BAB 1. Memastikan Mimpi

1968 Words
Jelita memberanikan diri untuk duduk di samping Oliver menuju salah satu butik tempat mereka memesan baju yang akan mereka kenakan di hari pernikahan nanti. Oliver terlihat lebih segar dan tampan, karena OLiver yang Jelita ingat sebelumnya sangat berantakan. Rambutnya panjang dan tidak begitu memperhatikan fasion. Tapi yang Jelita lihat sekarang sangat tampan, sangat terawat dan wangi. Jelita sudah lupa apakah dulu sebelum mereka menikah Oliver sewangi ini? Jelita sudah tidak begitu mengingat bagaimana laki-laki ini dulu karena Jelita sempat sangat tidak setuju dengan pernikahan yang diatur oleh dua keluarga ini. "Mau makan bubur dulu nggak? tadi nasi gorengnya nggak kamu makan sampai habis kan?" tanya laki-laki itu dengan nada suara lembut. "Kayaknya udah telat banget deh, nggak enak sama Onty Laurent yang udah nuggguin." Jawab Jelita dengan wajah terus menatap ke jalanan. Jelita bis amendengar Oliver mendesah perlahan. "Kalau gitu kita mampir dulu!" Balasan Oliver membuat Jelita menoleh dan memasang wajah merengut sebal. Laki-laki keras kepala yang suka seenaknya ini mulai membuat Jelita kembali mengingat kenangan pahitnya dulu. "Kan aku bilang nggak usah tadi! kamu nggak denger!" sungutnya kesal. Tapi Oliver tetap memarkirkan mobilnya di depan warung bubur dengan senyuman geli. "Dasar kepala batu." Jelita kembali bersuara dengan nada mengutuk yang bukannya membuat OLiver kesdal justru semakin melebarkan senyumnya. "Ayo turun! atau mau aku gendong ke dalam?" Tanyanya dengan nada geli setelah turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Jelita. "Aku bisa jalan sendiri! aku punya kaki." jawab Jelita ketus. Perempuan itu turun dari mobil sambil cemberut dan berjalan dengan menghentakkan kakinya kesal. Oliver mengikutinya dari belakang dengan senyuman geli yang tidak luntur dari bibirnya hingga mereka masuk ke Restaurant bubur itu. "Mau bubur ayam dua yah mbak, minumnya teh hangat dua sama air putih hangatnya satu." ucap laki-laki itu memesan tanpa menanyakan pendapat Jelita lebih dulu. Membuat wajah Jelita semakin merengut kesal. "Aku mau bubur sapi, siapa bilang aku mau ayam? jangan sok tahu!" ketus Jelita. "Kamu nanti bentol-bentol kalau makan bubur Sapi." balas Oliver tenang sambil membalas pesan di ponselnya. Senyumnya kembali mengembang mendengar desahan kesal Jelita. Ketika pesanan datang, laki-laki itu menyodorkan air putih hangat lebih dulu untuk Jelita yang diambil wanita itu masih dengan cemberut. Setelah air hangat itu tandas, Jelita melihat buburnya sudah ada di hadapannya dan sudah diaduk dengan sempurna. Sementara dia melirik ke arah laki-laki itu terlihat sedang serius menatap ponselnya dan belum menyentuh buburnya sedikitpun. "Kalau kamu masih merhatiin ponsel kamu sampai bubur aku habis, aku lempar ponsel kamu ke parit." Ancam Jelita jengkel. Oliver tersenyum geli. "Aku habis balas Chat Onty Lauent. Bilang kalau kita telat banget soalnya sarapan dulu." kekeh laki-laki itu terlihat gemas. Jelita tidak lagi membalas ucapan Oliver dan memilih untuk menghabiskan buburnya sampai tandas. Niatnya dia tidak akan memakasn bubur itu sebagai bentuk protes atas sikap seenaknya OLiver tapi rupanya aroma bubur ayam itu sangat enak dan ketika Jelita merasakan suapan pertama wanita itu menetapkan bahwa bubur Ayam ini adalah bubur terenak di dunia. "Enak kan buburnya? habisnya sampai secepet itu." Uja Oliver sedikit menyindir. Jelita meliriknya kesal dan laki-laki itu sedang tersenyum geli. "Kan kita haruss buru-buru jadi aku makannya cepet. Kamu aja yang makannya lelet." Balas Jelita dengan angkuh. Oliver mengangguk saja tapi ekspresi gelinya sangat menyebalkan. Jelita rasanya ingin menjambak rambutnya sekarang juga. Sekalian melampiaskan dendamnya yang masih menumpuk di d**a. Tapi mengingat mereka sekarang ada di tengah keramaian orang makan bubur, Jelita tidak mungkin melakukan itu. "Memangnya semalam kamu mimpi apa?" Setelah mereka kembali melanjutkan perjalanan, Oliver bertanya pelan-pelan. Jelita meliriknya sebentar tapi memilih tidak menjawab. Ada plester di wajah Oliver, itu adalah luka yang di sebabkan oleh lemparan vas bunga tadi pagi, tapi Jelita tidak menyesalinya sedikitpun. "Mimpinya seserem apa sih sampai kamu kaya gitu?" OLiver bertanya lagi. "Mimpi kamu meninggal karena kecelakaan. Terus karena aku nggak mau jadi janda makanya aku mending nggak nikah sama kamu kan?" jawab Jelita kejam. Oliver terlihat sedih dan itu cukup mengganggu Jelita. Tapi wanita itu memilih untuk kembali mengalihkan pandangannya menuju ke jalan raya. Tidak ingin tertipu lagi oleh wajah tampan dan sikap manis Oliver yang masih dia ingat sebelumnya. Sifat manis dan wajah tampan yang hanya memberinya harapan setinggi langit tapi kemudian menjatuhkannya ke dasar jurang. "Kita sudah sampai." Ucap Oliver membangunkan Jelita dari pikiran beratnya. Madam Juli, sudah menyambut keduanya di depan pintu. Jelita tersenyum lebar dan memeluk wanita paruh baya itu dengan akrab, begitupun dengan Oliver. Setelahnya keduanya masuk sambil berbincang ringan. Di dalam Laurent sudah menunggu keduanya dengan ramah. Gaun pengantin utama mereka sebenarnya di buatkan oleh Wendy, karena siapa yang tidak mengenal designer yang karyanya sudah mendunia itu. Apalagi Wendy juga merupakan kakak ipar Jelita sendiri. Tapi karena permintaan keluarga Oliver agar pesanya tidak hanya di lakukan satu hari mereka akhirnya membutuhkan gaun-gaun lain. Fitting baju yang melelahkan itu baru selesai jam dua siang. Jelita terlihat kelelahan sementara Oliver sendiri justru terlihat sangat menikmati. Laki-laki itu jauh lebih cerewet mengenai detail-detail gaun yang hendak di kenakan Jelita di banding wanita itu sendiri. Hal itu membuat beberapa karyawan Laurent memuji Oliver sebagai calon suami idaman. Tentu saja Jelita ingin muntah mendengar semua itu. "Kita mau kemana sih? ini bukan jalan pulang!" Protes Jelita karena Oliver tidak mengarahkan mobilnya ke arah pulang. "Ada kafe baru di dekat kampus Chiko, kita mampir dulu sebentar. Menunya lucu-lucu dan bentuk kelinci gitu. Kamu pasti suka." Ucap Oliver antusias. Kening Jelita mengernyit, berusaha mengingat-ingat apakah ada ingatan tentang kafe tersebut. Tapi Jelita tdak menemukan ingatan apapun sehingga memutuskan untuk mengikuti keinginan Oliver saja. Lagipula dia sudah lelah jika harus berdebat dengan laki-laki keras kepala ini. Tapi begitu melihat nama kafe itu, jantung Jelita berdebar hebat. Itu adalah kafe tempat Julio dan adik tirinya akan tertangkap kamera dan menjadi Viral. "Kenapa sayang? apanya yang sakit?" tanya Oliver panik melihat Jelita memucat dengan gemetaran. Wanita itu juga memegangi dadanya seolah kesakitan. "Kamu kenapa Ta? mau ke Rumah Sakit?" tanyanya lagi. Jelita berusaha menetralkan detak jantungnya dan setelah menerima air minum dari Oliver kondisinya lebih baik. Setelah merasa tidak lagi gemetar, Jelita menatap Oliver dan dia bisa melihat dengan jelas bahwa ekspresi khawatir Oliver tidak dibuat-buat. Otaknya berputar jauh, kenapa orang yang kelihatan sangat jatuh cinta dan peduli pada Jelita ini bisa jadi sejahat itu? Jelita semakin yakin bahwa kejadian mengenaskan yang dia alami bukan hanya mimpi biasa setelah melihat Julio Staven keluar dari mobil di ikuti oleh gadis berseragam SMA yang Jelita tahu itu adalah adik tirinya. Keduanya tampak akrab dan bahagia. "Mau pulang aja?" tanya Oliver lagi. Matanya bahkan memerah seperti ingin menangis melihat Jelita terlihat ketakutan. "Kenapa kamu ingin menikah denganku?" tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Jelita. Otak wanita itu rasanya sudah ingin meledak karean banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Tapi hal yang paling ingin Jelita ketahui adalah alasan Oliver menikahinya. Dulu Jelita tidak pernah menanyakan hal ini sekalipun karena sudah tertipu dengan bujukan manis laki-laki itu yang membuat Jelita jatuh cinta. "Apakah kamu perlu menanyakan hal semacam itu? bukankah sudah jelas alasannya? aku mencintai kamu. Memangnya apa lagi alasan orang menikah?" Jawab Oliver dan anehnya Jelita tidak menemukan kebohongan sedikitpun. Baik dari nada bicaranya maupun dari ekspresi laki-laki ini. "Sebenarnya kamu kenapa sih? bukankah kita sudah sepakat untuk menikah setelah Regarta menyetujui pernikahan kita? Aku tahu kamu mungkin belum mencintai aku, tapi aku sudah janji akan membuat kamu mencintai aku. Dan aku juga sudah janji kan akan buat kamu bahagia." Oliver kembali berbicara. "Kamu bohong kan? kamu pasti bohong! Buat aku bahagia huh? itu cuma omong kosong kan?" balas Jelita emosi. Oliver diam dan membiarkan Jelita kembali menangis. Laki-laki itu tetap berdiri di depan pintu mobil yang terbuka terkena sinar matahari yang lumayan terik. Sementara Jelita sedang menangis dengan masih duduk di bangku mobil. Oliver tahu jika terus berbicara sementara Jelita masih emosi, mereka malah akan bertengkar hebat. Ini adalah tips yang pernah dia dengar dari wejangan Regarta. Selama beberapa menit Jelita menangis tapi tidak mengatakan apapun. Oliver bisa melihat bahwa calon istrinya terlihat seperti mati-matian berusaha mengontrol emosinya. Karena itu Oliver tidak ingin membuat kondisinya semakin rumit dengan membela diri. "Ayo masuk! belikan aku es krim." Ucap wanita itu setelah turun sendiri dari mobil dan berjalan lebih dulu. Oliver tersenyum tipis melihat betapa menggemaskannya calon istrinya itu. Jelita memilih duduk di dekat jendela dan Oliver mengikutinya. Setelah itu seorang karyawan membawakan daftar menu dan Oliver bisa melihat mata Jelita berbinar melihat menunya. Oliver berjanji akan berterimakasih pada Chiko karena merekomendasikan kafe ini. "Aku mau yang ini, ini sama ini." Ucap Jelita sambil menunjuk beberapa menu dengan bentuk kelinci yang lucu. Oliver mengangguk kemudian hanya memesan kopi untuk dirinya sendiri. "Itu bukannya Aktor favorit kamu?" Oliver berbisik-bisik sambil melirik Julio yang terlihat sedang duduk berhimpitan dengan gadis berseragam SMA yang merupakan adik tirinya. "Sekarang udah enggak suka." Balas Jelita santai. Oliver mengangguk-angguk saja. "Aku sambil lihatin kerjaan boleh nggak?" tanya Oliver. Jelita mengangguk setuju kemudian Oliver mengambil ponselnya dan mulai membuka email yang menumpuk selama beberapa hari ini. Jelita sendiri sibuk melihat-lihat ke sekeliling untuk memastikan apakah ada wartawan yang sedang ada di sana. Jelita sendiri merasa sedikit aneh, karena jika memang sesuai dengan pengetahuannya tentang masa depan, seharusnya kejadian Julio datang ke tempat ini adalah dua hari lagi. Dan seharusnya Oliver tidak membawanya ke tempat ini. Karena seingat Jelita dulu mereka langsung pulang setelah Fitting baju. Kenapa kejadian ini berubah dan tidak sesuai dengan masa depan yang di yakini Jelita benar adanya? Jelita bertanya-tanya dan hal itu membuat Oliver menatapnya dengan tertarik. Karena Jelita yang sedang berpikir dimata laki-laki itu selalu terlihat menggemaskan. Keduanya sampai rumah jam empat sore, Jelita langsung masuk ke dalam kamar untuk mandi dan begitu dia keluar dari kamar mandi matanya membulat mellihat berita skandal Julio sudah Viral di sosial media. "Kenapa masa depan berubah?" gumanya seorang diri. "Apakah aku salah ingat tentang masa depan atau ada faktor lain?" gumamnya lagi. Jelita berpikir keras sampai tidak sadar ada yang membuka pintu kamarnya karena sejak tadi mengetuk pintu tapi dia tidak dengar. "Ta! kamu mikir apa sih?" suara Bariton yang sangat Jelita kenali itu membuatnya terbangun dari pikiran beratnya. Di pintu kamarnya sudah ada Regarta sedang menggendong Arion yang terlihat habis menangis. Jelita langsung berteriak senang dan berlari menghampiri keponakannya yang lucu itu kemudian memberinya ciuman bertubi-tubi. Membuat Arion kembali menangis. Salah satu dari penyesalan Jelita adalah para keponakannya. Dulu Jelita jarang bertemu dengan mereka karena Oliver mengajaknya tinggal di luar kota sebab laki-laki itu sedang mengerjakan proyek impiannya di sana. Jelita bertekad bahwa mulai sekarang dia tidak akan mau diajak tinggal di luar kota lagi. "Dia baru diem loh Ta." dengus Regarta kesal. Jelita terkekeh geli. "Kenapa kok nangis mas?" "Di tinggal Rey pergi belanja sama papanya. Sebenarnya diajak tapi badannya lagi agak panas." Ucap Chiko. Jelita kemudian mengambil alih keponakannya yang lucu itu karena dia tahu Regarta pasti ingin menitipkan Arion dengan datang ke kamarnya. "Main sama Onty aja yuk!" ucapnya lembut. Tapi Jelita kemudian mengernyit heran melihat Regarta ikut masuk dan duduk di kasurnya. "LOh aku pikir mas sibuk makanya mau nitipin Ar." "Enggak, mas cuma mau bicara sama kamu. Katanya tadi pagi kamu mimpi buruk?" tanya laki-laki itu. Regarta memang sangat peduli pada adik-adiknya. "Ah itu, nggak terlalu penting kok mas." Jelita terkekeh. Tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena takut dianggap gila. "Sebenarnya percaya nggak percaya dulu waktu mas Rega belum nikah sama Wendy mas juga pernah mimpi aneh. Mimpi tentang kematian Wendy yang terasa nyata banget." Ucap Regarta mulai berbicara. Jelita menatap kakaknya kaget. "Apa itu mimpi tentang masa depan?" tanyanya penasaran. "Bisa di bilang iya bisa di bilang enggak. Tapi mas dulu banyak terbantu karena mimpi-mimpi itu. Sebab orang-orang yang ada di mimpi mas itu ternyata nyata. Ini adalah hal yang nggak akan mas lupakan. Karena mas rasanya kaya di bantu sama Tuhan lewat mimpi." Jawab Regarta membuat Jelita terdiam beberapa saat. Mungkinkah mimpinya serupa dengan Regarta? Tapi kenapa dia dan Regarta bisa mendapatkan mimpi itu? Pertanyaan Jelita semakin banyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD