POV Leyra (awal mula jadi keluarga Laoval)

1350 Words
Di kehidupanku yang dulu, masih terukir jelas diingatanku bagaimana pertemuanku dengan keluarga Laoval diusiaku tepat ke- 6 tahun. Aku yang tidak tahu arti orang tua hanya sibuk berdiam diri dari keramaian panti asuhan. Hingga suatu hari, ibu panti mengatakan bahwa hari itu adalah ulang tahunku. Seperti biasa hari itu hanya diadakan dengan berdoa, tetapi aku tetap mensyukurinya. Namun, hari itu justru menjadi hari yang spesial bagiku. Sungguh sebuah keajaiban yang patut aku banggakan. Seorang anak perempuan yang sangat cantik tiba-tiba memanggilku. Namanya Andrea, tangannya yang lembut menyentuh pundakku yang dingin karena dibahasahi keringatku. Aku memiliki kebiasaan berlari hingga keringat mengucur di seluruh tubuhku, itu kulakukan untuk melupakan hidupku yang kesepian. "Hai, aku Andrea." Tuturnya yang lembut itu membuatku langsung menyunggingkan senyum. "Leyra," jawabku singkat, karena aku tak bisa berbicara banyak seperti kebanyakan orang lain. Aku sangat canggung dan tertutup. "Aku kemari dengan orang tuaku," ujar Andrea. Aku tak menjawab, aku sungguh tidak terbiasa berbicara dengan siapapun bahkan dengan ibu panti sekalipun. "Kudengar kamu ulang tahun ya, selamat ya! Sebenarnya, hari ini aku juga ulang tahun," lanjut Andrea, dan lagi-lagi aku tercengang. "Kata ibu panti, kamu dilahirkan hampir tengah malam ya. Kalau aku saat fajar tiba. Jadi, aku lebih tua. Kamu harus panggil aku kakak ya." Ada rasa kebahagiaan tersendiri ketika aku mendengar penuturannya. Aku memiliki seorang kakak. Andrea berlari ke seberang yang ternyata di sana telah berdiri bu panti dan dua orang pasangan, merekalah orang tua Andrea. Bu panti memanggilku, dan dengan pelan aku menghampiri mereka. Aku terus menunduk tak berani memandang mereka. "Leyra, kamu dan nona Andrea memiliki hari ulang tahun yang sama. Jadi, nona Andrea ingin merayakan berdua denganmu." Aku tertegun mendengar penuturan Ibu panti. Seumur-umur aku tidak tahu kalau ulang tahun itu dirayakan dengan meniup lilin. Andrea menarik tanganku, "ayo masuk, anak-anak lain pasti menunggu kita." Aku menuruti dengan melangkah masuk dengannya. Nyanyian merdu ucapan selamat itu terdengar sangat meriah di hatiku. Aku tersenyum bahagia, itu hari yang sangat berharga bagiku. Baru hari itu, ulang tahunku dirayakan. Ulang tahun yang entah dari mana ibu panti mengetahuinya. Bisa jadi itu hanya karangan mereka saja atau ibu kandungku menyematkan surat saat aku dibuang. Seminggu berlalu, semua hari kembali ke semula. Semu dan membosankan. Namun, perayaan itu masih membekas jelas di hatiku. Aku berusaha tidak melupakannya bahkan berdoa agar Andrea datang ke mimpiku. Dan hari itu tepat hari minggu, seolah mimpiku terwujud Andrea mendatangiku. Sosoknya yang kurindakan menghampiriku. "Kamu lagi-lagi terus di sini ya," ujarnya yang langsung ku iyakan. "Papa dan mama ku sedang bertemu ibu panti. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu. Ayo tunjukkan kamarmu," ujar Andrea yang lagi-lagi menarik tanganku. Dengan senang hati aku menunjukkan kamarku yang berisikan paling tidak 16 anak perempuan di dalamnya. "Ini?" tanya Andrea sembari menunjuk ke dalam kamar. Aku mengangguk mengiyakan. "Di mana tempat tidurnya?" Berusaha mencari tempat tidur yang aku pun tidak tahu bagaimana bentuknya. "Kami memakai ini," jawabku sembari menunjukkan alas tidur tipis berlapiskan sedikit busa. Andrea mengerutkan dahinya, bingung. "Sangat berbeda dengan yang milikku. Busanya tebal dan ketika kita melompat kita seperti terbang." Aku tertegun, memangnya ada tempat tidur seperti itu? Tiba-tiba terdengar suara ibu panti memanggil. Kami segera menghampirinya. "Leyra sayang, kemasi barang-barangmu. Hari ini kamu akan ikut dengan keluarga Laoval. Hari ini mereka resmi menjadi keluargamu." Kedua mata bu panti berkaca-kaca seolah mengatakan 'berbahagialah.' "Yeay... Ayo Leyra hari ini kita akan tinggal bersama," ujar Andrea sembari menarik tanganku hendak kembali ke kamar. "Saya rasa itu tidak perlu, kita akan membelikan Leyra yang baru." Untuk pertama kali aku mendengar suara Pak Laoval. Sungguh aku tidak berani menatapnya, tubuhku tiba-tiba berdetak kencang. "Ayo Leyra," ajak Andrea. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, aku langsung kembali ke dalam kamar dan mengambil sebuah boneka lusuh pemberian bu panti. "Saya pamit," ucapku menatap bu panti yang tengah bercucuran air mata. Tangisannya sulit diartikan, sebelumnya aku tidak pernah melihat beliau seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Laoval aku terus menatap takjub jalanan mulus, bangunan-bangunan mewah, restauran yang berjejer. "Itu apa?" tanyaku ketika menangkap sebuah bangunan yang sangat besar menjulang tinggi. "Itu mall, pusat perbelanjaan. Kita akan ke sana membeli pakaian untukmu." Andrea dengan semangat menjawab pertanyaanku. "Tidak sayang, biar para bibi yang melakukan. Papa harus ke kantor sekarang," ucap Pak Laoval. Andrea mengerucutkan bibirnya, aku tertawa gemas dia sangat lucu. Di mataku dia sangat cantik dengan ponni serta rambut lurusnya persis seperti boneka barbie. Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah besar, dengan warna putih dipadukan warna cream. Sangat indah. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa ini sebuah istana yang selalu dibacakan bu panti? "Ayo Leyra, kita ke kamarku," ajak Andrea sembari menarik tanganku. Aku sangat antusias, ketika sesampainya di kamar Andrea aku tertegun terpaku melihat betapa indahnya kamar itu. Semua yang ada di sana berwarna soft pink. Bahkan boneka-boneka itu berjejer rapi dan memiliki warna yang sama. "Kemarilah," panggil Andrea. Aku menghampiri, setiap langkahku memandang takjub keindahan kamar Andrea. Tiba-tiba Andrea melompat-lompat di atas kasurnya dan dia seperti terbang dengan tertawa aku menghampirinya ikut melompat itu sangat menyenangkan. Begitulah awal kehidupan bergabung dengan Laoval sangat indah. Aku tak kekurangan apapun, semua yang di sana memperlakukanku dengan baik. Hanya saja, ada satu orang yang membuatku kurang nyaman yaitu pak Laoval. Dia sosok yang tidak banyak bicara, bahkan tak pernah kudengar dia memanggil namaku atau sekedar sedikit berbasa-basi . Tetapi, itu bukan masalah aku sangat menikmatinya, dia sudah sangat baik menampungku yang hanya anak buangan di panti ke rumah mewahnya. "Bagaimana bisa, kau kalah dengan anak itu Andrea! Apa kau lupa, alasan kami mengadopsinya?" Untuk pertama kali aku mendengar suara Pak Laoval yang biasanya lembut setiap memanggil kak Andrea itu berubah tegas. "Sudahlah Pa! Jangan ungkit itu aku akan berusaha lebih baik lagi," jawab Andrea. "Pialanya yang tidak aku harapkan itu justru memenuhi rumahku. Di mana milikmu? Kau bahkan tak memiliki satu pun. Apa gunanya aku bersusah payah mengadopsinya? Atau kukembalikan saja dia." Tak terasa air mataku jatuh begitu saja. Aku sungguh tidak mengharapkan ini. Aku kembali ke dalam kamar, mendekati piala yang justru menjadi bumerang untuk Andrea. Aku kira menjadi anak yang pintar itu salah satu bentuk membalas budiku pada keluarga Laoval namun itu malah menyulut emosi Pak Laoval hingga rela memarahi putri kandungnya sendiri. Sejak saat itu, aku kembali tertutup. Aku menjauhkan diri dari Andrea, berharap dia bisa menghabiskan waktunya hanya dengan belajar dan belajar. Namun, lagi-lagi aku tak bisa menolak senyuman hangat itu setiap kali dia memanggilku untuk bermain. "Aku merasa kau menjauhiku," ujar Andrea. Saat itu usia kami genap 17 tahun, sebentar lagi hari kelulusan tiba. Dan kami tengah dihadapkan dengan ujian yang menegangkan. "Belajarlah yang benar sebentar lagi kita ujian," ujarku mencoba menghindari ajakannya. Dia mengerutkan dahi, "untuk apa belajar. Toh, kita akan lulus juga. Papa kan kaya, dengan jentikan tangan saja semuanya akan beres." Aku menatapnya kesal, bisa-bisanya dia sesantai itu. Aku kembali menutup pintu dan mengabaikan panggilannya yang semakin membuatku jengkel. Di sekolah orang-orang tengah disibukkan kegiatan belajar termasuk aku. Aku hanya tersenyum ketika teman-temanku mengatakan kalau juara kali ini namaku yang akan dipanggil. Ya, tidak heran karena aku memang selalu menjadi juara umum selama aku sekolah di sini. Tetapi, entah kenapa kali ini aku merasa was-was. Selama masa ujian berlangsung, aku menjauhi Andrea yang hampir tiap hari mendatangi kamarku. Aku sudah menyerah untuk menyuruhnya belajar, dia tetap saja ingin mengajakku menjalani hobby nya yang membuatku bosan yaitu shopping. Masa ujian telah selesai, saatnya pengumuman kejuaraan yang dimana itu akan ditulis di majalah dinding. Aku membiarkan murid lain terlebih dahulu melihat nama mereka. Aku heran begitu mereka yang antusias sekaligus semangat itu berubah diam. Apa nilainya tidak memuaskan? Tetapi, malah menatapku dengan lirih? Sebenarnya, ada apa? Aku pun maju, dan betapa terkejutnya diriku melihat namaku tepat di tengah nama dari seluruh murid. Aku pun penasaran siapa yang menggeser diriku. Andrea Laoval, nama yang sangat aku kenali berada di sana. Murid-murid lain mulai berbisik menjelek-jelekkan Andrea. Aku tidak mempermasalahkan apapun, yang terpenting aku lulus dan tinggal mencari universitas yang bagus. "Kasihan Leyra, dia belajar dengan keras tapi malah dicurangi oleh saudaranya sendiri. Apa itu bayaran karena dia diangkat menjadi anak?" Entah sudah berapa orang yang mengatakan ini? Aku tidak suka dikasihani. Dan yang paling aku benci, mereka juga mengatai rumor tentang Andrea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD