Kedatangan Sosok Wanita Cantik

1378 Words
Mbok memijat kaki Fitri dengan penuh kelembutan. Mbok sudah bekerja hampir tujuh tahun di kediaman keluarga Sukmaya. Beliau adalah Mbok sekaligus orang tua bagi Fitri dan Fauzi. Sikapnya sungguh luar biasa, kebaikannya seperti orang tua sendiri, maka dari itu sepasang suami istri tersebut tak ingin Mbok resign dari pekerjaannya. Mengingat, Fitri seringkali merasa takut jika di rumah sendirian, dan Mbok adalah tameng utama di rumah jika Fauzi tak ada di rumah. Mereka masih diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing. Mbok masih dengan aktivitasnya memijat dan Fitri masih dengan pikirannya mengingat hal tadi, suara hembusan angin dari AC menghiasi kebisuan mereka. Mbok mengangkat kepalanya dan melihat majikannya itu diam tak bergeming dan pandangannya seakan kosong. "Nyonya, jangan melamun," ucap Mbok mengguncangkan tubuh Fitri. "Eh? Gak, Mbok. Fitri hanya sedang memikirkan kejadian tadi." "Jangan dipikirkan, Nyonya. Bukankah kejadian yang seperti tadi sudah biasa? Dan Nyonya seharusnya sudah terbiasa, jangan takut karena ada Tuan, Aden dan Mbok yang menjaga." "Mbok, kejadiannya bukan hanya bayangan di cermin." "Maksud, Nyonya?" "Sebelum Tuan memanggil Mbok, ada kejadian sekelebat bayangan dan itu terlihat olehku dan Rey." "Dimana, Nyonya?" "Di balik jendela belakang tv, Mbok." "Sebenarnya siapa ya mereka, Nyonya." "Aku gak paham, Mbok. Sungguh, aku selalu merasa takut setiap kali sedang hamil. Salah satunya kejadian seperti ini," keluhnya. "Nyonya harus sabar, ini adalah sebuah anugrah yang Allah kasih untuk Nyonya." "Anugrah, atau derita, Mbok? Aku sejujurnya tak ingin jika anak-anakku mengalami hal yang sama sepertiku dan Ayahnya. Aku takut, Mbok." "Jangan pernah bicara sebuah derita, Nyonya. Tidak semua orang mempunyai anugrah seperti ini," jelas Mbok menenangkan. "Tetapi kenapa harus aku dan suamiku, Mbok? Sekarang menurun ke Rey dan aku takut nantinya menurun juga ke bayi kecil yang akan lahir ini. Terlebih lagi sekarang aku semakin sering merasakan ada tangan lain yang mengusap perut buncitku ini." "Maksud Nyonya?" "Mbok, setiap malam setiap aku baru saja bisa tertidur lelap, tiba-tiba tangan mungil di dalam perutku ini seperti sedang menautkan satu sama lainnya dengan tangan mungil lainnya di luar perutku." "Loh? Bagaimana bisa, Nyonya? Apakah sosok itu akan menjadi teman nona kecil?" "Ya Allah, Mbok. Jangan sampai deh, sungguh aku takut jika anak-anakku berteman dengan makhluk tak kasat mata." "Nyonya, tidak semua makhluk tak kasat mata itu jahat. Ada juga di antaranya yang menjadi perantara Gusti Allah untuk mengingatkan dan melindungi setiap kali manusia hampir cilaka namun ada juga yang justru menyesatkan. Namun, Mbok yakin teman Aden dan Nona kecil kelak adalah teman yang baik. Mereka akan menjaga satu sama lainnya terlebih lagi Aden yang terlihat sangat menyayangi dan mencintai Nona kecil." "Semoga saja, Mbok. Aku hanya takut nantinya kelak kedua anakku mengalami sesuatu hal yang menyakitkan seperti yang aku rasakan dulu. Dikucilkan, tak ada teman dan juga banyak yang membenci karena derita ini." "Nyonya, tenang ya. Semua pasti akan baik-baik saja, Aden Rey dan Nona kecil pasti nanti bisa menghadapi semuanya dengan tenang." Mereka sedang asik berbincang dan tiba-tiba pintu terbuka, ternyata itu Fauzi yang datang setelah menidurkan Rey. Mbok pamit keluar dan mengingatkan Fitri untuk tetap tenang agar tidak merasakan kram perut lagi. Sebelum menutup pintu, Mbok melihat Tuannya mencium kening istrinya itu dan membuat wanita paruh baya tersebut tersenyum penuh bahagia. Nyonya, Tuan, bahagia selalu seperti ini. Mbok yakin, badai pasti berlalu dan kalian bisa melewatinya. Tenanglah, semua akan baik-baik saja, Aden Rey dan Nona kecil yang akan dilahirkan nantinya pasti akan bisa menghadapi setiap masalah yang datang menghantam mereka. Keadaan akan takluk pada mereka dan mereka akan dengan pandai memanfaatkan anugrah yang diberikan oleh Gusti Allah dengan sebaik mungkin, ucap Mbok dalam hati. *** "Ibun, sudah baikan?" tanya Ayah Fauzi yang duduk di tepi ranjang sebelah Fitri. "Sudah, Ayah. Rey sudah terlelap?" "Seperti biasanya, suamimu ini dengan sangat mudah membuat Rey tertidur dengan lelap, haha," ucapnya bangga. "Jangan terlalu sering menggunakan kekuatanmu itu, aku khawatir dengan keadaan Rey nantinya." "Tenang saja istriku sayang, tak akan ada efek samping dari perbuatanku ini. Semua ini kulakukan semata-mata agar ia tenang dan bisa tertidur dengan lelap tanpa gangguan apapun yang datang menghampirinya. Bukankah kita sudah sering membahas ini? Dan bukankah kau juga selalu terima dengan perbuatanku selama itu untuk kebaikan? Nah, yang aku lakukan ini untuk kebaikan anak kita, Sayang. Sungguh, aku tak ingin Rey setiap malamnya terbangun karena mendapat gangguan dari mereka semua." "Ya ya ya, aku selalu setuju dengan perbuatanmu selama itu baik." "Begitu dong, Sayang," ucapnya lembut mengecup punggung tangan istrinya. "Ibun, tadi Mbok melihat apa?" "Menurut penuturan, Mbok. Beliau melihat ada sosok tinggi besar memakai jubah dan sosok itu terpantul dari cermin, Ayah." "Sepertinya mereka semua lebih sering datang sekarang di kala kandunganmu sudah semakin besar. Kamu tenang ya, Sayang. Semua akan baik-baik saja, untung tadi Mbok berhasil dicegah untuk tetap diam tak berbicara, aku tak tau apa yang akan terjadi jika Mbok bicara dan Rey masih berada di situ. Mungkin dia akan mengamuk seperti yang sudah-sudah." "Sayang, aku bingung sekali deh ya, rasanya usia Rey ini masih lima tahun tetapi emosinya sungguh menggebu-gebu setiap kali merasakan ada makhluk tak kasat mata. Aku curiga--" "Curiga kenapa, Ayah?" "Aku curiga jika Rey sebelumnya sudah pernah merasakan guncangan luar biasa dari mereka sehingga membuatnya memiliki emosi yang sangat menggebu." "Bagaimana bisa? Dan kapan coba Rey merasakan guncangan dari mereka?" "Aku tak tau, ini hanya sedikit dari kecurigaanku saja, Sayang. Udah ah, jam sudah menunjukan hampir larut malam, ayo kita tidur." Fitri menganggukkan kepalanya patuh, Fauzi beranjak dan berpindah posisi ke samping istrinya. Mereka mulai membaringkan tubuh di atas ranjang, Fauzi memejamkan matanya dan mencoba untuk tertidur. Fitri masih diam dengan pandangan menatap atap langit, ia masih memikirkan hal-hal yang menurutnya sungguh sangat tidak masuk akan jika dipikirkan oleh pikiran manusia normal. Tetapi, jika di pikirkan oleh pikiran manusia yang memiliki kelebihan mungkin mereka menganggap biasa saja. Fitri menghembuskan nafasnya perlahan, ia mengelus perut buncitnya dan merasakan balasan dari anak yang di dalam perutnya. Sekarang, setiap malam ia merasa susah sekali untuk terlelap tidur dan selalu bisa mulai tertidur saat hampir dini hari. Semenjak kehamilannya semakin besar, semenjak itu pula ia merasakan susah tidur. Ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tertidur, saat sudah terlelap ia terkejut karena merasakan perutnya dielus dan dapat dirasakan tangan yang mengelus perutnya sangatlah lembut. "Astaghfirullah …," ucapnya lirih. Ia membuka matanya dan terkejut melihat sosok cantik di hadapannya dengan pakaian lengkap jaman dahulu dan selendang hijau yang menambah menghiasi kecantikannya. Fitri ingin memanggil suaminya, namun rasanya lidahnya itu sangat kelu. Matanya terbelalak ketika melihat sosok wanita itu tersenyum dengan taring yang mungkin menurut orang lain sangat mengerikan. "Tenang, aku tidak jahat," ucapnya lirih, sangat lirih bahkan mungkin saat itu hanya Fitri yang mendengar suaranya, ia memberi isyarat agar wanita hamil itu tenang dan bisa menarik nafas lagi. "Ka-kamu si-siapa?" tanyanya gugup dan sangat hati-hati. "Perkenalkan, aku Dewi Anjani dan akan menjadi teman dari bayi mungil yang akan kau lahirkan. Sungguh, aku sudah tak sabar menunggunya lahir dan kami main bersama," balasnya dengan wajah ceria dan penuh bahagia. Tiba-tiba Dewi Anjani tubuhnya mengecil, seperti menyesuaikan dirinya agar bisa menjadi teman dari anak Fitri. "Tapi, kenapa harus anakku?" "Karena kalian memiliki anugrah yang sama," balasnya tersenyum manis, sosok tersebut kali ini seperti anak usia lima tahun, sama seperti Rey. "Ini bukan anugrah tapi ini adalah derita." "Putri … jangan bicara seperti itu, Gusti Allah tak pernah suka jika ada umatnya yang beranggapan bahwa anugrah yang diberikan adalah sebuah derita. Semua itu anugrah dan kalian bisa memanfaatkan anugrah tersebut dengan sebaik mungkin." "Jangan selalu mengeluh dan beranggapan semua ini derita, bersyukurlah karena tidak semua orang bisa mendapatkan anugrah luar biasa seperti ini. Kelak, anak perempuanmu lebih luar biasa dari kedua orang tuanya dan juga Abangnya. Kau harus ekstra dalam menjaganya jika tak ingin anakmu menjadi tumbal banyak orang." "Maksudmu?" tanyanya dengan tatapan bingung. Fitri merasa bingung dengan ucapan sosok tersebut. Sosok tersebut maju dan duduk di samping Fitri lalu mendekatkan diri membisikan sesuatu padanya. "Banyak yang menantikan anakmu untuk menjadikannya tumbal karena anakmu akan membuat mereka menjadi sangat luar biasa. Aura anakmu sungguh membuat mereka ingin dengan cepat menghabisi nyawa bayi kecil itu." Fitri menegang, tubuhnya sekarang kaku sesaat setelah mendengar ucapan Dewi Anjani. Matanya terbelalak dan rasanya sulit sekali meneguk slavinanya. "Kenapa harus anakku?" ucapnya perlahan namun tak ada jawaban dari sosok tersebut dan ia pergi meninggalkan Fitri dengan memikirkan segala hal-hal yang belum tentu terjadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD