OITACHI (Asuhan)

1017 Words
Katedra Trentonia , Ragusa, Italia, di seperempat abad ke dua puluh satu. Teriakan yang melengking tanpa batas malam itu. Mengisi udara kesepian malam yang dingin juga sendu. Para suster, pastor, diaken, serta pelayan lain yang setia melindungi rumah Tuhan mereka senantiasa berguguran satu demi satu. Darah para manusia yang telah menyerahkan dirinya pada kuasa ilahiah tersebut mewarnai lantai gereja yang putih lagi suci. Karena hanya diinjak oleh orang-orang beriman untuk memohon ampunan serta menunjukkan penyerahan diri. Tempat peribadatan itu dihancurkan dari dalam. Uang sumbangan dari para jemaat yang didedikasikan khusus untuk Tuhan mereka dirampok hingga tak ada lagi yang bersisa. Hukuman yang tak terbantahkan tak perlu diragukan lagi memang memang harus para manusia k**i itu alami. Mereka semua telah men*dai tempat suci itu. Hukuman tak terbatas sudah tak terbantahkan lagi memang harus dijatuhkan. Neraka tanpa dasar untuk para manusia yang tidak tahu diuntung. Seorang wanita berusia senja yang menjabat sebagai salah satu pengantin Tuhan. Menatap anak remaja di hadapannya dengan raut penuh kasih, namun juga gemetar tidak karuan. Seluruh lipatan di wajah dan di antara mata semakin berkerut menunjukkan betapa serius dirinya saat itu. “Ti prego di restare qui, Gilbert! Devi fargli sapere che non esisti mai (Aku mohon tolong bertahanlah di sini, Gilbert! Kau harus membuat mereka tak pernah tahu bahwa kau pernah ada),” ia meminta dengan suara yang teramat lirih. Dengan bibir yang setelahnya tak usai terus m-e-la-n-tunkan doa. Harapan. “Non ti lascerò fare quello che vuoi! Devo anche... non importa quali siano le circostanze... non voglio perdere di nuovo...(Aku tidak akan biarkan kalian berbuat seenaknya! Aku juga harus... bagaimanapun juga keadaannya... tidak ingin kalah lagi...)” balas anak remaja itu merasa sangat gundah gulana. Tanpa memedulikan ucapan dan respon yang diberikan oleh si anak remaja laki-laki. Wanita yang telah berusia senja itu menyelipkan sebuah rosario indah yang terbuat dari emas putih di tangan sang anak remaja. “Dio ti benedirà sempre, Gilbert (Tuhan akan selalu memberkatimu, Gilbert),” ia berdoa seraya membentuk pola salib di tubuh si anak remaja. Gilbert sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membuat pilihan. Suster bernama Elizabeth itu mendorong tubuh Gilbert ke dalam sebuah ruangan kecil. Pemuda itu tak kuasa menahan perasaannya sendiri. Tak lama dari itu terdengar suara tembakan beruntun. DDARR DDARR DDAR DDARR DDARR DDAR DDARR DDARR DDAR . Sangat mirip dengan suara deru peluru yang selama ini hanya ia dengar dari film maupun drama krimin*l di televisi. Suara Suster Elizabeth turut melengking mengikuti lengking tembakan. Aaaaaaaaakkhh!!! Mulutnya seketika bagai terkunci. Air mata hangat juga asin tak lagi kuasa ditahan. Berakhir membasahi nyaris seluruh tebing pipi. Menahan diri agar tidak ada suara keluar sampai terdengar. Mengerikan. Sangat mengerikan! Mengapa… mengapa… mengapa semua ini harus terjadi??? Sebuah kejadian yang sama sekali tidak dapat dipahami. Apakah karena ia masih hanya seorang anak kecil? Itu kenapa belum mampu memperkirakan seberasa besar dunia ini juga kemungkinan untuk segala hal yang terjadi di dalamnya. Kepada para penghuninya. Seperti itukah? Entahlah. Waktu terus berlalu dalam diam dan kegelapan. Ia sama sekali belum siap untuk melangkahkan kaki ke dunia luar. Ke kenyataan yang begitu dalam juga kelam. Tapi… yang namanya hidup bukankah masih harus terus dilanjutkan? Bias cahaya matahari menembus melalui celah jendela berwarna-warni. Mulai dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pagi telah tiba. Cahaya yang naik menandakan sebuah kedatangan untuk kegelapan panjang. Gilbert mengarahkan rosario itu ke arah datangnya cahaya matahari. Benda itu memantulkan cahaya menyilaukan mata. “Cosa stai progettando in questo mondo distruggendo i tuoi stessi servi, Signore? (Apa yang tengah Engkau rencanakan pada dunia ini dengan menghabisi pelayan-Mu sendiri, Tuhan?)” ia bertanya. Menatap ke patung Yesus Sang Juru Selamat yang "berada" di atas altar. Tak lama kemudian seorang pria asing berambut hitam mendobrak pintu gereja. DBRAAK. Menemukan seorang remaja berusia empat belas tahun tahun yang tengah berdiri di dekat jendela dengan tatapan mata hampa. Gilbert tak kuasa kala menatap mayat para anggota gereja yang telah merawatnya penuh kasih sejak masih begitu belia. Sejak ia diserahkan ke tempat itu oleh kedua orang tuanya sendiri. Ketika ia bahkan masih hanya seorang bayi yang tidak mengerti tempat macam apa dunia ini. Suster Elizabeth, Suster Agnes, Suster Daria, Suster Ebba. Suster Christina, Suster Monika, Pastur Mikaeli, Pastur Denio, Pastur Vincen, Diaken Michael… Usai mengucapkan salam perpisahan pada jenazah orang-orang yang paling ia kasihi sepanjang hidup. Orang-orang asing yang baru datang membawa Gilbert ke rumah sakit. Selama berada dalam penanganan dokter. Remaja itu terus saja berpikir. Memikirkan sesuatu yang dalam, serius, dan sangat sakit. Mengapa mereka, orang-orang baik itu yang harus mati? Mengapa orang jahat yang malah menang? Sedikit demi sedikit hatinya mulai terusik. Ia merasakan suatu kesalahan pada pengaturan kematian untuk manusia. Ia merasa ini semua sangat salah. Tidak seharusnya orang yang baik itu mati, bukan? Ada apa dengan pikiran Tuhan sebenarnya? Mencabut nyawa orang-orang yang melayani-Nya dengan jiwa dan raga mereka. Padahal ini adalah hari yang sudah sangat lama ditunggu oleh Gilbert. Ulang tahunnya yang ke-14 tahun. Mereka sudah berjanji akan mengadakan pesta ulang tahu pertama untuknya. Namun, bukannya pesta beserta seluruh embel-embel kebahagiaannya. Yang terjadi malah semua hilang. Lenyap. Tidak seharusnya mereka semua mati. Bukankah kamu juga memiliki pikiran yang seperti itu? Deng deng deng deng deng deng deng! Suara lonceng gereja terus terbesit dalam pikirannya. Bergema dengan mengerikan. Wajah-wajah mereka kembali muncul. Wajah-wajah masa lalu. Deng deng deng deng deng deng deng! Suara itu masih enggan untuk berhenti. Gilbert menutupi kedua telinganya. Namun, suara itu tak juga kunjung hilang. Seperti suara yang muncul dari kedalaman jiwa. Ia berteriak dengan keras. Meronta sekuat tenaga. Berusaha melawan takdir. Melawan ketetapan Ia yang berkuasa dari atas tahta Ia Yang Memiliki Segala Kuasa. Deng deng deng! Deng deng deng! Deng deng deng! Suara lonceng itu hanya semakin keras. Deng deng deng deng deng deng deng! Tiba-tiba pintu kamar rawat sederhana tempat ia berada terbuka dari luar. Sepasang suami istri memasukinya dengan langkah tergesa. Mereka meraung dan menangis. Entah air mata yang bermakna apa. Memeluk tubuh dan jiwa Gilbert yang lemah. Mereka membisikkan seutas kata dengan lirih, “Anakku…” Apa? Siapa? Bagaimana? Pada siapa mereka tengah bicara? Deng deng deng deng deng deng deng deng deng! DDARR DDARR DDAR!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD