Prosecution | Chapter 3

1735 Words
            “f**k!”             Chrissy tertawa mendengar u*****n Hazel. Sebulan tidak berkomunikasi, ternyata yang paling ia rindukan dari wanita itu adalah suara memekiknya saat mengumpat.             “Aku tidak merasa ini adalah sesuatu yang lucu, Chrissy. Ini serius!”             “Aku tahu.” Chrissy tertawa lagi. Ia tidak akan mengatakan apa yang jadi alasannya tertawa.             “Lalu bagaimana rasanya?” tanya Hazel. “Kau boleh saja bersedih, merasa hancur—tentu saja aku prihatin, sangat. Aku menyayangimu, Sy. But, don’t forget you’re a normal woman too—paling tidak kau merasakan ‘sesuatu’, kan? If you know what I mean.”             “Oh, betapa aku berharap Helen berada di sini.” Chrissy mengusap wajahnya, pasrah. “Setidaknya, dia tidak akan mengajukan pertanyaan yang melecehkan seperti itu.”             “Melecehkan?” Suara Hazel naik satu oktaf. “Aku tidak—argh, fine. Anggap aku tidak bertanya apa pun—lagipula, aku tidak yakin kau akan menceritakan hal ini jika ada ibuku itu, Sy.”             “Lihat siapa yang kesal.” Chrissy mencolek pinggang Hazel, menggoda wanita itu supaya tersenyum. Melihat Hazel menyembunyikan senyumnya, lalu melempar bantal tepat mengenai wajah Chrissy, Chrissy tertawa. Kemudian, ia menghela napas panjang yang sarat akan sebuah emosi tak menentu.             “Baiklah....” Hazel menyadari Chrissy hampir menangis. “Obat patah hati yang paling mujarab adalah belanja,” katanya penuh semangat, yang seketika menghilang setelah melihat reaksi Chrissy yang hanya terdiam murung. “Oh, aku bersumpah akan membunuh siapa pun laki-laki berengsek itu,” ujar Hazel. “Aku bisa mencari tahu daftar tamu undangan pesta itu kalau kau mau.”             “Tidak,” sahut Chrissy, cepat. “Aku tidak mau tahu siapa laki-laki itu, Haze—at least, aku tahu dia orang kaya, dan bukan tua bangka. Ini bukan sepenuhnya salah laki-laki itu. Seharusnya aku tahu itu bukan Liam—ah, tapi laki-laki itu juga seharusnya tahu aku mengiranya sebagai orang lain.” Lagi-lagi, Chrissy menghela napas panjang.             “Kalau begitu, dia mengenalmu.” Hazel mengatakan fakta yang sudah berkali-kali ingin Chrissy tepis. Tentu saja Chrissy sudah memikirkan dugaan itu. Tapi siapa? Siapa yang dengan tega melakukan hal itu padanya? Merenggut sesuatu yang sangat berharga darinya, lalu pergi begitu saja. Apa laki-laki itu membencinya? Chrissy tidak pernah memiliki musuh, dia memang tidak memiliki banyak teman dekat, tapi setidaknya dia tidak pernah membuat masalah dengan orang lain. Chrissy selalu menginginkan kedamaian.             “Aku tertipu dengan warna matanya yang sama dengan Liam. Padahal kalau dipikir-pikir, mereka memiliki perawakan yang berbeda. Laki-laki itu lebih tinggi dibanding Liam, tapi mereka memiliki harum parfum yang sama. Mungkin, itu salah satu faktor lain yang membuatku dengan mudah menyangka dia adalah Liam. Bodohnya, seharusnya aku sudah curiga saat dia tidak mengatakan apa pun.” Chrissy mendongakkan wajahnya ke atas menghadap langit-langit kamar Hazel, seraya mengipas-ngipaskan tangannya di depan mata. Air matanya sudah hampir tumpah.             Hazel menarik Chrissy ke dalam pelukannya. “Siapa pun yang telah jahat padamu, akan menerima hukuman yang lebih jahat. Apa yang kau tanam, itu yang kau tuai.”             Chrissy merengkuh Hazel erat selama beberapa lama, lalu melepaskan diri. Matanya basah karena air mata, tapi dia jauh merasa lebih baik sekarang. “Apa tawaran shopping-mu masih berlaku?” ***             Chrissy pulang ke arah yang berlawanan dengan Hazel. Ia memutuskan untuk tinggal di hotel, sementara sepupunya itu bertolak ke Prancis untuk melakukan pemotretan. Hazel  memang sudah tinggal lebih lama di Amerika sebelum Chrissy datang ke sana. Dua hari yang lalu, Hazel bahkan baru saja menemani Sam membeli perlengkapan kamar asramanya. Baru saja hendak menanggalkan pakaiannya, ponsel Chrissy berdering.             “Kau sudah di hotel?” Itu Hazel, suaranya terdengar berbaur dengan suara shower.             “Kau sedang mandi?” tanya Chrissy.             “Yeah, kita terlalu banyak berkeliling dan badanku lengket semua. Istirahatlah, Chrissy. I just make sure you have arrived safe and sound.”             “Trims, Sayang. Jangan tidur terlalu larut, Haze, dan jangan mengendap-endap keluar rumah lagi.” Chrissy mengungkit cerita Hazel tadi sore. Tentang kejadian satu minggu yang lalu, saat Mario—manajernya, mengejar Hazel seorang diri, sewaktu ia kabur diam-diam di tengah malam sebelum pemotretan. Mario berlari lebih cepat dari Hazel, dan berhasil menangkap wanita itu, menggendongnya seperti karung di bahu.             “Oh, aku bersyukur tidak ada siapa pun yang menyaksikan adegan konyol kami malam itu,” ujar Hazel. Chrissy merasa sepupunya itu sedang memutar matanya sekarang.             “Night night, Manis. Besok aku akan kembali ke London setelah bertemu Sam, penerbangan pagi. Kau tidak perlu mengantarku atau menyuruh orang suruhanmu ke mari. Aku bisa pergi sendiri.”             “Got it. Aku harap kau sudah lebih baik sekarang.”             Chrissy melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur, lalu berjalan menuju balkon. Pemandangan Manhattan di malam hari tidak pernah mengecewakan. Meskipun dia menginap bukan di hotel biasa tempat dia dan keluarganya menginap, tapi tampaknya ini merupakan keputusan yang baik untuk mencoba tempat baru.             Memandangi kelap-kelip lampu gedung-gedung di malam hari, Chrissy teringat akan Liam. Bagaimana kabar pria itu sekarang? Dia sudah berhenti menghubungi Chrissy sejak kepergiannya mengunjungi Hazel di apartemennya di Amerika. Mungkin Nathalie sudah menghubungi Liam, memberitahunya agar tidak menghubungi Chrissy sampai wanita itu sendiri yang menghubungi duluan. Yang jadi masalah, harus bagaimana saat Chrissy menghubunginya nanti? Apa yang akan dia katakan pada Liam, tentang alasannya tiba-tiba mengurung diri dan menolak siapa pun mengunjunginya?             Chrissy mengacak-acak rambutnya, meremas, sambil menundukkan kepala menghadap halaman depan hotel yang berjarak lima belas lantai dari kamarnya. Terbayang betapa lucunya berita utama besok pagi ‘Putri Pengusaha Terkenal Aram Alford Bunuh Diri’. Apa yang akan dipikirkan pria asing di pesta itu kira-kira?             Chrissy memeluk tubuhnya sendiri. Mengembalikan ingatannya ke malam itu membuat bulu kuduknya berdiri. Anehnya, udara di sekitarnya jadi menghangat saat ia memikirkan sentuhan pria itu. Karena sejujurnya, meskipun yang terjadi malam itu adalah kesalahan, Chrissy tidak bisa mengelak kalau ia juga menikmati apa yang dilakukan pria itu padanya.             Maybe this is what those people talked about the best mistake.             Chrissy bahkan masih mengingat bagaimana rasanya saat pria itu melumat bibirnya. Membubuhkan sedikit gigitan-gigitan lembut, membelai lidahnya... that was her first kiss. Ciuman pertama yang memabukkan. Bagaimana dia bisa melupakannya begitu saja, saat rasa pria itu bahkan masih dihafalkan dengan jelas oleh bibir dan lidahnya sendiri?             Chrissy kembali ke dalam kamar, seraya menanggalkan satu per satu pakaian yang ia kenakan, membiarkannya tergeletak begitu saja di lantai. Wanita itu memutuskan untuk mandi, dan setelahnya dia akan segera tidur. Meskipun singkat, Chrissy berharap kunjungannya ke sini bisa menjadi awalan baik untuknya menjalani kehidupan normal seperti biasa, dan itu dimulai besok. Meskipun tidak bisa lupa sekaligus dalam satu waktu yang singkat, seiring dengan kembalinya Chrissy melakukan kesibukan sehari-harinya, wanita itu yakin ia bisa menutup rapat-rapat kejadian malam itu. Terlebih lagi, dia memiliki Liam di sisinya. Tidak sekarang, tapi suatu hari nanti dia akan mengatakan sejujurnya pada tunangannya itu tentang apa yang menjadi alasannya menghindar dari semua orang selama satu bulan kemarin.             Sedikit ngeri membayangkan reaksi Liam, Chrissy berdoa, semoga pria itu bisa bersikap bijaksana saat mendengarkan ceritanya nanti. ***             “Mom!” Chrissy menyongsong Nathalie, memeluk erat wanita itu dengan kedua tangannya yang penuh memegangi kantong-kantong belanja. Wanita itu menyengir tanpa rasa bersalah saat Nathalie melengos menggelengkan kepala melihat kantong-kantong itu. “Like mother like daughter, Mom,” katanya.             Nathalie mengacak-acak rambut Chrissy. “Itu dulu, saat aku baru saja merasakan kebebasan menggunakan uang selepas menikah dengan Daddy-mu. Setelah itu tidak lagi.”             “Bohong,” sahut Chrissy. “Aku pernah mengintip rincian tagihan kartu kreditmu.”             Nathalie berdeham, salah tingkah. “Kau sudah makan?”             Chrissy tersenyum mendengar Mommy-nya itu mengalihkan pembicaraan. “Aku sudah sarapan di pesawat. Di mana Dad? Aku membelikan dasi baru untuknya.”             “Dia sedang di ruang kerjanya. Ada beberapa pegawainya yang berkunjung, sepertinya menyerahkan beberapa laporan penting yang harus segera diperiksa dan itu semua karena ulahmu.” Nathalie mengungkit aksi Chrissy mengurung diri di dalam kamar. Karena panik dan cemas luar biasa, Aram menolak meninggalkan rumah dan menyuruh sekretarisnya membatalkan semua janji temu perusahaan sampai Chrissy keluar dari kamar. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian pria itu, jika semua kliennya membatalkan perjanjian bisnis atau meminta ganti rugi. Beruntung tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan dua hal tersebut.             Suara percakapan Aram bersama beberapa orang yang terdengar dari pintu menuju taman belakang, mengalihkan perhatian Chrissy dan Nathalie. Pria itu terlihat berbeda dibanding orang lain yang berjalan mengelilinginya. Aram hanya mengenakan piyama tidur, sementara lima orang lainnya berpakaian rapi dengan setelan jas, dan blazer.             “Daddy!” Chrissy berlari, memeluk Aram dengan cara yang sama dengan saat ia memeluk Nathalie. “Aku membelikanmu sesuatu.” Ia lalu menunjukkan sebuah dasi yang masih terlipat rapi di dalam bungkusannya.             “Seperti biasa... My Baby Cheesy menambah koleksi dasi-dasiku.” Aram tersenyum, mengambil bungkusan dasi dari tangan Chrissy, lalu mencium kening putri sulungnya itu. “Trims, Sayang.”             Chrissy melirik ke arah lima orang yang sekarang tampak membungkuk memberi salam padanya. “Apa kau baru saja rapat di dalam rumah?” Ia mengernyit tak suka kepada Aram.             Aram menaikkan sebelah alisnya. “Kau pikir siapa yang membuatku melakukan ini?” Kemudian, ia menjitak kepala Chrissy, pelan. “Go up into your room, and take a rest. Nanti malam, kita akan makan malam bersama Liam dan keluarganya. Aku merasa bersalah telah menuduhnya macam-macam, dan ku harap kau sudah bersedia menemui Liam.”             “Ah, soal itu... bagaimana kalau lusa saja? Aku sedang tidak ingin pergi ke mana pun malam ini.” Chrissy tersenyum ragu-ragu.             Aram bertukar pandang dengan Nathalie. Melalui pandangannya, Nathalie seolah mengatakan ‘bukankah sudah kubilang?’ pada Aram. Menarik napas panjang, Aram menepuk-nepuk kepala Chrissy,”Everything for you, My dear.”             Chrissy tersenyum, mundur selangkah lalu memberi jalan untuk Aram dan lima orang yang mengikutinya. Satu per satu dari mereka berjalan melewati Chrissy. Setelah itu ia kembali ke posisi semula, bersiap pergi ke kamarnya usai mengambil kantong belanjanya yang ia letakkan di dekat kaki.             Baru beberapa langkah, seseorang dari belakang menubruknya cukup keras hingga Chrissy kehilangan keseimbangan. Kantong-kantong belanjanya jatuh, sementara orang yang menubruknya berhasil menangkap Chrissy sebelum wanita itu jatuh tersungkur ke lantai.             “Maafkan aku. Aku terlalu sibuk membaca pesan.” Ternyata seorang pria, salah satu pegawai yang sudah bekerja cukup lama dengan Aram. Chrissy sempat beberapa kali bertemu laki-laki itu di kantor Aram.             “Tidak masalah....” Chrissy berdiri, mengambil kantong-kantong belanjanya yang jatuh, dibantu oleh pria itu. “Terima kasih..., ehm...” ujarnya, saat pria itu menyerahkan kantong-kantong belanja yang ia pungut. Kemudian, ia tampak berpikir karena gagal mengingat nama laki-laki itu.             “Benjamin. Benjamin Clayton.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD