Bab 5 Sir Ontorejo Paling Ngeselin Di Kelas Ini

711 Words
Urusan mencari wali nikah sudah, fix Aidan yang baru ultah yang ke dua belas sebulan yang lalu dan baligh enam bulan yang lalu itu sudah memenuhi syarat sebagai wali. Rosa hanya berharap dia tidak grogi harus menikahkan ibunya dengan wali kelasnya sendiri. Aidan sih bilangnya berani dan berjanji tak akan gugup. Bahkan dia sudah mulai menghafal ucapan akad nikahnya disertai tatapan matanya yang sengaja melotot biar terlihat tajam dan berwibawa. Entah dia dapat ide dari mana. Untung saja posturnya tinggi menjulang melebihi tinggi Ustadznya, sehingga wajah bocilnya sedikit tersamarkan. Sekarang saatnya membahas tanggal pernikahan. Orang tua Idris menyerahkan sepenuhnya pada mereka berdua. Ketika ditanya, Idris spontan menjawab ingin menikah hari itu juga yang langsung dihadiahi jeweran oleh Ibunya. "Memangnya kamu pikir nikah itu berangkat mancing apa ngarit gitu to, Le? Ga pakai memilih hari baik?" "Hari ini juga hari baik, Mak." jawab Idris langsung mendapat tatapan tajam dari Bapaknya yang seketika membuatnya mengkeret. Rosa menawan tawa melihat interaksi keluarga itu. "Tapi Rosa nggak paham weton dan lain-lain, Buk. Dan mohon maaf, selama ini kami tidak pernah mempertimbangkan hal-hal seperti itu." "Ya nggak papa, Ros. Milih hari baik itu setidaknya kalian semua luang pada waktu itu. Idris dan kamu nggak kerja, Aidan sama Carlo ya nggak lomba. Syukur-syukur Kakek Nenek Carlo bisa datang dan ikut memberi restu." "Kalau gitu apa dipasin sama acara kelulusan mereka ya, sekalian waktunya mereka berkunjung kesini kan?" Usul Rosa tapi langsung ditolak oleh Idris. "Jangan, itu masih enam bulan lagi. Kelamaan. Bulan depan aja maksimal sudah harus nikah." "Jangan, Pi. Akhir bulan ini kami final di UNY, masak ditinggal?" Idris menepuk jidatnya. "Oh iya, kalian berdua final ya? Papi malah harus nganterin kalian lagi." "Kalau bisa jangan sebelum itu, Tadz. Kami kan harus persiapan juga. Ustadz juga udah janji mau nyemplungin kami ke kawah....mana itu, Tadz? Chandra Winata?" "Ngawur arek iki. Chandra Winata itu bapaknya Michael. Candradimuka! Kalian mau dicemplungin ke sana kesannya kayak mau diceburin kolam renang aja!" sahun Idris jengkel. Aidan dan Carlo terkikik di belakangnya. "Aidan aja, Pih, yang minta diajak renang. Secara dia sampe segede ini renangnya gaya batu sama gaya d**a, nyemplung langsung tenggelam terus lambai-lambai tangan bilang, "Heelp......!"" "Oh, diam kau, Sir! Mau kukutuk jadi ikan asin buat santapan Mahmud?" "Ampuuun! Aku rela kamu kutuk, Dan. Jangan jadi ikan asin tapi, kutuk aku jadi anaknya Tante Rosa aja!" jawab Carlo sambil berlali di balik punggung Rosa, mencari perlindungan dari amukan Aidan disana. "Tenang saja, Lo. Bentar lagi kamu jadi anakku kok. Yaaa anak tiri sih emang, tapi Tante janji akan tetap sayang sama kamu deh." jawab Rosa mengulum senyum, tak lupa sambil mengusap rambut coklat Carlo yang lebat berombak itu. "Kita saling kutuk aja, Sir. Gimana menurutmu? Kamu kutuk aku jadi anak Ustadz Idris, kamu aku kutuk jadi anak Mamihku." "Kalian gak bilang saling kutuk kenapa to? Kan enakan saling doain." "Tapi Carlo ini ngeselin, Tadz!" "Aidan ini yang temperamen, Pi. Dibilang gak bisa renang aja sudah marah." "Sekarang kamu pilih, Sir, kita gelut atau kamu minta maaf atau aku sebarin wawancara tempo hari ke IG dan Facebooknya Mamih, dan aku bilang kalau kamu itu asli WNI?" "KALIAN SUDAH JANJI KAN?" semua terkejut melihat Carlo jadi emosi. Rosa bergegas bangkit dan mengusap pundak Carlo lembut, lalu menuntunnya duduk di kursi. "Kalian ini kenapa? Belum juga resmi jadi saudara sudah berantem aja bawaannya," tegur Rosa tegas. Kedua perjaka tanggung itu serentak mau menjawab, tapi Rosa mengangkat tangannya. "Tante eh Mamih....aduh jadi bingung kan bilangnya? Mamih saranin kalian gak usah kasih alesan. Terima saja kata-kataku tadi. Jangan mudah terpancing sama hal-hal sepele macam tadi. Mengerti? Dan kau, Carlo, mulai hari ini biasakan panggil Tante Mamih juga. Ribet tahu nggak kalau gini ini." Ibu Idris yang sedari tadi diam sambil mengulum senyum menyaksikan pertengkaran cucunya itu tiba-tiba bertanya, "Kenapa Aidan jadi panggil kamu Sir, Nang? Itu julukan?" "Bukan, Yang. Idenya anak-anak itu tadi sejak dari Madura kapan itu." "Oh?" Tiba-tiba Idris tertawa ngakak melihat tatapan bingung orang tuanya. "Waktu itu kan iki break buat sholat Magrib. Kitanya datangnya telat, sholat jamaahnya sudah bubar. Jadi anak-anak sholat jamaah sendiri, Carlo jadi imamnya. Ternyata disana ada reporter ....dari mana itu, Lo, Mesir ya?" "Maroko, Pih." Jawab Carlo, mukanya merah padam menahan jengah dan malu. "Dia terpesona lihat bule jadi imam sholat, dah gitu katanya bacaannya bagus......"

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD