe flight ya!” “Thanks, Kak.” Gitu dong, batin Klara. Tapi dia terlalu cepat merasa lega tampaknya. Masih ada instruksi selanjutnya dari Sang Kakak. “Nanti begitu mendarat, langsung telepon aku, ya.” “Beres." "Jangan lupa." "He eh. Daagh!” Klara menarik napas lega. Pikirnya, gangguan bernama Irene telah menjauh pergi pada akhirnya. Artinya, segala rencananya akan berjalan sempurna, tanpa adanya distraksi lagi. Malangnya, hanya sesaat setelah dia mengakhiri komunikasi via telepon itu, kendala pertama datang tanpa diduga. Pesawatnya mengalami delay, disebabkan ada aircraft lain yang kabarnya tergelincir di landasan ketika mendarat. Saat ini, aircraft tersebut tengah ditangani agar tidak mengganggu jadwal penerbangan yang lainnya. Hati Klara seketika dilanda rasa cemas. Dia tahu, dia pasti takkan sempat lagi untuk singgah sebentar ke apartemennya yang sejatinya searah jika ditempuh dari Bandara menuju ke lokasi pemakaman Bu Virny, untuk menaruh kopernya serta berganti pakaian yang lebih sesuai untuk acara pemakaman. Klara langsung menggigit bibirnya ketika menatap blus yang ia kenakan. Blus yang kini membalut tubuh langsingnya berwarna merah jambu pucat. Tetapi tetap saja merah jambu! Dan itu sama sekali tak pantas untuk dikenakannya ke acara pemakaman! Dan sialnya, ketika diingat-ingatnya dengan saksama, sejumlah pakaiannya yang masih bersih dan ada di dalam koper, malah berwarna lebih cerah, yaitu kuning gading, merah maroon, serta hijau neon. Warna-warna yang memang sengaja di bawa untuk tujuan memudahkan dirinya ditemukan di keramaian pameran, apabila Anggota timnya mencarinya. Oleh karena itu, andaipun dia berganti pakaian di toilet bandara, tetap saja soal warna tidak dapat menolongnya memecahkan permasalahan. Yang ada justru membuat penampilannya mencolok di area pemakaman nanti. Bisa jadi menimbulkan bisik-bisik Para Pelayat lain pula. Klara pusing tujuh keliling jadinya. Sudah dibayangkannya akan bagaimana reaksi Irene saat bertemu dengannya nanti. Yang jelas bukan hal yang bakal membangkitan getaran yang positif. Jauh, jauh dari itu. Kebalikannya malahan. Okelah, mungkin Irene tidak usah terlalu dipikirkan olehnya. Khususnya di saat ini. Demikian Klara menghibur dirinya sendiri di dalam diam. Akan tetapi Klara segera teringat pada yang lainnya. Dan itu membuat hatinya tak tenang. Keluarga Bu Virny! Aduh! Tapi bagaimana dengan Om Suwandi nanti? Dan apa pula nanti tanggapan dari Si Randy yang sinis itu? Ya ampun!!!! Keluh Klara dalam hati. Baru sekadar membayangkannya saja dia sudah dilanda rasa enggan yang besar. *                                                                                                                         $ $   Lucy Liestiyo  $ $                                                                                                                                  Fp B!telucy
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD