Bab 10 : Rencana

1052 Words
Si Putih Bab 10 : Rencana "Hamid, kamu ada di dalam? Ini Tante Rossa." "Bang, kamu di rumah gak?" Sayup-sayup, terdengar suara yang memanggil namaku juga bunyi bel yang berbunyi serta klakson mobil. Aku sedikit terusik, padahal sedang asyik bermesraan dengan wanita cantik yang wajahnya mirip Si Putih menurutku. Kubuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, ternyata kehangatan tadi hanya sebuah mimpi. Ah, aku jadi tak ingin bangun jika kutahu itu hanya bunga tidur. Bunyi bel kembali terdengar, aku segera berusaha tersadar dan mengumpul segenap nyawa yang rasanya belum terkumpul semua. Teriakan samar-samar kembali terdengar, itu seperti suara Tante Rossa dan Nanda. Kulirik jam di dinding yang ternyata sudah menunjuk ke arah 09.20. Ya Tuhan, ternyata sudah siang sekali ini. Dan lagi-lagi aku melewatkan sholat subuh. Yah, beginilah penyakitku, sholat subuh selalu bolong jika wanita cantik itu masuk ke dalam mimpi. Kuhela napas panjang, lalu beranjak dari tempat tidur kemudian menuju pintu. Benarkah Tante Rossa yang di depan sana? Bukankah dia sakit? Kok sudah ke sini. Aku melangkah cepat keluar dari kamar lalu menuju pintu depan, dan membukanya. Tampaklah Tante Rossa dan Nanda di depan sama. Aku segera meraih remot untuk membuka pagar. Melihat pagar terbuka, Nanda dan Tante Rossa masuk kembali ke dalam mobil lalu membawanya masuk ke dalam perkarangan rumah. "Baru bangun kamu, Mid?" tanya Tante Rossa saat ia sudah keluar dari mobil. "Iya, Tan, mumpung hari libur." Aku menggaruk kepala sambil mengamati Tanteku yang kemarin sakit itu. 'Tante udah sembuh? Kok udah ke sini?" "Hmm ... Udah, kamu aja yang nggak nongol lagi ke rumah sakit." Tante Rossa menarik tangan Nanda untuk masuk ke dalam, keduanya lantas duduk di sofa ruang tamu. "Duduk dulu deh, Tan, Hamid mau cuci muka dulu!" ujarku sambil mengusap wajah dan kemudian berlalu masuk. "Sekalian mandi, Mid, biar seger!" jawab Tante di belakangku. Aku melangkah cepat menuju kamar, sedikit penasaran akan maksud kedatangan Tanteku itu, padahal menurutku dia belum sehat betul. *** "Mid, Tante mau kamu segera melamar Nadine. Kamu suka 'kan sama dia? Kalian pasangan serasi, segera akhiri masa lajangmu ini!" ujar Tante Rossa saat aku sudah kembali dari kamar, duduk di hadapannya di ruang tamu. Aku terdiam. "Sebelum Nadine kembali ke tempat tugas, sebaiknya kalian tunangan saja dulu. Tante sudah sangat setuju dengannya, pokoknya kamu harus nurut! Nadine itu wanita sholeha dan sangat pantas menjadi pendampingmu. Tante juga sahabatan sama mamanya, orangnya juga baik." Tante Rossa terlihat begitu bersemangat. Aku mengangguk saja sebab pemikiranku juga begitu, syukurlah Tanteku ini bisa mengerti isi hatiku. "Iya, Tante, Hamid juga maunya gitu dan ... Tadi malam sudah ngomongin ini sama Nadine." Aku menggaruk kepala, kalau bicara masalah hati bawaannya jadi panas dingin saja nih suhu tubuh. "Oh begitu, bagus deh. Sore ini juga, kita langsung adakan acara lamaran kalo gitu. Eh, acara lamaran plus tunangan. Bulan depan langsung nikah. Gimana?" Tante Rossa tersenyum lebar. Aku hanya mengerutkan dahi, pengen sih nikah cepat tapi jika teringat Si Putih, hati mulai bimbang. Padahal tak ada hubungannya dengan Kucing Nek Sola itu, tapi aneh saja, dia seringkali mengalihkan duniaku. "Nanda, segera hubungi wedding organizer. Pokoknya Mama mau tahu beres saja." Wanita bergamis ungu itu mulai membeberkan apa saja yang harus disiapkan kepada Nanda--sepupuku. Nanda terlihat manggut-manggut saja sambil sibuk dengan ponselnya. "Ya sudah kalau begitu, Tante akan ke rumah Nadine dulu untuk mempersiapkan segalanya. Acara lamarnya pukul 15.30, pukul 14.00 kami akan ke sini. Kamu siapkan diri saja!" Tante Rossa bangkit dari sofa. Tante Rossa dan Nanda pamit pulang, sedangkan aku jadi bingung sendiri dan tak yakin akan semua ini. Nadine, bukankah dia meminta bukti keseriusanku? Dan Tante Rossa begitu bersemangat untuk menyiapkan segalanya. Aku hanya tingga datang saja, semuanya akan beres. Seharusnya aku senang akan semua itu, tapi hati malah bimbang. Oh iya, bagaimana kabar Si Putih, ya? Aku luka-lukanya sudah sembuh. Aku jadi merindukan dia. Sebaiknya aku ke rumah Nek Sola untuk melihatnya, aku akan tenang jika dia baik-baik saja. Aku segera melangkah menuju garasi untuk mengeluarkan motor matic milikku, yang jarang sekali kugunakan ini. Segera kupacu motor matic berwarna putih ini sebab aku memang menyukai warna putih. Hampir semua barang-barangku berwarna putih, aku suka warna ini karena putih melambangkan kebersihan juga membuat mata bersinar melihatnya. Ah, mulai ngelantur aku. Beberapa saat kemudian, aku telah tiba di depan rumah Nek Sola. Belum sempat aku turun dari motor, terlihat seorang wanita bertubuh ramping melangkah keluar dari dalam rumah gadang milik Nek Sola. Ah, dia wanita yang sering hadir dalam mimpiku. Siapa dia? Aku menautkan alis, mengamatinya dari sini. Eh, ini mimpi atau nyata, ya? Kucubit lengan untuk memastikannya. Aduh, sakit. Ini bukan mimpi ternyata. Dia menoleh, di dahinya terlihat ada perban, sikunya juga. Kok area lukanya mirip Si Putih, ya? Jangan-jangan ... Aku segera turun dari motor dan melangkah cepat untuk menghampirinya. "Putih, kamu Si Putih 'kan?" Aku berdiri di hadapannya yang saat itu baru saja turun dari atas anak tangga rumah. "Eh!" Dia terkejut menatapku. "Aku takkan melepaskanmu, juga takkan membiarkanmu berubah jadi kucing lagi," ujarku sambil menangkap pergelangan tangannya. "Lepaskan! Aku tak kenal kamu!" ujar wanita itu. "Mengaku saja, kamu Si Putih 'kan? Kamu juga sering hadir di dalam mimpiku, aku sangat yakin ... kamu adalah jelmaan hewan kesayanganku itu!" Aku takkan melepaskan tangannya sebelum dia mengakui semua. "Lepaskan!" Lirihnya namun tak berani menatap mataku. "Siapa kamu sebenarnya, Putih?" Aku meraih wajahnya untuk menoleh ke arahku. Wanita tinggi semampai dengan rambut panjang tergerai itu menatapku sekilas sebelum membuang pandangan lagi. "Tatap aku, Putih!" Aku meraih kedua tangannya. Wanita itu menggigit bibirnya dan terlihat kebingungan tapi ia tak dapat melarikan diri karena tangannya kugenggam keduanya. "Aku akan bertunangan dengan Nadine, Putih, dan kami juga akan menikah. Akan tetapi aku bingung memikirkanmu. Aku ... Mencintaimu, Putih .... " Kata-kata keramat itu keluar juga dari bibir ini, aku sangat yakin dia adalah Si Putih. Wanita mirip Si Putih itu terkejut, wajahnya terlihat memucat. Kuraih wajah cantik itu dan memintanya untuk menghadap ke arahku. Untuk beberapa saat, kami saling tatap. Mata biru berkilaunya membuatku semakin hanyut akan rasa cinta tak wajar ini. "Ikutlah denganku, Bang!" ujarnya sambil menarik tanganku. Aku menurut saja saat ia menarik tangan ini, sedangkan mata kami masih terus bersitatap. Tiba-tiba, wanita mirip Si Putih itu menarik tubuhku masuk ke pusaran angin yang terdapat di belakang rumah tua milik Nek Sola. Tubuhku terasa ringan lalu melayang, dan tak ingat lagi apa yang terjadi. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD