Bayangan Apa Itu

1212 Words
Setelah hari dimana ada kedatangan Dewi Anjani, hari-hari yang dilalui oleh Fitri terasa tak ada kedamaian. Selalu saja ada kejadian-kejadian yang sangat tidak masuk akal di setiap harinya. Apalagi kejadian tidak masuk akal tersebut sering kali datang dan menghampiri Rey. Fitri hampir stress dibuatnya karena semua kejadian yang mungkin menurut manusia normal itu sangat tidak masuk akal. Jelas, sangat tidak masuk akal salah satu di antaranya adalah saat Fitri masuk ke dalam kamar Rey, ia melihat anak sulungnya itu dalam keadaan tidur tapi sudah melayang di udara. Aneh bukan? Dan lagi setiap dirinya tidur, selalu ada tangan yang dengan lembut mengelus perut buncitnya yang semakin hari semakin buncit saja. Bukan hanya itu saja, tapi seringkali elusan tangan tersebut mendapatkan balasan dari sang janin di dalam kandungan. Kedua tangan tersebut seperti bertautan dan saling menguatkan, itu berhasil membuat Fitri setiap malam sering terjaga. Keadaannya dan kejadian yang sedang tidak baik-baik saja seperti itu membuatnya sempat drop dan bedrest karena keterkejutan yang luar biasa. Terkadang, tak luput juga Fauzi selalu meninggalkan pekerjaan untuk menjaga istri dan anaknya. Untung saja itu perusahaannya sendiri, kalau tidak? Heum, sudah tidak bisa dibayangkan lagi, mungkin sudah dipecat. Fitri beringsut turun dari kasur dan berniat untuk ke dapur mengambil air minum namun lagi-lagi ia dikejutkan oleh sesuatu yang berhasil membuat sesak di d**a. Ia reflek berteriak dan Mbok terpogoh-pogoh menghampiri sang Nyonya dengan penuh kebingungan. "Nyonya, astaghfirullah, ada apa?" tanyanya saat melihat Fitri pucat pasi dan berpegangan erat pada pintu dengan gemetar. Hening. Fitri masih shock dan hanya diam tak menjawab pertanyaan Mbok. Tanpa pikir panjang, beliau langsung memapah majikan perempuannya itu untuk masuk kembali ke dalam kamar dan membantunya duduk di tepi bibir ranjang. Beliau langsung keluar kembali menuju dapur dan mengambilkan minum untuk Fitri. Saat ini, Fitri masih duduk termenung menatap ke depan dan seringkali waspada menatap ke sekeliling kamarnya. Ia merasa ada yang memperhatikannya tapi tak menemukan apapun di dalam kamar tersebut. Matanya jelalatan memastikan bahwa yang memperhatikannya itu tak berbahaya. Mbok masuk kembali ke dalam kamar dan memberikan minum, Fitri langsung menghabiskannya dan Mbok mengelus punggungnya seraya menenangkan. "Sudah tenang, Nyonya?" "Iya, Mbok." "Ada apa? Kenapa tadi Nyonya terlihat sangat takut." "Apakah aku begitu terlihat ketakutan, Mbok?" Mbok hanya mengangguk. Fitri menarik nafas panjang dan menghembuskan nafasnya perlahan. "Maaf, Mbok. Aku hanya merasa terkejut saja tadi. Dan rasa takut semakin kesini semakin dalam saja. Aku merasa selalu saja banyak pasang mata yang sedang mengintai dan seakan ingin menerkam. Entah, ini hanya perasaanku saja atau memang mereka benar-benar ada mengintai dan ingin menerkam." "Nyonya, jangan terlalu banyak pikiran. Kasihan Non yang di dalam kandungan, Nyonya. Apalagi, sekarang sudah semakin mendekati persalinan, Nyonya harus bisa tenang menghadapi mereka. Bukankah Nyonya sudah terbiasa?" "Mbok, ini berbeda. Tidak seperti kehamilan Rey. Kehamilan sekarang seperti memang banyak yang ingin menghabisi." "Astaghfirullah, semoga kita semua dijauhkan dari segala macam bahaya, Nyonya." "Aamiin, Mbok. Makasih ya, selalu ada untuk Fitri, Mbok." "Nyonya, Mbok akan selalu ada buat kalian walaupun wanita tua ini seringkali juga takut jika berhadapan dengan mereka." "Iya, Mbok. Kita saling menguatkan saja." "Nyonya, mohon maaf, memang tadi ada apa?" "Tadi, saat Fitri akan ke dapur, tiba-tiba ada bayangan besar yang melesat begitu saja masuk ke dalam kamar ini," ucapnya terjeda, Mbok terlihat waspada dan memperhatikan sekeliling kamar. "Aman, Mbok. Mereka tidak akan berani mendekat," bisiknya. Mbok mengangguk. "Fitri kaget dan ya seperti yang Mbok lihat tadi hampir saja jatuh tapi Alhamdulillah Gusti Allah masih menolong." "Mbok, Rey!" serunya tiba-tiba membuat Mbok terkejut. Mbok langsung beringsut turun dan berlari kembali ke kamar Tuan Mudanya itu. Dengan tangan yang gemetar, Mbok membuka pintu kamar dan betapa terkejutnya beliau melihat Rey sudah melayang di udara dalam keadaan terlelap. Mbok langsung naik ke atas ranjang, berusaha menggapai Rey yang semakin tinggi saja mengudara. Hap. Mbok berhasil mencapainya dan menggendong Rey langsung membawanya keluar kamar lalu membawanya ke kamar Fitri. "Nyonya!" teriaknya saat sebentar lagi masuk ke dalam kamar. "Mbok, ada apa?" tanya Fitri bingung melihat Mbok mandi peluh dan seperti habis lari marathon. "Nyo-Nyonya, A-aden ta-tadi me-melayang la-lagi," jawabnya terbata dengan nafas tersenggal-senggal. "Astaghfirullah," balas Fitri menahan diri agar tidak menangis. "Sebenarnya ada apa, sih, Mbok? Kenapa tengah hari bolong seperti ini mereka datang? Apa yang dicari? Dan kenapa datang di saat ayah tidak ada di rumah? Ya Allah …," lanjutnya lirih, mengusap kasar wajahnya frustasi. "Nyonya, tenang. Aden baik-baik saja, kok. Nyonya jangan banyak pikiran. Ingat, ada Nona kecil di perut, Nyonya." "Bukan maksud ingin memikirkan semuanya, Mbok. Fitri hanya tidak habis pikir saja, Mbok. Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa hidup Fitri justru semakin merasa tidak leluasa? Dan lagi, apa sekarang ini? Eksistensi mereka sangat mengerikan, jujur Fitri sangat risi dan takut. Mereka semakin hari semakin berani menunjukkan diri dengan keberadaannya seakan-akan mereka semua itu memang nyata adanya dan ingin dianggap. Siapa yang tak kesal coba, Mbok!" gerutunya benar-benar merasa frustasi. "Nyonya, tolong tenang. Jangan seperti ini, ingat pesan Tuan. Nyonya harus tetap tenang apapun yang terjadi. Kasihan adik bayinya kalau Ibunnya stress," ucap Mbok menenangkan. "Fitri gak kuat, Mbok! Capek! Lelah, Mbok! Kapan ini berakhir!" isaknya. Pertahanannya bobol, ia tak sanggup lagi menahan beban yang dirasa. Sakit, sedih, takut, dan selalu was-was dalam setiap keadaan apapun. Tangisnya pecah, bahunya bergetar, Mbok mencoba terus untuk menenangkan Nyonyanya yang sedang rapuh tersebut. Fitri menangis di pelukan Mbok yang sudah berkaca-kaca juga namun tetap menahan agar tidak ikut menangis. "Ibun …," panggil Rey lirih. Seketika, tangis Fitri berhenti, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya lalu mengusap tangisannya, ia tak ingin anak lelakinya itu mengetahui bahwa dirinya habis menangis. "Sayang, maaf, terbangun karena suara Ibun, ya?" "Kenapa Ibun menangis?" "Hah? Ibun gak menangis, Nak," jawabnya berbohong. "Jangan bohongi Abang, Ibun!" serunya tak terima. "Mbok, siapa yang nakalin Ibun, Abang?" "Hm … anu--" "Apa, Mbok? Siapa?" "Gak ada, Aden. Gak ada yang nakal, siapa coba yang berani nakalin, Ibun? Padahal Ibun punya Aden dan Ayah, iya 'kan?" "Terus kenapa?" "Ibun menangis bahagia karena memiliki Aden dan juga adik bayi di dalam perut, sepertinya adik bayi sudah tidak sabar ingin bermain dengan Abang Rey," balasnya menenangkan. "Iya 'kan, Ibun?" "Iya, Nak. Benar kata, Mbok." Fitri menahan gejolak hati agar tidak menangis kembali. "Waaahh, apa adik bayi nendang lagi, Mbok?" tanyanya penuh antusias dengan mata berbinar. Mbok mengangguk dan tersenyum lembut. Rey dengan semangat bangkit dari tidurnya dan duduk di samping Fitri, lalu mengecup sekilas pipi sang Ibun dan kecupannya berpindah pada perut buncit itu. Ia mengelus lembut namun tiba-tiba Fitri pernah merasakan elusan lembut ini, elusan ini sama seperti beberapa hari ini yang selalu hadir. Ia terkejut dengan elusan tangan yang diciptakan oleh Rey. Fitri menatap lekat anak sulungnya itu, dipandang wajah tampan anaknya itu. Ia mencari sesuatu yang aneh dari anaknya, namun tak pernah ada sedikitpun keanehan yang ditemukan. Fitri selalu berharap menemukan sebuah keanehan agar ia bisa menunjukan pada suaminya namun lagi-lagi ia tak bisa menemukannya. "Adik, jangan nakal ya, sayang sama Ibun, ya," ucap Rey yang mengarah ke perut. "Adik bayi, sabar di dalam. Sebentar lagi kita ketemu, Abang janji akan jaga Adik dan Ibun. Abang cinta sama Adik Bayi." Rey mengecup mesra perut Ibunnya dan menyandarkan kepalanya pada kaki Ibun. Fitri melihat ke arah Mbok, wanita paruh baya tersebut hanya tersenyum saja. Lalu pamit ke dapur untuk membuat makan siang. Fitri mempersilahkan Mbok lalu mengelus kepala Rey dengan penuh cinta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD