Kesepakatan Dengan Ayah

1264 Words
Matahari mulai menutup diri kembali dan berganti dengan senja. Sang senja bersiap untuk menghiasi malam dengan taburan bintang yang membuatnya semakin menjadi indah. Rembulan yang bulat sempurna semakin membuatnya cantik. Semua orang siap menyambut malam dengan harapan malam ini lebih baik dari malam sebelumnya. Keluarga Sukmaya sedang bersiap untuk makan malam. Semua anggota keluarga sudah turun dari kamarnya dan melangkahkan kakinya menuju meja makan. Tata bergelanyut manja di lengan ayahnya, Fitri hanya menggelengkan kepala saja melihat anak bungsunya semanja itu. "Yah … tahu gak--" "Dik, lagi makan!" tegur abangnya. "Ih, Abang! Gak asik banget! Adik mau cerita!" "Nanti! Makan dulu, baru boleh cerita saat kita semua kumpul di ruang keluarga!" "Kelamaan, Abaang!" "Gak ada bantahan, Aletta Putri Sukmaya!" "Menyebalkan Reynaldi Putra Sukmaya!" "Sudah berdebatnya? Bisa dilanjutkan makannya Aden dan Putri?" "Iya, Ayah. Maaf," jawabnya berbarengan. "Lanjutkan makannya!" perintah Ibun. Sebuah perintah yang keluar dari mulut Ibunnya harus dilakukan tanpa bantahan dan lain sebagainya. Mereka melanjutkan makan malam dalam diam, hanya ada suara denting sendok dan garpu yang terdengar nyaring. Setelah makan, seperti biasa mereka berkumpul di ruang keluarga untuk menceritakan semua kegiatan yang dilakukannya hari itu. Di mulai dari ayahnya terlebih dahulu yang menceritakan bahwa banyak sekali kegiatan di luar kantor, bertemu dengan berbagai macam sikap orang luar dan masih banyak lainnya. Ibun tak banyak bicara, sebab memang hari-harinya lebih banyak di rumah. Mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan, selebihnya hanya iseng bermain di salah satu platform menulis. Lalu, Abang Rey yang menceritakan bahwa banyak sekali makhluk tak kasat mata yang makin banyak mendekat padanya. Ada saja makhluk tak kasat mata yang mendekat untuk ikut dan pulang ke rumah. Namun, dengan tegas Abang Rey menolak dan mengusirnya, jika tak menurut ya berakhir menjadi sebuah abu. Selanjutnya, Tata yang mulai bercerita, ia mulai menceritakan semuanya dari awal. Dari awal bertemu dengan Mawar di salah satu taman PAUD, lalu tiba-tiba Mawar selalu mengikutinya entah kemana pun langkah kaki Tata berpijak. Beberapa kali ingin mendekat namun Tata sendiri menolaknya hingga entah keberanian darimana Mawar berani mendekat dan meminta tolong. Tata menolak untuk menolong karena belum tahu duduk permasalahannya seperti apa dan apa permintaan tolongnya. Ia dengan antusias menceritakan semua pada ayahnya, bahkan menceritakan dengan detail apa yang dilihat olehnya di dalam dimensi yang berbeda pada masa lalu Mawar. Beberapa kali ayahnya menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ada rasa sesak yang menjalar di dalam hatinya saat mendengar penderitaan apa yang dirasakan oleh Mawar. Sedih, kecewa, marah, kesal, emosi, semua rasa bercampur jadi satu di dalam benak Fauzi. Ia tak menyangka ada orang tua yang bisa berbuat k**i seperti itu. Bahkan, sepertinya tak layak jika di sebut orang tua. "Lalu, apa yang akan Adik lakukan?" tanyanya sesaat setelah mendengarkan cerita anaknya tersebut. "Adik akan menolongnya, Ayah." "Itu artinya, Adik tahu apa yang harus dilakukan, bukan? Adik tahu konsekuensinya, bukan? Ayah tidak mau ya, nantinya Adik akan mengeluh pada Ayah dan Ibun atau sampai ngamuk karena merasa sakit juga lelah saat berpindah posisi." "Adik masih ingat bukan, dulu? Saat Nyai mencoba ilmu Adik dengan cara masuk ke dalam tubuh Adik? Setelahnya, Adik ngamuk dan marah-marah karena merasa sakit, lelah dan seperti tak punya tulang." "Iya, Ayah. Adik tahu dan gak pa-pa tolongin Mawar. Kasihan, Ayah. Mawar cuman mau dipeluk sama maminya. Kasihan, 'kan?" "Mawar gak kayak adik yang selalu di peluk Ibun, kasihan, Ayah," ucapnya lirih. "Baik, jika itu kemauan, Adik. Ayah senang sekali jika Adik mempunyai jiwa menolong yang sangat luar biasa. Tapi, Ayah minta setelahnya jangan ada keluhan. Janji?" Tata bingung harus menjawab apa, tatapannya beralih pada Ibun dan Abangnya, meminta persetujuan apa yang harus di jawab olehnya. Abangnya mengangguk dan Ibunnya hanya tersenyum, membuat Tata semakin bingung. Itu artinya, Ibunnya berpendapat yang sama seperti ayahnya. Mendukung, sih, tapi tak ingin mendengar keluhan, berbeda dengan abangnya yang mendukung dan juga menerima jika adiknya itu mengeluh. "Janji, Ayah." "Alhamdulillah," ucao syukur Ayah dan Ibunnya. "Itu artiny, kita gak akan dengar rengekan dari adik, Bun," kekehnya. "Iya, Yah. Sudah mulai belajar tanggung jawab sepertinya, hehe." Yang dibicarakan justru hanya diam, memutar bola matanya malas dan mencebik karena merasa ayah dan ibunnya sekongkol. "Tenang, Dik. Ada Abang," ucap Rey menenangkan. "Makasih, Bang. Abang terbaik." "Ya … ya … Abangnya memang sangat luar biasa," ejek Ayahnya. "Iri bilang, Bos," sindir Tata membuat yang lain justru terkekeh karena ulahnya. *** Kedua anaknya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing, begitu juga dengan sepasang suami istri tersebut. Mereka masuk ke dalam kamar dan langsung naik ke atas ranjang, menatap langit kamar berdua, mulai menerawang jauh. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini, yang jelas keduanya hanya diam menatap langit kamar. "Apa sudah waktunya mereka membantu yang tak kasat mata ya?" tanya Fitri. Entah itu sebuah pertanyaan atau gumaman. "Mungkin, Bun." "Apa secepat ini, Yah?" "Jika memang seharusnya seperti itu bagaimana lagi?" "Tapi, Yah … Tata saja masih berusia lima tahun, masih duduk di bangku PAUD, sedangkan Rey masih berusia sepuluh tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar. Apa mungkin, mereka akan menyelesaikan sebuah masalah orang lain?" "Tenang saja. Mereka itu menyelesaikan masalah yang seumurannya, bukan masalah orang dewasa." "Iya, sih. Tapi--" "Sudah. Jangan terlalu banyak tapi dan jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang belum terjadi nanti kamu sakit, Bun." "Iya, Yah." "Jadi, apakah besok kamu akan ikut membantu Tata?" "Pasti dong. Aku takut terjadi sesuatu jika aku tak ikut turun tangan. Percayalah, Yah, tidak semua orang akan percaya dengan apa yang kita katakan dan ungkapkan terlebih lagi yang bicara justru anak kecil," keluhnya. "Iya, kamu benar, Bun. Apalagi, yang kita bicarakan ini justru tentang makhluk tak kasat mata." "Nah itu sebabnya, Ibun khawatir nanti maminya Mawar justru memandang sebelah mata pada Tata dan ujungnya akan tidak baik bagi anak kita. Mental mereka bukankah belum terlalu kuat?" "Tapi, setidaknya mental mereka sudah terbentuk lebih baik dari pada dirimu, Bun, hehe," kekehnya mengejek istri tercintanya. "Ayah! Jangan buat Ibun marah, nanti Abang gak terima," ucapnya mengingatkan. "Haha, iya … iya … kamu memang luar biasa, punya tempat paling istimewa di dalam hati dan kehidupan kedua anak kita." "Kamu juga, Sayang." Mereka berpelukan dan mulai bersiap untuk beristirahat menyambut hari esok. *** Keesokan harinya, Tata menepati janjinya pada Mawar. Ibun juga ikut serta di dalamnya, khawatir jika ada kesalah pahaman nantinya jadi meluangkan waktu untuk membantu kawan baru anaknya itu. Tadi pagi, yang biasanya Tata berangkat dengan bus, kali ini sengaja Ibun mengantar Tata sendiri dengan harapan akan bertemu dengan maminya Mawar dan Melati namun gagal. Melati justru berangkat diantar oleh supirnya. Terlihat sekali dari raut wajah Mawar, ada kekecewaan dari sorot matanya dan ada kerinduan mendalam juga dari sorot matanya. Harapan mereka hanya satu, saat nanti pulang sekolah. "Sabar ya, kita coba lagi nanti saat pulang sekolah. Mungkin mami lagi sibuk." Hibur Fitri agar gadis kecil di sampingnya itu tidak lagi bersedih. "Kenapa mami gak antar Melati ya, Ibun?" tanyanya bingung. "Mungkin sibuk, Sayang. Sabar ya." "Iya, Ibun." "Tata, masuk, Nak. Bentar lagi bel, Ibun pulang dulu kalau begitu ya, nanti pulangnya Ibun jemput lagi, Sayang." "Iya, Ibun. Hati-hati di jalan, i love you." "Love you too, Sayang." "Dan kamu, Mawar, jaga diri ya, Nak. Jangan nakal, lebih baik kamu duduk diam di dalam kelas dan memperhatikan guru sekalian belajar." "Iya, Ibun." "Ya sudah, dadah. Ibun pulang." Keduanya melambaikan tangan dan Fitri beranjak pergi dari sekolah. Menjelang siang hari, jadwalnya pulang sekolah, Fitri lebih dulu sampai sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sedang dicari olehnya. Namun belum juga terlihat. Apa mungkin belum datang, ya? Tapi jam pulang sekolah segera berakhir, apa mungkin tidak jemput? Sebenarnya ada apa? Sakitkah? Jika tak bertemu secepatnya, kasihan anakku selalu dikejar janji oleh Mawar, gumamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD