Air Tujuh Sumur

2209 Words
Adzan subuh berkumandang, semua anggota keluarga sudah bangun dan menunaikan shalat subuh berjamaah. Semalam, Tata sedikit agak tenang sebab lagi-lagi ayahnya itu melakukan hal yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Selepas shalat subuh, Mbok sudah membuat bekal untuk Fauzi pergi mencari air tujuh sumur. Semalam, Fauzi sudah memberitahu pada Fitri rencananya pagi hari. Dengan senyum bahagia, Fitri mempersilahkan suaminya untuk mencari apa yang mereka inginkan. Rona bahagia terpancar jelas dari semua anggota keluarga, harapan mereka akan kesembuhan Tata akan semakin terwujud. "Bun, Ayah pamit ya. Doakan semoga jalannya gampang untuk bisa mendapatkan air tujuh sumur itu," ucapnya lembut saat minta izin pada istrinya. "Iya, Ayah. Semoga perjalanan Ayah lancar dan tidak ada hambatan." "Aamiin." "Yah, Abang benar tidak boleh ikut?" "Jangan, Aden!" cegah Nyai tiba-tiba muncul. Semua orang menoleh ke arahnya. "Nyai …," lirih Tata. "Assalamualaikum, Nona Putri." "Waalaikumsalam, Nyai." "Mohon maaf, Tuan Aden, Tuan Putri jika Nyai datang tiba-tiba. Dan mohon maaf jika Nyai mencegah Aden untuk ikut." "Aden, untuk kali ini saja, nurut ya, jangan ikut dulu. Semua semata-mata demi kebaikan semua orang. Ayahmu ingin mencari sesuatu yang nantinya mungkin akan banyak kendala dan jika Aden ikut khawatir justru semakin memperlambat waktu. Kita gak akan pernah tahu kondisi disana nantinya seperti apa dan bagaimana. Jadi cari aman saja," jelasnya panjang lebar. "Nyai, apakah nantinya--" "Nyai gak tahu, Putri. Berdoa saja semoga perjalanan Tuan lancar." "Ya sudah, kalau memang abang gak boleh ikut. Disini saja jaga Ibun dan Adik." "Itu lebih baik, Aden, maaf," balasnya menangkupkan kedua tangannya. "Baiklah. Abang disini jaga Ibun dan Adik ya. Tolong jangan ada drama, masih pagi ini dan Ayah harus berjuang untuk adik." "Adik, baik-baik ya, Nak. Ayah berjuang untuk adik," ucapnya lembut mengusap kepala anaknya. "Hati-hati, Ayah." "Abang, Adik, Ibun antar Ayah dulu ke depan ya." "Iya, Ibun." Pasangan suami istri itu keluar dari kamar. Nyai berjalan mendekati Tata dan merentangkan tangannya, Tata langsung memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Rey ikut duduk di dekat mereka, memperhatikan adik dan Nyai tak jauh beda seperti adik dan Ibunnya. "Nyai, Adik takut," lirihnya. "Tenang ya, Nona Putri. Harus tenang, harus ikhlas, harus sabar. Ini baru awal, nanti akan lebih banyak yang Nona Putri terima dan harus mau menerimanya." "Nyai, adik kaget saat kecelakaan itu." "Iya, Aden. Nyai tahu, Nyai paham. Nyai dan Aki minta maaf ya sama kalian karena gak ada saat kalian butuh. Kami sedang ada misi yang memang gak bisa ditinggal." "Misi? Misi apa, Nyai?" "Misi seru, Nona Putri," balasnya tersenyum. "Waahhh … kok gak ajak Adik dan Abang?" "Hush! Kamu itu, lihat tabrakan aja histerisnya kayak apaan, ini segala mau ikutan misinya Nyai dan Aki!" tegur Rey. "Maaf, Abang." "Kalian, harus berani ya. Mentalnya harus kuat, jangan pernah takut pada apapun! Harus berani menghadapi semuanya, jangan pernah lari dari kenyataan sekalipun kenyataan itu menyakitkan. Perjalanan kalian masih panjang, dan akan lebih banyak lagi kejadian baru nantinya. Harus selalu bersama ya, saling menjaga, saling tolong menolong." "Aden, sebagai abangnya harus bisa menjaga Nona Putri. Begitupun sebaliknya, jika ada masalah kalian harus bersatu. Panggil Aki dan Nyai ya." "Kemarin, Adik panggil Nyai tapi gak datang." "Nyai 'kan tadi udah jelasin, Dik, kalau habis ada misi." "Iya, maaf, Adik lupa, Bang." "Ah, adik lupa terus kerjaannya." "Hehe, Abang jangan marah ya, Sayang." "Iya, Adik Sayang." Nyai menatap mereka dengan kagum, senyum merekah melengkung indah di wajah ayunya. Pintu kamar terbuka, Fitri melangkah masuk, ia sempat terkejut melihat anak bungsunya masih berada dipelukan Nyai. "Ngobrol apa, sih? Seru amat kayaknya?" "Gak ngobrol apa-apa, Bun. Itu Adik protes terus kenapa Nyai dan Aki gak pernah datang." Tata sudah melepaskan diri dari pelukan Nyai dan bercanda dengan abangnya. Sedangkan tatapan mata Fitri beralih pada Nyai. 'Apakah Nyai mengatakan bahwa aku tak memperbolehkan kalian untuk sering datang?' 'Tidak. Putri, tenang saja. Semua aman, Nyai akan jaga rahasia kita. Mereka hanya menanyakan kenapa kemarin saat kejadian Nyai dan Aki tidak ada. Kami memang tidak ada karena ada misi lain. Jadi tak ada pertanyaan lebih.' 'Syukurlah. Aku minta maaf jika sikapku selama ini keterlaluan. Mulai saat ini, aku akan berdamai dengan diriku sendiri. Dan memperbolehkan kalian untuk mendampingi anak-anak. Tapi, tolong jaga kepercayaan aku, jangan buat aku takut kehilangan mereka.' 'Alhamdulillah … akhirnya Putri bisa menerima kami. Baik, Nyai dan Aki akan menjaga mereka seperti menjaga diri kami sendiri.' 'Setelah ini, dampingi Tata untuk menyelesaikan misi temannya. Namanya Mawar. Aku hanya ingin, Tata menyelesaikan misi bertemu dengan Maminya Mawar saja, tidak lebih dari itu. Jangan sampai Tata terbawa masalah yang lebih dalam, bahaya.' 'Baik. Nyai paham, Putri.' "Aden, Nona Putri, Nyai mohon undur diri ya. Nyai masih harus menyelesaikan tugas yang lain." "Iya, Nyai. Hati-hati ya," jawab mereka serempak. "Terimakasih," ucap Fitri tenang. "Sama-sama." *** Fauzi sudah berada di dalam mobil untuk menempuh perjalanan ke sumur pertama terlebih dahulu. Untuk menuju sumur pertama, mereka menempuh jarak kurang lebih tiga puluh menit. Dan dari sumur pertama ke sumur kedua itu sekitar empat puluh lima menit. "Pak Joko, kira-kira perjalanan ke sumur pertama ini akan banyak kendala tidak?" "Mohon maaf, Tuan Muda. Kalau kendala, mungkin hanya jalanannya saja yang sedikit terjal, tapi jika sudah berada di dalam sumurnya, Pak Joko kurang paham." "Semoga saja, tidak ada hambatan yang menyusahkan." "Aamiin. Kita sama-sama berdoa dan dzikir saja ya, Tuan Muda." "Pak Joko, apa dulu Fitri juga mandi tujuh sumur?" "Iya, Tuan. Tapi ada bedanya." "Apa itu?" "Sumur tujuhnya di dapat oleh anak buah Pak Kyai, jadi waktu itu perjalanannya mulus sekali." "Semoga kali ini juga mulus." "Apa Pak Joko juga yang mengantar?" "Belum. Tapi saya hanya sampai parkiran saja, Tuan Muda." "Pantas saja, Papi menyuruh Pak Joko dampingi saya. Ternyata, Pak Joko sudah tahu tempatnya hehe." "Nggih, Tuan Muda." Alhamdulillah, di sumur pertama tidak ada kendala. Medannya hanya jalanan yang terjal bebatuan saja membuat mereka harus berhati-hati sebab samping kanannya jurang. Lumayan melatih mental dan hati agar tidak lepas berzikir. Mereka lanjut ke sumur kedua, perjalanannya cukup lumayan sejuk sebab sumur tersebut berada di sebuah pedesaan yang sangat asri. Sejuk sekali rasanya melalui jalan untuk menuju sumur kedua. Fauzi tak lepas dzikir di dalam hatinya, selalu tenang agar jalannya lancar. Di tempat kedua, lumayan agak sedikit bermasalah, sebab mereka berkunjung terlalu pagi. Kuncen sumur tersebut sempat melarang dan terjadi perdebatan alot. Namun, setelah Pak Joko turun dan menjelaskan bahwa sebelumnya pernah ke tempat tersebut bersama Ustadz Heri, maka kuncen tersebut memperbolehkan seban berpikir bahwa sekarang juga di perintah oleh Kyai Anjar. "Alhamdulillah. Akhirnya setelah perdebatan panjang. Ya Allah, Pak, saya gak nyangka sesusah ini untuk mendapatkan air sumur ini." "Alhamdulillah, akhirnya diperbolehkan. Memang, saya dengar akan ada ujiannya masing-masing tiap orang dan tiap sumur, Tuan. Jadi, sabar dan ikhlas saja ya menjalaninya." "Iya, Pak Joko. Alhamdulillah, nikmat sekali ujiannya." "Hehe, sabar, ikhlas." "Pasti, Pak. Demi Tata." "Iya betul. Kita lanjut ke sumur ketiga ya." "Siap, Pak Joko." Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sumur ketiga. Tak banyak pembicaraan yang menghiasi perjalanan mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, Fauzi sibuk memikirkan sebentar lagi akan ada ujian apalagi yang dihadapi olehnya. Setelah perjalanan lumayan sebentar, sebab memang jarak dari sumur dua ke tiga itu dekat jadi tak terlalu memakan waktu lama. Sampai di tempat, sepi, sunyi bahkan terlihat sangat menyeramkan sekali. "Pak, ini benar tempatnya?" "Nggih, Tuan." "Kok serem? Apa gak ada kuncennya?" "Setahu saya, gak ada, Tuan. Waktu itu memang ustadz langsung ambil air di sumur itu. Tapi sebelumnya seperti terlihat obrolan dengan sesuatu yang entah apa." "Oke baik. Saya paham. Saya keluar dulu ya, Pak." "Tuan, tunggu!" cegahnya. "Kenapa, Pak?" "Ini bawa, kali saja butuh." Pak Joko memberikan bungkusan, Fauzi langsung membukanya. "Bunga?" tanyanya. "Untuk apa?" tanyanya lagi masih dengan kebingungan. "Bawa saja, siapa tahu butuh." "Hm … baik. Makasih ya, Pak." "Nggih. Saya tunggu disini, ya, Tuan." "Iya, Pak Joko." Fauzi turun dari mobil, matanya mengawasi setiap sudut tempat tersebut. Mencari-cari apakah ada seseorang yang bisa ditanya olehnya namun nihil. Tak ada satu orang pun disana, aneh sekali. Tempatnya benar-benar sunyi dan sangat mencengkram. "Hm … hm … hm …." Ada suara geraman. Fauzi terlonjak kaget, matanya langsung mencari darimana asal suara tersebut. Dan ternyata suara tersebut berasal dari salah satu pohon beringin yang sangat besar sekali. "Assalamualaikum," sapa Fauzi mengucap salam. "Ya. Ada apa kemari?" "Maaf, saya datang kemari ingin minta air sumur ini." "Untuk apa? Pesugihan? Guna-guna? Santet?" tanya sosok besar itu. "Bukan! Saya butuh air ini untuk mandi anak saya." "Mandi anakmu? Haha jangan bercanda wahai manusia bodoh!" "Saya tidak becanda! Sungguh-sungguh saya kesini untuk ambil air sumur, tujuannya untuk mandi anak saya!" "Pergi! Dan jangan pernah kembali! Kau salah tempat manusia bodoh!" makinya. "Saya kesini di suruh oleh Ustadz Heri." "A-apa? Ustadz Heri anak buah Kyai Anjar?" "Iya, betul!" jawabnya yakin. "Ke-kenapa tidak bilang dari tadi!" bentaknya. "Ambil sana airnya sepuasmu!" "Boleh?" "Iya! Tapi aku minta isi dari bungkusan yang kau bawa!" pintanya dengan angkuh. "Baik. Ini untukmu, saya letakan di bawah sini ya. Saya ambil air sumurnya, permisi." "Ya." Fauzi bergegas menuju sumur tersebut dan menuangkan air sumur ke dalam botol ketiga. Lalu bergegas meninggalkan sumur tersebut. "Sudah?" "Sudah. Terimakasih banyak." "Ya sama-sama. Lain kali, bawa makanan untukku yang banyak!" "Ya. Permisi. Wassalammualaikum." "Ya, sana pergi!" usirnya. Fauzi berlari kecil menuju mobil dengan mengusap dadanya, seumur-umur baru kali ini memberi makan makhluk seperti itu. Tapi bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan air sumur ini. Mungkin, dulu juga seperti ini yang dilakukan oleh Ustadz Heri. "Bagaimana, Tuan?" "Alhamdulillah dapat." "Alhamdulillah … lalu bungkusannya?" "Di minta sama makhluk jelek!" "Baik. Kita lanjut ke tempat lain ya," ajaknya. "Iya, Pak Joko. Segera! Agar tak berurusan lagi dengan makhluk jelek itu!" Kembali melanjutkan perjalanan menuju sumur keempat, tempatnya lumayan jauh. Letaknya berada di kabupaten Bandung, kurang lebih tiga jam, tapi untuk menuju sumu keempat hingga ketujuh tidak jauh. Mereka menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak dan memakan bekal sarapan di pinggiran sawah. Menikmati pemandangan sawah dan para petani yang sudah mulai bekerja. Sejuk sekali daerah kadipaten ini. Selesai sarapan, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sumur keempat. Sesampainya di sumur keempat tak ada hambatan dan ujian apapun, semuanya berjalan lancar dan bahkan kelewat lancar Jalanan, situasi, kondisi dan kuncennya berbaik hati sekali. Fauzi merasa tenang dan merasa sumur selanjutnya dan sampai akhir kemungkinan akan sama seperti sumur keempat, tak ada hambatan dan terkesan sangat mulus perjalanannya. "Kita lanjut menuju sumur kelima ya, Tuan." "Siap, Pak!" Sesampainya di sumur kelima ternyata sama seperti sumur keempat, tak ada hambatan dan lancar jaya. Fauzi merasa tenang dan bahagia, itu artinya tugasnya akan selesai sebentar lagi dan segera sampai rumah. Namun saat perjalanan menuju sumur keenam, ujian mulai di rasakan. Tiba-tiba di tengah sawah yang panas dengan terik matahari tepat di atas kepala, ban mobil mereka meletus entah di sebabkan oleh apa. Pak Joko yang memang sudah mempersiapkan semuanya langsung sigap dan mengganti ban mobil tersebut dibantu oleh Fauzi. Bayangkan saja, hampir tengah hari bolong, ditengah sawah dan tak ada bengkel juga tak ada lalu lalang orang. Sungguh, menderita sekali. "Sabar, Tuan. Jangan mengeluh, nanti jalan kita semakin sulit. Senyum saja, sabar, ikhlas. Ingat, ini semua demi Non Tata." "Astaghfirullah … maaf, Pak. Saya kebawa suasana merasa emosi." "Istighfar, Tuan. Mereka akan semakin senang jika kita marah-marah." "Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah …." "Sudah, Tuan. Mari kita lanjutkan perjalanan." "Masih jauh, Pak?" "Sebentar lagi. Palingan sekitar lima belas menit lagi, Tuan." Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sumur keenam, sesampainya disana ternyata keadaanya tidak beda jauh seperti sumur ketiga tadi. Bedanya, di sumur keenam ini lebih banyak sekali pohon beringinnya. Selama perjalanan dan setiap masuk waktu shalat mereka selalu berhenti di salah satu mushola yamg mereka lewati. "Apa gak ada yang harus saya bawa lagi, Pak Joko?" "Gak ada, Tuan. Aman." "Apakah di dalam aman?" "Entahlah, saya tidak tahu, Tuan." "Baik. Saya turun dulu ya." Pak Joko mengangguk. Fauzi turun dari mobil dan langsung berjalan masuk menuju tempat sumur tersebut namun tiba-tiba jalannya di hadang oleh dua ular kembar. Fauzi melangkah mundur, terkejut karena tiba-tiba ada ular yang entah datangnya dari mana. Ada dua ular, namun mereka berkepala empat. Satu ular dengan dua kepala, itu artinya mereka bukanlah ular sungguhan melainkan ular siluman. "Ssttt … ada apa kau kemari?" tanya ular pertama. "Mohon maaf, saya kesini untuk ambil air sumur." "Untuk apa? Pesugihan? Guna-guna? Santet? Penglaris?" tanya ular kedua. "Hah? Bu-bukan! Untuk mandi anakku." "Jangan bercanda kamu!" bentak ular kedua. "Saya gak bercanda! Saya kesini benar-benar ingin ambil air untuk mandi anak saya!" "Kenapa untuk mandi? Jelaskan!" Fauzi mulai menjelaskan apa yang terjadi pada anaknya dengan secara detail. Kedua ular tersebut mendengarkan dengan seksama, di akhir cerita lagi-lagi Fauzi menyebut nama Ustadz dan Kyai yang di sebutkan oleh Pak Joko tadi, lalu ular kembar tersebut mundur dan mempersilahkan Fauzi mengambil air tersebut. "Tuan baik-baik saja?" tanya Pak Joko saat Fauzi baru saja masuk ke dalam mobil. "Ba-baik, Pak. Huh … huh …," jawabnya ngos-ngosan. "Ta-tadi ada ular, Tuan?" "Aman, Pak. Ayo kita pergi dan lanjut ke sumur terakhir." Alhamdulillah sesampainya di sumur ketujuh tak ada hambatan seperti di sumur keempat dan kelima. Mereka langsung tancap gas pulang ke rumah, menempuh waktu kurang lebih empat jam karena memang dari tempat terpelosok sekali. Fauzi merasa lelah dan minta izin pada Pak Joko untuk tidur sebentar. Pak Joko mempersilahkan Fauzi untuk beristirahat sebab perjalanannya masih panjang hingga malam hari. Mereka sampai di rumah selepas maghrib dan di sambut dengan wajah-wajah bahagia namun ada rona khawatir di dalamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD