Musuh Bebuyutan

2024 Words
Jangan sampai mereka berantem lagi! Gino dan yang lain memandang Gibran dan Dirana dalam waspada. Pasalnya mereka saling memunggungi, menggerutu saling menghina. Kasa ikut berdecak, heran sama dua mahluk beda jenis kelamin itu selalu bersitegang setiap kali bertemu. Nggak tau siapa yang mulai, tiba-tiba udah gerabak-gerubuk. Atau nggak, kayak sekarang, gelas sama piring pecah berserakkan di lantai. Mereka lengah nggak sampai setengah menit lho. Mereka yang berantem, perabotan Gino yang jadi korban. Gelas sama piring udah nggak berbentuk lagi.  Dirana menarik napas dalam-dalam sambil menggulung kaus berlengan pendeknya sampai ke bahu. Haduh! Tolong dong, ini mereka lagi ngerayain ulang tahun Kasa lho. Bukannya berdoa untuk hari kelahiran Kasa, mereka malah sibuk berantem. Anjas refleks memeluk kue ulang tahun Kasa. Untung aja kan kuenya Anjas pegangin dari tadi. Coba kalau kuenya dia taro di atas meja, terus Dirana ngamuk, terus dibanting. Ancur udah.  Berantakkan beneran acara ulang tahun Kasa karena kegilaan Dirana dan Gibran. Kalau udah kayak gini, biasanya cuma Ario yang bisa pisahin mereka. Gibran paling nurut sama Ario. Ya, mungkin karena usia mereka hampir sepantaran, jadi Gibran lebih mendengarkan kata Ario, ketimbang mereka yang masih muda. Kasa menghela napas. Ia melepaskan topi ulang tahunnya, kemudian membanting tepat di depan kaki Gibran dan Dirana. Duh, jangan sampe Kasa ikut-ikutan ngamuk. Bahaya ini! Pluk! “Lo! Lo!” Kasa menunjuk Gibran dan juga Dirana. “Gue tau lo berdua nggak pernah akur! Tapi, please, dong! Ini acara ulang tahun gue! Pending bentaran bisa kan?” “DIEM LO!” sentak Gibran dan Dirana secara bersamaan. Kasa bergerak mundur, nyaris menabrak Anjas yang sejak tadi memeluk kue ulang tahunnya. “Lo sih,” gerutu Anjas. “Kalau mereka perang, biarin aja! Nggak bakal bisa lo pisahin juga,” bisik Anjas, sepasang matanya mengamati wajah Dirana yang memerah. Lho, Dirana nangis? “Berhenti cari gara-gara kenapa sih!?” Gibran mendesah, ia meletakkan satu tangan di pinggangnya. “Gue punya salah sama lo emang?” Air mata Dirana mengalir di pipi. Gadis itu mendelik, kemudian berseru keras. “Oh, nggak! Lo nggak salah! Gue yang salah, gue yang bego! Puas lo!?” Dirana berteriak, membuat yang lain kebingungan. Gibran mengerutkan dahinya. Ia melangkah berusaha mendekati Dirana. “Kok lo nangis sih?” Oke. Sekadar pemberitahuan untuk kalian semua! Terjadinya pertengkaran di antara Dirana dan Gibran itu hal biasa, pemandangan wajib ketika keduanya bertemu. Nggak tau ada masalah apa, belum kena senggol aja nih, cuma nggak sengaja Gibran liat Dirana aja, langsung berang tuh cewek. Kayaknya liat Gibran tuh... Dirana benci setengah mati! Tapi, kali ini, ada yang aneh sama Dirana. Kan mereka udah biasa berantem tuh. Tetapi baru sekarang ini Gino liat Dirana sampe nangis. Matanya memerah, pipinya basah karena air mata yang terus mengalir membanjiri wajahnya. Anjas jadi nggak tega liat Dirana nangis. Biarpun tuh bocah suka mancing perkara, tapi nggak tega liatnya. Anjas mengangsurkan kue yang ia peluk pada Kasa. Anjas menghampiri Dirana, menepuk-nepuk punggung gadis itu menenangkan. “Udah dong, Di. Kok lo jadi nangis sih?” Anjas menepuk-nepuk punggung Dirana, kemudian tangannya beralih ke kepala Dirana. “Bang Gibran nggak beneran kali ngejek lo.” Dirana menoleh. Matanya menatap Anjas tajam. “Lo nggak tau sih apa yang udah dia lakuin ke gue!” sentaknya marah. “Dia tuh... dia...,” Dirana menggigit bibir bawahnya. “Bang Gibran ngapain lo?” Gino menyahut. Dia udah perkosa gue! Dia itu c***l! Nyaris saja Dirana berteriak di depan wajah Gino. Ia ingin mengeluarkan apa yang ia pendam selama ini. Dirana menghapus air matanya dengan kasar. Ia maju selangkah, mendekati Gibran yang seolah kaku di tempatnya. “Gue benci lo!” Duk! Dirana menginjak kaki Gibran dengan kuat, sampai laki-laki itu meringis, refleks mengangkat kakinya dan mengaduh kesakitan. “Lo! Hei!” Gibran berteriak menunjuk Dirana yang pergi begitu saja setelah menginjak kakinya. “Dasar cewek gila! Anak setan!” Satu lagi yang membuat Gino serta Kasa heran. Di depan orang lain, Gibran tuh ramah, baik, dewasa, dan keliatan berwibawa. Tapi, ketika berhadapan dengan Dirana, semuanya hilang. Digantikan dengan sosok Gibran yang mengerikan. Suka ngumpat, menyumpahi serapahi orang. “DIRANA! HEI!” Gino geleng-geleng melihat emosi Gibran yang meledak, ia menunjuk Dirana yang sudah menghilang entah ke mana. Gino menoleh ke arah Kasa yang tampak nelangsa memandangi kue ulang tahunnya. Dari lilinnya hidup, sampe nggak nyala. Kasa mengerucutkan bibir.  Dan di samping Kasa, Anjas malah mencolek kue ulang tahun Kasa, kemudian menjilatnya tanpa perasaan. Puk! Puk! Anjas menepuk-nepuk bahu Kasa. “Enak, Sa. Enak kok.” Anjas mencoleh lagi, lebih dalam. “Hei!” Kasa menjerit. Ia menyikut kening Anjas. “Tangan lo kotor! Kenapa colek-colek kue gue!” Dan seperti biasa, Anjas cuma cengar-cengir. Kasa pun pasrah. *** “Lo nggak pulang?” tanya Anka di meja dapur menghampiri Dirana yang asik meminum segelas s**u cokelat panas. “Nggak. Gue mau nginep di sini aja.” Dirana meneguk susunya yang mulai dingin. “Gue tidur sama lo ya?” “Terus, Jona tidur di mana?” Anka menarik kursi kayu di hadapan Dirana. Gadis itu melipat tangannya di atas meja. Dirana menjilat bibir bawahnya, matanya menyipit ketika gadis itu tersenyum lebar. “Tidur sama Kak Anjas aja. Ya, ya...” Anka terdiam beberapa saat, lalu bergumam. “Jona mana mau.” Dirana cemberut. Ia memutar tubuhnya memunggungi Anka. “Lo ngambek, Di?” Anka memiringkan badan, disentuhnya bahu Dirana. “Gue kan kangen sama lo, An. Jarang-jarang gue bisa nginep. Kok nggak lo bolehin sih?” Tanpa Anka sadari, wajah Dirana sudah basah. Anka jadi serba salah. Temannya yang satu ini jadi sering merajuk. Mendadak suka ngambek, marah-marah nggak jelas. Kadang malah nangis, cuma karena keinginannya nggak dituruti. Anka mengerutkan dahi, samar-samar ia mendengar isakkan Dirana. “Akh! Gue kenapa sih!” Dirana mendesah, ia menggerakkan kedua tangannya mengusap-usap wajahnya yang basah. “Gue kok jadi baperan gini!” Dirana menyentakkan tangannya. Ia kesal dengan dirinya sendiri. “Hm, gini, Di, sebenernya...,” kata Anka berusaha menjelaskan sesuatu. Tubuh Dirana bergerak menghadap Dirana. “Kenapa?” “Bukannya gue nggak bolehin lo nginep. Tapi...,” “JONA!” teriak Dirana girang melihat Jona yang baru datang. Jona mengerutkan dahi. Ia menatap Anka berusaha meminta jawaban atas sikap Dirana yang terkesan berlebihan. Dirana menarik ujung kaus Jona lalu menggeretnya dan mendudukkan Jona di kursi samping Anka, istri Jona. “Lo tidur sama Kak Anjas ya, Jo? Mau ya, Jo? Please!” Jona baru datang lho. Udah main tarik-tarik aja. Sekarang maksa Jona supaya tidur di kamar Anjas. Ini anak kenapa deh! “Gue pengin tidur sama Anka. Ayo dong, Jo! Boleh, ya? Boleh dong?” Jona menengok pada Anka, tapi Dirana malah menarik pipinya. Gadis itu merengek sekali lagi. “Boleh, ya? Ayo dong! Jo, jangan diem aja!” Sekarang Dirana malah narik-narik lengan kaus Jona. Bisa melar nih! “Oke. Lo diem. Gue anggep iya!” Kedua jari Dirana saling bersentuhan, ia berganti menarik Anka. “Tuh, Jona bolehin. Ayo tidur, An! Daaah, Jonaaaa!” Jona mendelik. Anka menggelengkan kepalanya serba salah. Jona mendengus. Dia pulang buru-buru tuh karena pengin berduaan sama istrinya. Tapi sampai rumah, Dirana malah ngerecokin Jona. Dirana kok ngerepotin sih!? *** Tengah malam Dirana terbangun. Matanya mengerjab memandangi lampu kamar yang mati. Ia melirik Anka yang tidak ada di sampingnya. Untuk beberapa saat, Dirana terdiam. Tangannya bergerak mengusap perutnya yang keroncongan. Masa iya laper lagi, sih? Gumam Dirana setengah mendesah. Sebelum dia pergi tidur, dia udah makan lho. Kok sekarang laper lagi, ya? Dirana menuruni ranjang lalu pergi keluar. Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat Gino, Anjas serta Kasa tidur di lantai beralaskan karpet bulu berwarna krem. Dirana mengerjab, kok mereka tidur di sini semua? Terus, Anka sama Jona di mana? Dasar Dirana emang iseng. Dia naik ke atas lagi menuju ke kamar Gino dan Anjas. Apa jangan-jangan Jona sama Anka tidur di kamar Gino, ya? Mereka berdua kan pasangan yang sulit dipisahkan. Jona mana pernah rela jauh-jauhan sama Anka. Palingan nih ya, waktu Dirana udah tidur, Jona bangunin Anka terus pindah ke kamar Gino yang memang jarang di tempatin. Gino lebih sering tidur di ruang tengah, apalagi ada Kasa yang sering nginep di sini. Dirana berdecak, lama-lama rumah Gino udah mirip panti asuhan. Semua ngumpul di sini. Ceklek. Tuh, kaaaan. Dirana bilang juga apa! Jona sama Anka tidur di kamar Gino. Sambil pelukan. Uh, mesranya. Kampret si Jona, ya! Pinjem istrinya bentaran aja. Nggak boleh. Besok kan bisa tidur bareng lagi sama Anka. Karena tidak ingin menganggu Jona dan Anka tidur, Dirana kembali menutup pintu. “Lo ngapain di sini?” Suara berat yang terdengar sangat familiar mengagetkan Dirana. Gibran. Boleh Dirana bilang kalau Gibran itu adalah orang yang paling dia benciiii. Bencinya sampe ke ubun-ubun. Belum nengok aja nih, Dirana udah paham sama aroma tubuh Gibran. Dirana melengos, ia berjalan menjauhi Gibran, menuruni anak tangga. “Kenapa lo di sini?” Gibran bertanya lagi. Dirana memutar badan. Menatap Gibran sengit. “Lo juga ngapain di sini!?” “Jangan cari perkara deh,” gumam Gibran malas. “Gue kan tanyanya baik-baik. Kok lo nyolot sih?” “Terus masalahnya apa sama lo?” Dirana berkacak pinggang. Kruyuuuuk. Dirana refleks mundur. Ia menunduk melihat perutnya. Barusan bunyi perutnya, ya? Sialan! Harus banget dia mempermalukan diri di depan Gibran? “Haha.” Gibran tertawa, ia melihat Dirana mendengus malu. “Kelaperan heh?” Dirana melengos. “Peduli apa lo?” “Lo mau makan?” tanya Gibran tiba-tiba. “Gue juga laper, tapi gue nggak nemu makanan apa-apa di kulkas.” Dirana diam. Gibran melanjutkan lagi.  “Mumpung gue lagi baik. Temenin gue cari makan.” Gibran hendak menarik tangan Dirana. Tapi gadis itu mundur menjauhi Gibran. “Tetep di situ. Jangan deket-deket!” “Yang mau deketin lo tuh siapa sih?” Gibran malah nyolot. Dia tersinggung karena Dirana yang bersikap seolah jijik dengan dirinya. “Kalau lo mau ikut gue, ayo. Gue nggak bakal ajak lo dua kali ya.” Dirana terdiam beberapa saat. Perutnya berbunyi lagi! Aish! Dasar perut sialan! Gibran jalan lebih dulu. Dirana ragu buat nyusul Gibran yang jalan gitu aja. Dia beneran ninggalin Dirana. Nggak coba bujukin dia dulu gitu? “Iya, iya. Gue ikut! Tungguin!” *** Di jam-jam seperti ini. Makanan yang paling mudah dijumpai itu ya, bakso. Hampir di setiap jalan pasti banyak tuh. Mau bakso urat, keju, bakso yang lagi musim-musimnya tuh... Bakso beranak? Nah, itu... yang di dalam bakso, ada baksonya lagi. Dirana menelan ludah melihat Gibran tampak asik menikmati bakso hangat di atas meja. Dia menolak untuk makan bakso! Dia tuh maunya makan ketoprak yang pedes. Tapi Gibran menolak mencarikannya dan malah membawanya ke depot bakso yang nggak jauh dari kompleks perumahan Gino. Dirana memberengut, ia gondok dan menolak bakso di depannya. Seolah nggak peduli sama wajah nelangsa Dirana, Gibran malah makan bakso punya Dirana. Slurrppp... Duh, kok kayaknya enak banget, ya? Mana Gibran lahap bener makannya. “Mau?” Gibran menyendokkan bakso berukuran kecil ke depan Dirana. “Enak lho, Di. Cobain deh.” Dirana menggeleng lesu. Apa cuma perasaannya aja kalau Gibran keliatan lembut sekarang? “Buka mulut lo deh. Coba dulu baksonya, enak nih.” Dirana menggeleng, didorongnya pelan tangan Gibran. “Gue maunya ketoprak!” Dirana merasakan pipinya basah. “Abis ini cari ketoprak, ya?” Wajah Dirana nelangsa. Dia sampe kedip-kedipin matanya supaya Gibran luluh lho. Kan katanya, mumpung Gibran lagi baik. “Nggak.” Gibran menyuapkan bakso terakhir ke dalam mulutnya. “Mau makan syukur, nggak mau ya udah, gue tinggal pulang!” Dalam hitungan ketiga, tangis Dirana pecah. Gibran melongo. Ini anak kenapa sih sebenernya? Nangis mulu kerjaannya. “Mas, istrinya lagi hamil mungkin,” kata wanita setengah baya berbadan tambun. “Udah, turutin aja. Daripada nanti anaknya ileran.” Sontak Dirana berhenti menangis. Gibran menelan ludahnya. Mereka saling pandang-pandangan. Wanita setengah baya pemilik depot bakso itu memandangi Dirana dengan seksama. Pandangannya tertuju ke d**a Dirana. “Kalau diliat dari dadanya sih, kayaknya iya.” Dirana menutup dadanya menggunakan kedua tangannya. “Apanya ya, Bu?” Gibran menelan ludahnya susah payah. “Badan orang yang lagi hamil tuh beda, Mas. Bentuk badan, sampe dadanya terkadang bisa berubah.” Kepala Dirana menunduk. Tangannya tanpa sengaja menyentuh perutnya. Hamil. Dia hamil?  To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD