Si posesif gila

1349 Words
Ketika aku sudah menatap pada satu wanita. Maka tidak akan aku ijinkan mata pria lain menatap padanya. *** "Lang, Qiana pingsan!" Suara dari balik telpon sana membuat cowok berusia 19 Tahun ini mencengkram erat stir di depannya. Pikirannya mulai kacau. Cowok itu menggigit dalam bibirnya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Qiana adalah hidupnya. Mereka berpacaran hampir dua Tahun. Dan untuk mendapatkan waktu yang berharga itu bukanlah hal yang mudah. Mereka banyak melewati liku-liku dan kerikil yang tidak spele. Bukkkhh! Erlangga memukul stir di depannya. Ia amat marah pada lampu merah yang belum juga berganti menjadi hijau. Ah, inilah sesuatu yang membuatnya frustasi setengah mati. Ketika gadisnya jauh darinya, ketika gadisnya tidak mau mendengarkan rasa khawatirnya. Cowok yang sedang memakai kaos lengan panjang hitam dan celana jeans hitam ini. Memang dari dua hari yang lalu melarang pacarnya untuk ikut menjadi panitia kemping. Selain karena sudah kelas tiga yang harusnya fokus belajar. Erlangga juga sangat tahu kalau gadisnya itu tidak kuat dengan suhu udara yang dingin. Kemping tahun ini di adakan di puncak kebun teh yang bersuhu rendah. Awalnya Qiana menolak. Namun karena dia di percaya dari pihak Sekolah karena kecerdasannya sebagai murid terbaik di Mutiara Bangsa. Juga sebagai kenangan bahwa setelah ini ia tidak akan mengikuti kegiatan itu lagi. Mengingat dirinya sudah menginjak kelas 12. Erlangga sekali lagi menarik napas rakus. Ia segera keluar dari mobil sport-nya itu. Lantas mencari ojek yang mungkin ada yang ngetem di sekitar tempat tersebut. Pikirannya terus saja berkelana seakan saat ini ia sedang melihat gadisnya sedang di kerubungi pihak medis. Dengan alat yang di pasang sana-sini memenuhi anggota badannya. Ia amat takut. Sampai ketika menyebrang jalan menuju tukang ojek. Ia hampir tertabrak sepeda yang sedang melaju kencang di depannya. Kejadian itu ... Erlangga trauma. Ia takut ada kejadian yang lebih mengerikan, selain kejadian setahun yang lalu. Kejadian yang membuatnya sampai sekarang menjadi over protektive. Perasaan cemas yang keterlaluan saat Qiana jauh darinya. Ah, Erlangga frustasi. Kenapa tukang ojek penuh semua, lalu bagaimana bisa ia sampai menemui gadisnya kalau begini. Oh Erlangga lupa. Ini hari minggu, tukang ojek pasti sibuk dengan Ibu-Ibu yang pulang pergi ke pasar. Masa Erlangga mau rebutan tukang ojek sama Ibu-Ibu? Yang benar saja Erlangga. Cowok itu kini mondar-mandir di tepi jalan. Di kota Bandung ternyata ada juga kisah macet sampe padat seperti itu. Erlangga pikir cuma di Jakarta saja ada kisah macet. Kalau begitu sama saja mau Bandung, mau Jakarta, atau kota kecil seperti Pelabuhan Ratu sekalipun. Yang namanya macet enggak ada habisnya. Huh, kadang Erlangga berpikir enak kali ya kalau ada MRT atau LRT seperti di Singapura. Yang pernah ia kunjungi setahun yang lalu---ketika ia membeli sebuah kalung berlian untuk tunangannya itu. Yaa mereka sudah bertunangan meski masih status pelajar. Cowok itu menggelengkan kepalanya jengah sendiri jadinya melihat mobil yang padat malah semakin panjang. Erlangga meremas rambutnya frustasi. Bagaimana keadaan gadisnya saat ini? Pertanyaan di kepalanya itu semakin membuatnya setres sendiri. Seperti orang yang di tagih hutang oleh rentenir, dan ia tidak bisa membayar hutangnya tersebut. Rambutnya menjadi kusut akibat remasan yang ia lakukan berkali-kali tanpa henti. Sampai seorang ibu-ibu yang lewat di depannya bergumam. "Ganteng-ganteng ko setres, sayang banget!" _Lana_ Di sebuah ruangan, seorang gadis sedang di kerubungi perawat khusus Sekolah, Mutiara Bangsa memang Sekolah elit yang memberikan layanan yang ekstra untuk ke amanan dan kenyamanan muridnya. "Bagaimana teman saya Sus? " tanya Aska dia adalah anak kelas 11, dia adalah ketua OSIS baru setelah lengser-nya masa jabatannya Sean. Sean adalah sahabatnya Qiana, dia Ketua OSIS sebelum Azka.  "Dia baik-baik saja ko, hanya saja dia memang tidak kuat dengan suhu dingin seperti di puncak ini." jelas perawat tersebut.  Aska menatapnya cemas. Selama dua tahun ini. Ia sudah memperhatikan Qiana meski dari jauh. Meski hanya sebatas hubungan organisasi saja. Namun tidak lantas membuatnya melupakan gadis itu begitu saja.  Menurutnya, Qiana itu spesial. Dan berbeda dengan yang lainnya. "Aska..." lirih Qiana pelan.  "Eh, iya Kak. Gimana sudah enggak dingin kaya tadi kan. Kakak ini di minum ya, tadi Aska udah buatkan wedang jahe. Lumayan, pasti bikin Kakak anget deh,"  Cowok itu menyodorkan segelas wedang jahe. Qiana perlahan bangun, dan segera meraih wedang jahe tersebut.  "Thanks... " ucap Qiana hangat. Adik kelasnya yang satu itu memang beda. Ia selalu memperhatikan dirinya dan memperlakukan dirinya dengan sangat baik.  "Teh Qiana udah punya pacar ya? Kak Erlangga ya?" ucap Aska beruntun.  Qiana mengangguk." betul banget, kamu pinter banget." celoteh Qiana dengan senyuman sumbringahnya.  "kenapa? " tanya Qiana lagi. Lalu menyimpan gelas yang tinggal setengah isinya itu di meja di sampingnya.  "Enggak, kalian serasi." jawab Aska sekedarnya, meski bukan itu yang sebenarnya ingin ia katakan.  "Kamu ada-ada aja." gadis itu senyum manis merapikan anak rambutnya ke belakang telinganya. Membuat Aska tak bisa berhenti menatapnya.  "Ehemm! " kedua muda-mudi itu. Langsung memutar dirinya menatap ke arah suara tersebut.  Seorang cowok tinggi tegap, dengan pakaian serba hitam, menatapnya tegas dan tentunya penuh arti. "Lang..." sapa Qiana. Cowok itu segera melangkah lebar, mendekati Qiana dan segera memeluknya. Membuat Aska melengos, mengalihkan tatapannya ke arah lain.  "Lang... Aku sesek! " cewek itu perlahan mendorong Erlangga. Merasa tidak enak dengan kehadiran Aska di sana.  "Nagapain kamu tetap di sini. Pergi sana!" cetus Erlangga, sudah tentu cowok itu cemburu. Dengan senyum kikuk, Aska segera pergi dan meninggalkan keduanya.  "Lang ikhhh, sesek." gadis itu kembali protes.  "Ngapain dia di sini tadi? " Erlangga duduk di kursi bekas Aska tadi.  "Dia kan ketua OSIS. Dia cuma nungguin aku Lang" jelas Qiana tenang.  "Dan ngapain ngobrol tadi? " Qiana senyum tipis." Dia nemenin aku sayang." ucap Qiana lembut. Ia tahu pacar posessive-nya itu mulai memperlihatkan sikap aslinya. Sikap asli Erlangga yang memang sangat posessive sejak awal mereka pacaran. Dan hanya ada satu cara untuk meluluhkan kemarahan cowok itu. Yaitu dengan kelembutan. Dan pegangan hangat tangannya. "Fine. Kita pulang!" tegas Erlangga.  "Tapi Lang, aku sedang kemping ... " "Enggak ada! Enggak ada kemping, enggak ada! Dan enggak akan pernah lagi!" tegasnya tak ingin di ganggu gugat.  Qiana hanya mampu terdiam. Seperti itulah Erlangga, tegas, posessive, dan tidak mau di bantah.  "Lang ... " lirihnya,  "Kenapa? Mau nikah muda!" kalau dulu ancamannya adalah sebuah ciuman. Maka sekarang ancamannya adalah sebuah pernikahan. Erlangga akan mengancamnya seperti itu bila gadisnya itu mulai ngeyel dan tidak mengindahkan perkataannya. Tentu saja Qiana tidak mau nikah muda. Memangnya jaman Siti Nurbaya, atau jamannya si Dini, alias pernikahan dini.  Gadis itu merapatkan mulutnya, ia tahu Erlangga tidak akan mengijinkannya tinggal lebih lama di per-kempingan ini.  "Ayo ... " cowok itu membantunya bangun.  "Lalu barang-barang aku gimana, Lang?"  "Nanti aja, pokoknya sekarang ayo kita pulang dulu!" hemmm, gadis itu lagi-lagi hanya bisa terdiam pasrah, dari pada berisik. Diam lebih menyenangkan menurutnya. "Kamu tuh emang ngeyel banget, aku kan udah bilang dari kemarin. Aku enggak ijinin kamu buat ikut kemping. Kamu tuh masih aja ngeyel!"  Ok, Qiana tidak akan pernah bisa melawan cowok ini, jadi yaaa ... Nikmati saja, gadis itu hanya terdiam mengerucutkan bibirnya. Menyandarkan kepalanya di d**a bidang cowok itu. Ia di bopongnya. Erlangga tidak akan membiarkannya jalan dengan kondisi seperti itu.  "Kalo sekali lagi kamu ngeyel lagi, aku pastiin pokonya, kita bakal nikah muda. Biar sekalian enggak usah kemana-mana. Diem aja di rumah! Ngerti kamu ya! " Ikhh, jadi cowok ko, bawel banget. Udah kaya emak-emak kesannya. Pikir Qiana sebal.  Lagian kaya mudah aja nikah muda, mentang-mentang orang kaya. Sekolah dulu yang bener, nikah aja yang di pikirin ... "Denger enggak! " Erlangga mengertakan ke-dua lengannya.  "Iya ikhh, aku denger sayang."  Gadis itu menunduk dalam, seperti seorang penjahat yang sedang di hakimi oleh pihak kepolisian.  "Awas aja! Kalo enggak denger. Dan satu lagi, jauhi itu yang namanya si Azka jelek! Enggak boleh deket-deket sama dia, haram hukumnya! " Gadis itu mengulum senyumnya, cowok itu memang sangat lucu kalau sedang cemburu. Tapi juga menyebalkan tingkat Dewa.  "Denger enggak!" "Ikhh, iya. Aku denger, kamu tuh bawel banget ikhh."  "Karena aku sayang kamu. Makanya aku bawel, " "Iya aku tau,"  "Kalo tau kenapa ngeyel, coba?" "Iya, maaf. " cewek itu mengelus lembut rahang Erlangga. Membuat cowok itu mengehentikan langkahnya, dan menatapnya gemas.  "Awas aja kalo berani nakal lagi, aku pastiin hukum kamu!"  Ucapnya pelan, menatap lekat wajah cantik di dekatnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD