4. Karma

1126 Words
Perlahan Jasmine turun dari atas mobil mercedes Benz C Class milik ayahnya begitu ia sudah sampai di depan rumah Tante Amanda. Sebuah rumah berlantai empat dengan bangunan bergaya Eropa yang dibangun di atas tanah seluas delapan ratus meter persegi. Tak hanya rumahnya yang terlihat besar dan mewah dengan dominan cat warna putih, tapi halaman rumahnya juga begitu luas dengan banyaknya taman yang terdapat di setiap sudut rumah. Di bagian samping, juga terdapat garasi terbuka untuk menyimpan beberapa koleksi mobil sang pemilik rumah. Kemungkinan garasi itu bisa menampung lebih dari lima belas mobil. Jadi, rasanya Anggoro tidak perlu khawatir karena ia membawa rombongan keluarga besarnya sebanyak lima mobil. Belum lagi dua mobil khusus yang sengaja digunakan untuk membawa seserahan. Dari gerbang masuk yang cukup tinggi,kedatangan mereka sudah disambut oleh empat orang security dengan pakaian dan kacamata hitam. Sementara di teras rumah, mereka disambut oleh pihak keluarga yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan keluarga Anggoro. Bisa terlihat kalau keluarga Amanda merupakan keluarga besar. Dari kejauhan, Jasmine pun juga melihat tante Amanda yang begitu cantik dengan balutan kebaya berwarna ungu muda. Rambutnya yang disanggul modern ke atas dengan sedikit poni yang menutupi sebagian dahinya membuat penampilannya semakin terlihat sempurna. Ada sedikit rasa iri dan cemburu terlintas di hati Jasmine. Bagaimana tidak? Mungkin yang dikatakan Kak Kenzo sedikit ada benarnya. Tante Amanda memang cantik dan terlihat dewasa. Seandainya saja nanti Tante Amanda sudah menikah dengan papahnya, tentu ia bukan lagi satu-satunya wanita di rumah. Ia bukan lagi prioritas. Bahkan mungkin perhatian orang-orang yang biasanya tertuju padanya, bisa saja berbalik arah memperhatikan tante Amanda. Ya, pasti cepat atau lambat akan tiba waktunya mereka menghabiskan weekend bersama seperti yang biasa ia lakukan dengan Kak Kenzo, dan juga Papahnya. “Ayo, ayo … Silakan masuk,” sapa salah seorang pria paruh baya bertubuh tinggi, tegap yang baru saja keluar dari dalam rumah menyambut kedatangan rombongan Anggoro. Pria berambut crew cut atau potongan rambut cepak yang tipis di bagian samping lalu memanjang di bagian depan yang identik dengan potongan tentara itu memang terlihat gagah dibandingkan dengan pria seusianya. Dan pria paruh baya itu akhirnya Jasmine ketahui adalah Ayah dari Tante Amanda, setelah ia melihat komunikasi yang terjalin baik antara pria itu dengan kakeknya. Juga sikap ayahnya yang terlihat cukup hormat. “Oh, baik-baik ... Mohon maaf sekali Pak, kalau kami sedikit terlambat. Kami benar-benar tidak menduga kalau perjalanan Jakarta-Bandung yang biasa ditempuh kurang lebih dua jam perjalanan sampai semolor ini,” sahut Kusmo, kakek Jasmine. Wow, sudah sedekat itu-kah kakeknya dengan ayah Tante Amanda? Bahkan ia pun belum terlalu mengenal Tante Amanda karena mereka baru bertemu satu kali, batin Jasmine. “Oh, ngga apa-apa, Pak. Lagi pula kan cuma terlambat lima belas menit. Saya rasa tidak terlalu berpengaruh. Yang penting kan bagaimana nanti acaranya berjalan dengan lancar. Bukan begitu, Pak Kusno?” “Iya. Tentu saja begitu.” Oke, Jasmine akui, tak hanya gagah dan berwibawa, tapi calon kakeknya itu juga terlihat sangat bijaksana. Lagi-lagi Jasmine hanya bisa membatin sambil tetapl memperhatikan percakapan mereka. Tunggu! calon kakek?!Ah rasanya masih berat mengakui hal itu. Lagi pula, belum tentu juga pria itu mau mengakuinya sebagai cu .... “Oke, biar saya tebak ya, Ini pasti Jasmine, kan?” Tiba-tiba saja pria paruh baya bertubuh tegap itu mulai mengajak Jasmine bicara sambil menatap matanya. Hingga membuat Jasmine sedikit kaget. “Iya betul, Pah. Ini Jasmine, putri saya.” Akhirnya Anggoro yang mewakili Jasmine menjawab pertanyaan itu, karena Jasmine masih terlihat diam. “Jasmine, Ayo salam dulu,” pinta Anggoro. Jasmine mulai menyunggingkan senyum. Lalu mendekat dan mencium tangan calon kakeknya itu. “Cantik sekali kamu, Sayang.” Kali ini Jasmine tak menjawab. Ia hanya tersenyum sekedarnya. “Ayo, Ayo, Masuk ... kenapa jadi ngobrol sambil berdiri begini.” Setelah kembali dipersilakan masuk, rombongan keluarga Anggoro pun masuk satu per satu ke dalam ruangan yang sudah disediakan sambil menenteng seserahan yang mereka bawa dari Jakarta, dengan dibantu oleh beberapa anggota keluarga tuan rumah. Bola mata Jasmine pun mulai bergerilya ketika masuk ke dalam rumah itu. Jasmine benar-benar tidak menyangka kalau orang tua dari Tante Amanda adalah orang yang sangat berada. Bahkan bisa dibilang sangat kaya raya dengan melihat rumah beserta isinya. Mungkin rumah itu adalah rumah terbesar dan termewah dari semua rumah yang ia lewati sejak mulai masuk ke dalam gerbang perumahan. Tapi Jasmine lihat, penampilan Tante Amanda begitu sederhana, sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia memiliki segalanya. Namun di sisi lain, Jasmine sedikit lega. Rupanya selama ini Jasmine salah menuduh Tante Amanda bahwa ia mau dinikahi oleh ayahnya hanya karena harta. Seperti fenomena yang sudah kerap terjadi di lingkungan ibu kota. Bagi mereka, cinta bukan lagi prioritas, tapi mereka lebih menginginkan hidup mewah dan bergelimang harta tanpa peduli kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Dan yang membuat Jasmine melongo, rupanya tante Amanda adalah Putri seorang jenderal bintang lima setelah ia melihat sebuah lukisan keluarga dalam bingkai kayu yang terpampang di salah satu dinding rumah itu. Dalam lukisan itu, Ayah tante Amanda memakai setelan jas PDU 1 TNI Angkatan Darat yang penuh dengan brevet. Jasmine hitung, setidaknya ada dua belas brevet yang tersemat di pakaiannua. Itu belum termasuk tanda jasa yang terdapat di atas saku sebelah kiri. Jasmine sedikit mengetahui seluk beluk TNI karena ayah Karen, sahabat baiknya juga seorang TNI Angkatan Darat. Setelah semua orang yang hadir duduk di tempat yang sudah disediakan, acara pun segera dimulai dengan sambutan pihak keluarga Amanda. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan pihak calon mempelai laki-laki yang diwakilkan oleh Soeharso yang merupakan adik dari kakek Jasmine. Selama acara berlangsung, Jasmine sama sekali tidak mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Ia sibuk sendiri dengan smartphone-nya hingga Kenzo yang duduk di sampingnya beberapa kali menegur dengan menyenggol Jasmine menggunakan siku tapi sepertinya Jasmine tidak peduli. “Eh, bisa nggak sih lo taruh dulu handphonenya. Nggak enak tahu diliatin mulu,” protes Kenzo sambil berbisik. Karena sejak tadi, berapa pasang mata mengarah kepada Jasmine. “Enggak,” jawab Jasmine dengan cueknya. “Ngapain gue dengerin, toh yang mau lamaran juga bokap, bukan gue. Gue dateng juga udah sukur.” “Lo nggak boleh gitu dong. Bokap kan juga berhak bahagia. Kasihan kan dia sendirian nggak ada yang ngurusin.” “Kan ada bibi yang ngurusin. Gue juga sendirian kok nggak punya cowok. Terus masalahnya di mana?” “Itu karena lo yang jual mahal.” “Bukan jual mahal, tapi emang belum ada yang bisa bikin gue jatuh cinta. Dan blm ada yg ngimbangin gue.” “Selera lo tuh yang ketinggian. Nih, gue ingetin sama lo. Hati-hati kalau mau nolak cowok. Kalau lo nggak suka, setidaknya lo bilang baik-baik. Gimana caranya dia nggak tersinggung. Gue takut lo nanti kena karmanya,” pesan Kenzo. Karena ia tahu betul bagaimana sifat adik perempuannya itu. Seketika Jasmine menoleh ke arah Kenzo. “Karma??” #Bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD