Meysa Sahabat Kecil

1840 Words
Saat Fitri menghenyakan tubuhnya di atas jok mobil, semua mata memandang ke arahnya. Tatapan mereka seakan ingin mengetahui apa yang dibicarakan olehnya dan Maminya Mawar. Fitri merasa kikuk di tatap seperti oleh mereka. "Kenapa pada natap seperti itu, sih!" "Kamu baik-baik saja, Bun?" "Baik, Ay. Kenapa memang?" "Oh gak pa-pa." "Bisa kita jalan sekarang?" "Oke deh." Keluarga Sukmaya melanjutkan kembali perjalanan mereka menuju Bandung. Tak banyak obrolan yang mengiringi perjalanan mereka, semuanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya Tata yang sesekali membuka percakapan. Setelah perjalanan panjang, akhirnya mereka sampai di rumah Omahnya. Kedua orang tua Fitri menyambutnya dengan baik dan langsung mempersilahkan keluarga anaknya masuk ke dalam rumah. Berkunjung dan liburan ke rumah Omah adalah hal yang sering mereka lakukan. Fitri dan suaminya segera masuk ke dalam kamar untuk menyimpan tas mereka, rencananya long weekend ini mereka akan habiskan dengan liburan di Bandung. "Bun," panggil suaminya saat melihat istrinya masih sibuk membereskan tas. "Iya, Ay. Kenapa?" "Tadi, ada obrolan apa dengan Maminya Mawar?" "Oh, ya seperti biasa saja. Minta izin main ke rumah untuk bisa berkomunikasi dengan anaknya." "Lalu tanggapanmu, Bun?" Fitri menghelas nafas. "Ayah tahu sendiri bukan? Aku tak pernah melarang kedua anak kita untuk membantu seseorang, tapi aku minta waktu untuk mereka bisa mengolah rasa dan mental. Sudah sering aku bilang, bahwa aku tak ingin mereka bernasib sama sepertiku dulu," keluhnya untuk yang kesekian kalinya. "Iya paham, Sayang. Makanya tadi aku sangat khawatir padamu, takut marah besar sama wanita itu." "Tenang saja, aku masih bisa menahan diri kok, Ay." "Itu yang selalu kuharapkan setiap waktu, Sayang." "Bantu aku terus, Ay." "Pasti. Ya sudah, aku keluar dulu ya." "Iya, Ay." Tak lama dari Fauzi keluar, pintu kamar diketuk kembali. Fitri pikir itu suaminya yang balik lagi ke kamar. 'Apaan, sih, Ayah tuh, masuk kamar saja segala ketuk pintu. Heran!' gerutunya beringsut turun dari ranjang dan melangkah gontai membuka pintu. Kosong. Fitri menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak ada orang satupun. Sepi sekali di sekitar kamarnya. Aneh, tidak biasanya sepi, pada kemana semua orangnya? Fitri kembali menutup pintu dan berpikir mungkin itu anaknya yang lewat dan usil mengetuk pintu. "Abang!" Hening. Tak ada sahutan sama sekali, jangankan sahutan, suara Fitri memanggil anaknya saja menggema. "Adik!" Hening. Benar-benar tak ada yang menjawab panggilannya. "Aneh banget, sih! Siapa yang datang coba! Heran!" gerutunya membalikkan badan dan menutup pintu kembali lalu berjalan ke ranjang. Baru juga tiga langkah, pintu sudah kembali di ketuk. Bergegas kembali menuju pintu dan membukanya. Tapi lagi-lagi, nihil! Gak ada orang sama sekali. Ia mulai menyadari sepertinya sedang di usili oleh sesuatu. Mulai bersikap masa bodoh. Kembali menutup pintu dengan sedikit kencang, seakan memberitahu bahwa dirinya tak suka dipermainkan. Melangkah kembali mendekati ranjang dan lagi-lagi pintu di ketuk. Fitri membiarkan saja pintu kamar itu di ketuk. Kesal rasanya dipermainkan! "Sayang, tidur kah?" tanya seseorang dari balik pintu. "Sayang, ini Mami." "Iya, Mi. Sebentar!" teriaknya, lalu berjalan gontai menuju pintu. "Kok, lama?" "Kesal!" "Loh kenapa?" "Di dalam aja deh ngobrolnya." "Jadi, kenapa?" tanya Mami lembut saat mendaratkan b****g di atas ranjang. "Dua kali aku di usilin!" "Sama siapa?" "Mana kutahu, Mi! Pintu kamar di ketuk tapi gak ada orang! Heran! Kenapa juga, sih, mereka masih ganggu? Kayak aku orang baru disini, saja!" "Mungkin itu sahabatmu, kalian 'kan jarang ketemu dan lagi kamu tahu sendiri dia gak bisa keluar dari rumah ini!" "Ah, iya, aku kok gak kepikiran sama dia, ya." "Ya sudah, nanti juga dia muncul dan menemui kamu, Kak." "Iya, Mami. Eh ngomong-ngomong ada apa, Mi?" "Mami, mau tanya, boleh?" "Iya, boleh, Mi. Tanya apa?" "Apa kamu melarang anak-anakmu untuk membantu temannya?" "Pasti anak-anak ngadu!" omelnya. "Tidak, Sayang. Mereka hanya cerita, katanya Tata mau bantu temannya tapi tiba-tiba kamu justru bersikap berlebihan. Apakah kamu masih belum bisa menerima semuanya dengan ikhlas, Kak?" Fitri menunduk, ia hanya diam menatap lurus kedepan. Tak dapat dipungkiri, ucapan maminya itu benar adanya. "Kak, sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini? Jangan terus menerus menyiksa dirimu, Kak. Apa kamu gak kasihan sama hati dan jiwa kamu yang terus kamu tahan. Kamu membuat hati dan jiwamu seperti berada dalam tahanan, Kak." "Kamu punya anak perempuan! Harus ekstra menjaga dan mengolah mentalnya. Kamu tidak mau bukan hal yang lalu terulang padanya?" "Itu yang membuat kakak tak ingin mereka bertindak terlalu jauh, Mi." "Kakak takut, mereka justru down seperti aku dulu." "Nak, mentalmu dulu tak kuat itu karena kesalahan kami. Kami yang tidak tahu harus berbuat apa untuk memperlakukanmu sebaik mungkin. Mami yang terlalu kaget karena mendapatkan anak yang sangat istimewa dan Papi yang selalu menganggap bahwa kamu baik-baik saja mental dan jiwanya. Tapi, ternyata semua berbanding terbalik dengan kenyataannya." "Jangan hukum dirimu dan anak-anakmu karena kesalahan kami di masa lalu, Nak." "Mi, aku bukan menghukum mereka, aku hanya menjaganya." "Menjaga dalam hal apa? Membatasi mereka berteman? Membatasi mereka membantu teman yang meminta tolong? Membatasi mereka agar tidak ada komunikasi dengan teman pendampingnya? Sayang, tolong, ubah cara berpikirmu! Itu akan selalu menyakitkanmu dan juga memberatkanmu! Lepaskan! Jangan tahan mereka seperti ini, kasihan, Nak! Berkacalah pada dirimu sendiri saat dahulu." "Mi, mungkin untuk Rey aku bisa melepasnya. Tapi, untuk Tata aku tak sanggup," lirihnya. "Kenapa? Apa bedanya, Nak?" "Sungguh, sangat beda jauh, Mi!" "Jelaskan pada Mami!" "Tata, hampir sama seperti aku. Tak ada satupun yang dibuang. Semuanya sama, kejadiannya sama, keadaannya sama dan lainnya sama." "Maksudmu?" "Sejak masih di dalam kandungan, sudah banyak yang ingin mengambilnya, Mi! Mami juga merasakan apa yang aku rasakan dulu, 'kan? Mami ketakutan setiap waktu, setiap saat, sama aku juga, Mi! Semua yang Mami ceritakan saat mengandung aku, itu aku rasakan juga saat mengandung Tata, Mi!" "Aku rasakan semuanya! Ketakutannya! Kekhawatirannya! Gak enak tidur dan masih banyak lagi! Aku takut, Mi! Aku takuuutt!" teriaknya histeris membuat Maminya terkejut dan langsung mendekapnya erat sekali. Mereka menangis bersama, keduanya memang sama-sama merasakan kehamilan yang tidak wajar. Apa yang Maminya rasakan dulu, dirasakan juga oleh Fitri saat enam tahun yang lalu mengandung Tata. Maminya paham betul kacaunya dirinya dulu, ia tak menyangka anaknya akan merasakan apa yang dirasakannya juga. Mami berusaha menenangkannya, mengusap punggung dan membelai kepalanya lalu mengecup puncak kepalanya dengan cinta. Memberikan kekuatan dan ketenangan melalui pelukannya, pelukan yang akan selalu diberikan dalam keadaan apapun. Baik anaknya kacau atau bahagia. "Tenang, Sayang. Kendalikan dirimu, maafkan Mami, Nak." "Hiks … hiks … apa aku salah, Mi? Apa aku salah mengkhawatirkan Tata sama seperti dulu Mami mengkhawatirkan aku? Aku takut, Mi! Aku takut kehilangan Tata. Aku tahu bagaimana rasanya tidak punya teman, aku tahu bagaimana rasanya dikucilkan, aku tahu bagaimana rasanya dipandang sebelah mata. Aku … aku … aku gak mau itu terjadi pada Tata, apalagi saat ini dirinya masih sangat kecil, Mi … hu hu hu," tangisnya kembali pecah. Tubuhnya terguncang hebat, Fitri seakan kembali pada masa lalu yang menyakitkan. Tubuhnya kembali bergetar hebat, tangisnya tergugu dan semakin histeris. Mami terus berusaha menenangkan anaknya itu, memberikan kelembutan dan pemahaman bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Pedih rasanya Mami melihat anak semata wayangnya seperti itu. Kilatan masa lalu juga membuat dadanya sesak, beliau melihat bagaimana anaknya itu terguncang, cemooh dari masyarakat membuatnya semakin minder dan tidak percaya diri ditambah makhluk tak kasat mata yang semakin gencar untuk membuatnya tiada. Miris. Kehidupan cucunya ternyata harus serba dibatasi karena kekhawatiran dari sang Ibu yang tak ingin anaknya merasakan apa yang dirasakannya. Wajar sebenarnya, tapi bagi orang yang tak tahu dan tak pernah mengalami guncangan jiwa, raga dan batin maka akan menganggapnya berlebihan. "Fitri," panggil sosok yang sejak kecil sudah menemaninya. Sejak tadi, sosok tersebut terus saja memperhatikan anak dan ibu saling menangis, mencurahkan isi hati juga saling menguatkan. "Mey," jawabnya mengangkat kepala menatap sosok yang juga menatapnya penuh kerinduan. "Sini, Mey," ucap Mami. "Lihatlah, temanmu ini cengeng sekali. Setiap kesini selalu saja menangis, apalagi jika sudah berkaitan dengan kedua anaknya." "Gak pa-pa, Mami. Wajar, karena rasa sayang dan cinta yang terlalu besar." "Iya, kamu benar, Nak. Mami keluar dulu deh ya." "Kak, kamu yang tenang ya. Tenangkan hati, pikiran dan jiwamu. Belajar ikhlas." "Insya Allah, Mi." "Kalian ngobrol dulu deh, Mami keluar ya." Mereka berdua mengangguk, sesaat setelah Mami pergi, keduanya masih diam dengan pikiran masing-masing. Namun, keduanya saling menatap dan seakan menyampaikan kerinduan. "Fitri, apa kabarmu?" "Baik, Mey. Kamu sendiri?" "Aku disini, baik-baik saja. Kenapa kau terlihat sangat kacau?" "Ah, aku tak apa. Aku baik-baik saja, Mey." "Apa kau sedang berbohong padaku?" kekehnya. "Hahaha, aku sungguh tak akan pernah bisa berbohong padamu. Dan ternyata masih sama sampai sekarang rupanya." "Haha, kau lupa aku bisa membaca batinmu, Fit?" "Aku bahkan lupa jika kita berbeda jika kau berwujud seperti ini." "Hehe, agar kita lebih santai dan seperti teman baik." "Mey, kenapa kau tak ikut ke rumahku saja?" "Kenapa memang?" "Agar aku ada teman untuk bercerita." "Kau ingin aku ikut denganmu?" Fitri mengangguk cepat. "Tapi ada syaratnya." "Apa itu?" "Kamu harus bisa ikhlas dulu." "Ikhlas? Dalam hal?" "Semuanya, terutama amanah yang harus kamu jalani." "Kenapa begitu?" "Aku akan terus tertahan disini selama kau tak bisa ikhlas pada kehidupanmu. Aku ini ibaratkan sisimu yang lain, jika kau tak bisa ikhlas menerima sisimu yang lain maka segala sesuatunya akan terus bersimpangan dan tak akan pernah sejalan." "Aku adalah kamu yang tak pernah diinginkan oleh hatimu, pikiranmu dan jiwamu. Kamu terlalu sibuk memikirkan dirimu sendiri, hatimu sendiri, pikiranmu sendiri dengan menolak semuanya tanpa bisa memahami sekitarmu. Kamu seakan membuang sesuatu yang seharusnya kamu bawa bahkan seimbangi." "Fit, sampai kapan kau akan menolak semuanya? Sampai kapan kau akan lari? Apakah kau tenang, nyaman dan damai lari dari semua ini? Apakah belum cukup kamu menghukum kami hingga saat ini?" "Menghukum?" "Iya! Kamu akan terus terkurung dalam belenggu hitam selama kau menutup diri. Kami ini hanya ingin beriringan denganmu dan tak akan pernah mencampuri urusanmu. Tapi, kamu justru menarik kami sangat jauh darimu." "Fit, kami ini sama sepertimu, dulu. Kami lebih dulu mempunyai kehidupan, dan saat ini kehidupan kami kembali tapi di masa dan dimensi yang berbeda. Tolong, berikan hak kami untuk keluar dari rumah ini, izinkan kami untuk mengiringimu." "Kau mengurung kami sekarang dan sebentar lagi, pikiranmu akan mengurung semua yang berada di sekitar kedua anakmu." "Oh ayolah, Fit! Bangkit! Kau bukan lagi seorang Fitri yang kecil, penakut, selalu dipandang sebelah mata dan masih banyak lagi. Saat ini, kau sudah berubah menjadi seorang kupu-kupu indah yang berhasil melahirkan kedua anak yang sangat istimewa. Jadi, jangan lagi mengurung diri, mengurung kami juga anak-anakmu! Bangkitlah, Sayang. Dunia ini terlalu indah untuk kau sia-siakan, dunia ini terlalu indah jika kau terus terpaku pada sebuah rasa sakit di masa lalu. "Percayalah, dunia tak sekejam pikiranmu. Terkadang, manusianya sendiri-lah yang membuat dunia menjadi kejam karena sikap dan juga perilaku mereka sendiri. Kau seharusnya tidak perlu takut untuk maju dan keluar dari zona nyamanmu. Bahkan bisa dibilang, zona yang saat ini kau duduki adalah zona yang paling nyaman tanpa mau susah dan tanpa harus berurusan dengan yang tak kasat mata. Ayo, keluar maka aku akan bisa ikut denganmu dan mengiring bersamamu." "Kau itu tidak sendiri sebab ada suami dan juga kedua anakmu yang harus dipikirkan. Jadi, janganlah bersikap egois. Pikirkan, resapi dan tanya hatimu, apakah yang kau lakukan ini benar atau tidak! Aku pergi dulu, wassalamualaikum." "Waalaikumsalam," lirihnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD