POV Fitri

1312 Words
Entah kehidupan apa yang sedang aku jalani saat ini, yang jelas terlalu banyak sekali keadaan tak mengenakan mampir dengan berlarut-larut. Aku tak yakin bisa menjalani kehidupan ini di masa yang selanjutnya, terlalu banyak ketakutan yang kurasakan saat ini. Aku takut jika kedua anakku kelak nantinya akan dicap aneh oleh banyak orang. Sebenarnya, ini semua derita atau amanah? Jika memang sebuah amanah, mengapa terlalu menyakitkan untuk dirasakan? Jika derita mengapa harus menimpa kami semua. Aku selalu berusaha untuk tenang dan tidak takut namun rasa takut itu selalu datang menghampiri, bukankah itu adalah hal yang wajar? Sebab, sejatinya manusia akan merasakan rasa takut karena merasa tidak mampu menghadapi semuanya dengan ikhlas. Ya benar, aku tidak ikhlas bahkan sangat tidak ikhlas menjalani semua ini. Aku tak bisa menikmati setiap proses yang terjadi, aku selalu lari dari setiap rasa takut yang kurasakan. Sejak gadis, sampai saat ini aku akan mempunyai dua anak pun masih saja tidak bisa menerima semua ini. Jika boleh, aku akan meminta agar kedua anakku tidak mengalami hal yang sama sepertiku. Suamiku selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, ya benar. Memang semua akan baik-baik saja apabila sedang bersamanya, tetapi apabila jika kami semua tak bersamanya? Bentuk apa pun makhluk astral tersebut akan muncul dan mereka tidak segan-segan untuk menunjukkan wajah aslinya. Dulu, saat masih gadis jika sudah tak sanggup lagi menghadapi semua ini, maka yang akan aku lakukan adalah berdiam diri dikamar dan tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dan langkah selanjutnya adalah Mamih akan datang mengetuk pintu dan menenangkanku kembali. Saat ini, aku tak mungkin bisa melakukan itu semua? Aku hanya bisa menenangkan Rey, oh salah justru anakku yang berusaha menenangkanku. Bocah kecil yang sudah dewasa sebelum waktunya, cara berpikirnya sungguh beda tidak seperti anak seusianya. Pikirannya sudah benar-benar layaknya seperti seorang pria dewasa. Ia akan menjaga wanita yang dicintai sepenuh hatinya dan berusaha tidak menyakitinya walaupun hanya secuil saja. Hidupku memang terasa sangat sempurna dengan adanya suami yang luar biasa pengertian dan anak yang luar biasa hebat. Tapi sungguh, kekuatan ini tak membuatku merasa nyaman, justru sebaliknya aku merasa takut memanfaatkannya karena sering kali merasa salah dalam memanfaatkannya. Semua kekuatan yang kumiliki ingin sekali kukembalikan pada siapa yang sudah memberikannya tapi seringkali aku dianggap tidak bersyukur dalam menjalani kehidupan. Sungguh, bukan maksud tidak bersyukur hanya saja aku tak ingin mereka semua yang tak kasat mata semakin menjadi mendekat padaku. Aku merasa sangat bangga dengan amanah ini, apabila ada diantara mereka yang secara tidak langsung meminta bantuan untuk memecahkan masalah semasa hidup hingga berakhir dengan kematian. Kebanyakan diantara mereka menjadi bergentayangan karena belum selesai tugasnya di dunia namun sudah mengakhiri atau diakhiri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Memang tidak semua kehidupanku menyakitkan, terkadang, mereka yang tak kasat mata juga menjadi teman dikala aku sendirian. Entah, ini candu atau bagaimana aku merasa berteman mereka lebih mengasyikan dibandingkan dengan manusia, sebab, manusia-manusia disekitarku terlalu banyak yang menghina, caci, maki daripada berhati tulusnya. Aku punya cara sendiri dalam berteman dengan mereka, jika ada sesuatu yang baru dan membuat takut maka mereka akan siap siaga menjadi tamengku, dan itu terjadi sebelum bertemu dengan Fauzi, suamiku. Persalinan semakin dekat, Dewi Anjani dan anak buahnya pun semakin gencar berjaga. Nyai Dewi mengatakan bahwa kehadiran anak keduaku sama seperti kehadiranku yang dinantikan oleh banyak orang. Jangan salah, bukan dinantikan dalam hal kebahagiaan melainkan dinantikan untuk sebuah proyek masa depan yang menguntungkan para dukun durjana. Satu harapanku, anakku lahir dengan sehat, aman, nyaman tanpa hambatan dan kedepannya kedua anakku menjadi anak yang baik dan berbakti pada orang tua. Juga mempunyai mental yang kuat untuk menghadapi para mulut durjana yang mungkin akan mereka temui tidak dalam keadaan menyenangkan. *** Fitri dan Rey sedang menonton tv, mereka menonton film kesukaan, Rey. Selama duduk, Fitri sudah merasa gelisah. Ia tak tenang, perutnya sering kali kencang dan sakit yang tertahankan. Mungkin itu yang dinamakan kontraksi, semakin lama rasa sakit dan panas itu semakin menjadi juga menjalan ke seluruh tubuhnya. Kontraksinya pun semakin sering, sesekali ia meringis dan mengusap lembut perutnya. Dik, apa sudah mau keluar, Nak? Jika iya, kasih tanda ya, Sayang. Nanti Ibun langsung ke klinik bersama Abang, Ayah dan Mbok, ucapnya dalam hati. Fitri meringsi kembali, peluh keringat membanjiri wajah dan juga pakaiannya. Rey mulai menyadari ada yang aneh dengan Ibunnya. Bocah tampan itu menatap dengan lekat dan penuh cinta lalu tangannya terulur untuk mengusap keringat di kening Ibunnya. "Ibun," panggilnya. "Iya, Bang," jawabnya di sela-sela rasa sakit. "Ibun kenapa? Panas? Ac 'kan nyala?" tanyanya polos. "Perut Ibun sakit, Nak." "Kenapa? Adik bayi nakal?" "Gak, Nak. Adik bayi baik dan sepertinya ingin segera keluar untuk bermain dengan abang." "Ibun mau melahirkan?" serunya dengan bahagia. "Sepertinya, Nak. Tolong panggilkan Mbok, Bang." "Mbook!" teriak Rey membuat wanita paruh baya tersebut lari terpogoh-pogoh khawatir ada apa-apa dengan anak dan majikannya. "Kenapa, Aden?" "Mbok," "Nyonya, ada apa? Apakah terasa mau lahiran?" "Sepertinya iya, Mbok. Tolong ambilkan tas besar yang sudah dipersiapkan kemarin ya, lalu pesankan taksi. Kita berangkat ke klinik sekarang." "Baik, Nyonya. Mbok sekalian telpon, Tuan." "Gak usah, Mbok. Biar abang saja!" serunya. Mbok berlari menuju kamar utama dan mengambil semua perlengkapan yang sudah disediakan. Sedangkan Rey mencoba menelpon ayahnya yang sudah sore hari ini belum juga pulang. Tuuut. Tuuut. Tuuut. "Ayah kemana, sih, Bun! Kenapa gak angkat telpon, Abang!" gerutunya kesal. "Coba lagi, Nak. Sabar ya." Setelah panggilan kesepuluh, ayahnya baru menjawab telepon sang anak. "Ayah! Kenapa lama sekali angkat telponnya, sih!" bentak Rey. "Ya Allah, Bang. Maaf, Nak. Ayah tadi lagi ada rapat. Kenapa, Sayang? Kenapa anak ayah yang ganteng?" "Rapat terus! Adik bayi mau keluar!" "Hah? Adik bayi mau keluar? Gimana maksudnya, Bang?" "Ayah, ih, Ibun mau melahirkan!" serunya dengan kencang. "Astaghfirullah, Nak. Jangan teriak-teriak, ayah kaget tahu! Kapan Ibun mau melahirkan?" "Sekarang, ini, ayah! Mau ke rumah dokter. Ayah nyusul ya, udah ah, dah ayah!" "Bang, apa kata ayah?" "Gak tahu, Bun. Langsung abang matikan telponnya," jawabnya polos. "Ya Allah, Nak." "Nyonya, ayo kita keluar. Tunggu taksi datang di teras saja." "Ayo, Mbok." "Sini, Mbok. Abang yang bawa." "Jangan, Aden, berat. Abang bantu tuntun Ibun saja ya." "Oke deh." Mereka keluar dan tak lama taksi pun datang. Mereka bertiga segera berangkat ke salah satu klinik tempat biasa Fitri kontrol selama hamil. Sesampainya di Klinik Bunda, Fitri segera ditangani oleh seorang Bidan yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, Erika. "Sore Sayangku," sapanya saat melihat Fitri sudah berbaring dengan senyum sedikit meringis. "Erika," ucapnya pelan. "Ya, Sayang. Tenang ya, tenangkan hati dan pikiranmu. Aku cek dulu ya," ucapnya lembut. Fitri hanya mampu mengangguk patuh. "Baru pembukaan 3, sabar ya. Ajak terus adik bayi bicara, berjuang bersama-sama. Aku keluar dulu ya, Mbok titip Fitri dulu ya." "Baik, Non." "Fauzi sudah dihubungi, Mbok?" "Sudah Ante," sahut Rey tersenyum manis. "Eh ada lelaki tampan disini. Kok Ante gak lihat ya, hehe." "Huuh, abang 'kan sudah besar, Ante! Masa gak kelihatan!" "Hehe, maaf, Sayang," tuturnya lembut mensejajarkan tingginya dengan bocah itu. "Rey, jaga Ibun dan adik bayi ya. Ante keluar dulu." "Siap, Ante! Laksanakan!" serunya penuh semangat. "Anak pintar." Erika mengacak-acak rambut Rey. "Ante! Please! Jangan acak-acak rambut abang! Nanti, aku gak tampan lagi," gerutunya dengan bibir dimajukan beberapa centi. "Eh? Haha, baiklah … baiklah. Maaf, Abang Rey ganteng," kekehnya membuat Fitri dan Mbok pun ikut serta. Erika melangkah pergi keluar dari ruang bersalin meninggalkan mereka bertiga dan kembali ke ruangannya kembali. Sedangkan di tempat yang berbeda, Fauzi-suami Fitri- sedang harap-harap cemas menunggu kliennya pulang dan bergegas ke klinik untuk memastikan kondisi istrinya. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sejujurnya merasa khawatir akan ketakutan istrinya. Pasti istrinya itu akan merasa takut sepanjang waktu dan cemas menunggu anaknya mengajak keluar. Belum lagi mereka para makhluk kasat mata sudah dapat dipastikan menunggu juga di tempat yang berbeda dengan langkah yang berbeda. Aneh, keringat dingin mulai membasahi tubuh Fauzi, padahal yang akan melahirkan itu istrinya tapi justru dirinya yang lebih cemas dan mandi keringat, hehe. Akhirnya klien pun pulang, Fauzi bergegas menuju klinik dengan perasaan campur aduk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD