01|| MENCINTAI UANGMU

3222 Words
Rigel Seema, seorang yang kaya raya. Pemilik Seema Group. Bergerak di berbagai bidang usaha. Seorang yang angkuh dan berhati dingin. Keangkuhan dan ketidak pedulian menjadi salah satu senjata untuk menjadi sukses bagi Rigel Seema. Hatinya tak tersentuh, dingin seperti kutub es. Bukan tanpa sebab pria bermata sepekat tinta itu menjadi seorang dingin. Lima tahun yang lalu ia pria baik dan lembut namun, suatu hal mengubah segalanya dalam sekejap dan menciptakannya menjadi pria dingin. Rigel Seema, meneguk anggur dalam gelasnya hingga tanpa sisa. Memperhatikan keramaian kota dari tempatnya berdiri, lantai tertinggi di gedung itu. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ponselnya sejak tadi meraung diatas meja sofa. Brakk! Seorang pria membuka pintu lalu menutup kencang. Rigel tetap berdiri di tempatnya tanpa menoleh. Ia sudah tahu siapa yang datang dan membuat dentuman keras di tempat itu. "Kalau ada orang menelponmu berulang kali tanpa henti, artinya ada sesuatu yang penting. Angkat! Ketus pria itu seraya berjalan menuju sofa dan mendaratkan bokongnya di sana. "Kau mengganggu pagiku, Aro. Hal penting apa yang membuatmu sampai membanting pintu apartemenku?" Rigel bertanya tanpa menoleh. Seolah tidak tertarik apa alasan pria itu menelpon hingga membuat keributan di apartemennya. Aro berdecih dan menatap malas punggung Rigel dari tempatnya duduk. "Rumah sakit, KH melakukan konferensi pers mengenai malpraktik yang menyebabkan pasien meninggal dunia. Mereka bilang itu terjadi karena kesalahan dokter magang." ujar Aro menjelaskan alasanya menghubungi Rigel. Rigel mengerutkan dahi, ia tidak memahami maksud ucapan Aro. "Jadi itu alasanmu menelpon dan membanting pintu Apartemenku? Lalu apa hubungannya denganku?" "Kau tahu dokter mangan itu siapa?" "C'mon Aro. Aku seorang pebisnis, bukan cenayang." "Dokter mangan itu gadis yang kau cari selama ini." Geram Aro. "Apa?" Rigel memutar tubuh menghadap Aro. Menatap pria itu dengan seksama. "Kau yakin?" Tanya Rigel penuh selidik. Aro menyeringai. "Lihatlah wajahmu. Ini tentu kejutan yang tidak terbayangkan olehmu." Alis Aro terangkat tinggi-tinggi, mencemooh wajah bodoh Rigel lewat tatapannya. Senyum miring tercetak di wajah Rigel. "Shoera." benaknya penuh dendam. *** Shoera, gadis berusia dua puluh enam tahun. Gadis biasa, yang memiliki impian menjadi seorang dokter. Namun, mimpi itu hancur ketika ia dikorbankan menjadi tumbal dari kesalahan pimpinannya di sebuah meja operasi. Sore hari di tepi pantai. Dua gadis bersahabat duduk di bibir pantai, bersama beberapa kaleng minuman alkohol dan camilan cumi kering. "Jadi itu kesalahan dokter magang? Keterlaluan!" Azura meremas kaleng kosong dengan kesal. Tidak terima atas pemberitaan temannya menjadi korban pihak rumah sakit hingga dipecat secara tidak terhormat. Masa depan dan cita-cita Shoera sebagai dokter pupus sudah. Ia dipecat dan nama baiknya menjadi buruk. Tidak akan ada rumah sakit yang menerima Shoera bekerja. "Begitulah, mereka menutupi kesalahan dengan mengorbankan seseorang yang lemah." Shoera menenggak minuman alkohol. Putus asa. "Itu tidak masuk akal, jelas-jelas ini salah pimpinan kalian." "Siapa yang percaya jika mereka sudah sepakat menendangku dari sana." "Karena itu kau harus membela dirimu, Shoera." "Dengan apa? Aku tidak memiliki power untuk itu." ucapnya lirih. Azura kesal. Berdiri dari pasir pantai. Berkacak pinggang, seolah kejadian itu menimpa dirinya sendiri. "Ah yang benar saja. Yak, cctv di ruang operasi kau ..." "Zura, ini sudah direncanakan. Kau pikir mereka berani menyalahkan aku tanpa melenyapkan bukti." Shoera menjeda ucapan temannya. "Aku tidak bisa apa-apa Zura," lirih Shoera, ia memeluk kedua kakinya. "Aku sangat kesal Azura." Shoera mendongak melihat langit yang mulai gelap. "Apa yang harus a-aku lakukan untuk bertahan hidup. Belum lagi biaya pengobatan Sky. Sewa rumah dan biaya kehidupan sehari-hari. Ini menyebalkan!" Air mata Shoera menitik kemudian menenggak habis Bir nya. Azura turut bersedih. Ia kembali duduk dan membawa kepala temannya bersandar pada bahunya. "Jangan khawatir. Cari pekerjaan yang baru." Azura menghibur Shoera. "Akan sangat sulit, Azura. Tidak akan ada yang menerimaku bekerja." Menangis kencang. "Oh sayang, cup, cup. Coba lagi dan semangat. Kau tidak perlu bekerja di rumah sakit. Banyak tempat kerja yang bisa menghasilkan banyak uang." Azura mengusap lembut kepala Shoera. "Kenapa hidupku selalu sial? Kebaikan hidup tidak pernah berpihak padaku." keluh Shoera. "Kau tahu dalam hidup ada ujian, Shoera. Bertahan dan berusaha. Semuanya akan membaik." "Seharusnya Tuhan tidak perlu mengujiku sampai sejauh ini. Tuhan hanya bermain-main atas kehidupanku, benar, kan?" "Astaga Shoera. Sstt … Tuhan mendengarnya nanti dan __" "Dan akan mempersulit kehidupanku." sahut Shoera. "Tuhan tidak akan melakukan itu. Jangan menyalahkannya. Ah sudah lupakan. Kita kesini untuk bersenang-senang. Kau terlalu banyak menumpahkan air mata. Lihat wajahmu semakin hari semakin jelek karena menangis terus." Azura mengambil minuman baru dan memberinya satu untuk Shoera mereka kemudian tos. Azura berdiri lalu menarik tangan Shoera berdiri."Hidup ini singkat, kenapa harus dipersulit." katanya seraya menggelitik perut sahabatnya. Shoera terkikik membalas menggelitik hingga keduanya saling mengejar di bibir pantai. Aro menatap dua gadis dari tempatnya berdiri menggunakan teropong kecil. Dua gadis di sana saling berkejaran dan saling melempar air. "Shoera semakin seksi." ucap Aro. Plak! Aro memekik, kepalanya baru saja di gampar Rigel. "Jaga matamu, sialan!" "Apa yang salah. Itu sebuah pujian." gerutu Aro dengan raut wajah cemberut. Rigel merampas teropong dari tangan Aro dan mendekatkan pada dua netranya yang tajam. "Kau tampak bahagia disana." Rigel melempar teropong dan benda itu segera ditangkap Aro. Rigel menyeringai, membawa langkahnya menghampiri kedua gadis yang tengah berlarian di bibir pantai. "Aku akan mengubah bahagiamu jadi penderitaan." Desis Rigel. Senyum iblis muncul di wajahnya yang rupawan. Karena mabuk Shoera terjatuh dan tertidur di pasir, begitupun dengan Azura. Gadis itu ikut tak sadarkan diri. Rigel melangkah lebih cepat, menghampiri kedua gadis yang tengah terkapar di pasir pantai. Rigel menghela nafas kasar, ia berjongkok dan memperhatikan Shoera dengan seringai sinis. "Dia benar hidup bahagia." Rigel menoel wajah Shoera dengan jarinya. "Bangun bodoh. Kau pikir ini kamarmu?" Rigel kembali menoel wajah Shoera. Shoera tidak bergerak. Rigel mengendus gadis itu. Bau alkohol. "Wanita nakal." "Sepertinya mabuk." Aro menunjuk beberapa kaleng bir tidak jauh dari tempat Shoera pingsan. 'Bagaimana jika aku tenggelamkan wanita ini?Ah tidak, itu terlalu ringan untuknya. Aku akan membuatnya sadar dan membalaskan semua perbuatan wanita licik ini.' Rigel memutuskan mengangkat tubuh Shoera kemudian membawanya pergi. "Kau akan meninggalkannya disini?" Tanya Aro, menunjuk gadis berambut merah. "Urus saja dia, bahwa ke hotel jangan macam-macam kecuali kau bosan hidup." Rigel membawah Shoera menuju mobil. Mendudukkan gadis beraroma alkohol di kursi penumpang. Kemudian ia masuk ke sisi kemudi. Rigel memperhatikan Shoera yang kini menjelma menjadi gadis dewasa yang menarik. Tangannya terulur untuk merapikan rambut Shoera yang menutupi wajahnya. Gadis itu bergerak dan meracau kecil, Rigel segera menarik tangan, menatap dingin Shoera. 'Kau harus membayar berkali-kali lipat untuk penderitaan yang kau berikan padaku, Shoera.' Rigel tersenyum miring, menghidupkan mesin mobil dan mengemudi meninggalkan pantai. *** Apartemen Rigel Seema. Sederet bulu mata lentik, berkedip dan perlahan terbuka. Kepalanya berdenyut sakit. Wanita itu membuka mata dan menarik utuh kesadarannya. Menatap langit-langit kamar lalu tersenyum. Ia berpikir berada dalam mimpi kemudian tertidur kembali. Seketika aura dingin menyeruak di kamar itu, memaksa Shoera bangun dan memperhatikan sekitarnya. "Dimana ini?" Shoera kebingungan, menekan lima jari-jari mungil di kepala, mencoba mengingat, terakhir ia mabuk-mabukan di pantai bersama Azura. Srek… Sosok pria tinggi menyibak gorden, mengijinkan mentari masuk menembus dinding kaca kamar dan menyilaukan pandangan Shoera hingga kedua netra milik Shoera menyipit dan dengan gerakan cepat, Shoera mengubah posisi berbaring menjadi duduk. Menatap punggung pria tinggi yang membelakanginya. "Ini bukan mimpi. Dimana aku?" Shoera menampar mimpinya, sakit. Lalu memperhatikan pakaiannya. Semua masih melekat seperti malam hari. Pria pemilik mata tajam sepekat tinta itu berbalik menghadapnya. "Good morning, Shoera. Bagaimana dengan tidurmu?Nyenyak?" Sapanya dengan suara jelas. Kemudian menghampiri Shoera di tempat tidur. Mata Shoera membelalak ketika melihat jelas pria di hadapannya. "Rigel Seema." Gumam Shoera. Ia tidak menduga akan bertemu pria ini. Rigel tersenyum miring mendengar wanita itu menyebut namanya dengan wajah terkejut. "Kenapa aku berada di sini?" Shoera mengubah raut terkejut menjadi raut biasa. Angkuh dan tidak peduli. Ekspresi angkuh Shoera menjadikan Rigel kesal. Ia pikir gadis ini akan kesulitan bernapas ketika melihatnya. "Kenapa?Kau tidak mengingat apapun?" Kedua tangan Rigel tersimpan di saku celana. Berdiri menjulang di hadapan Shoera. "Aku bersenang-senang di pantai. Menikmati hidup." Mata Rigel berkilat tajam, tangan yang mengepal erat di saku celana keluar mencengkram mulut Shoera. "Dan saatnya kau membayar kesenanganmu itu dengan penderitaan, Shoera." Rigel menekan cengkramannya hingga Shoera membulatkan mata. Rigel melepas cengkeramannya sedikit kasar hingga wajah cantik Shoera berpaling ke arah kanan. "Akhirnya aku menemukanmu. Lima tahun aku mencarimu. Kau pintar bersembunyi." Rigel menarik tempat duduk untuknya, ia jengkel melihat tatapan pongah Shoera. "Untuk apa kau mencariku?" Shoera menyeringai. Sungguh, itu menggelikan untuk Rigel. Seringai Shoera seperti lelucon baginya. Sangat tidak pantas tercetak dari wajah manis Shoera. "Hubungan kita sudah berakhir." ucap Shoera dengan nada datar. "Menenggelamkanmu ke dalam lautan penderitaan." tutur Rigel dari mulutnya yang kejam. "Cih," Shoera mencemooh, ia merapikan pakaiannya yang kusut, turun dari ranjang dan meraih ponselnya di atas nakas dekat ranjang besar itu. "Jika kau muncul untuk menciptakan neraka untukku, silahkan tuan Rigel. Aku sudah lama hidup di neraka dan aku menikmati itu." Ucap Shoera. Rigel menautkan kedua alisnya. Gadis ini sangat menantangnya. Tidak terlihat sedikitpun rasa takut. "Aku tidak menyangka kalau kehidupanmu sekarang sangat menyedihkan." ucap Rigel dengan Nada mengejek "Bukan urusanmu,"Shoera beranjak dari tempat itu. Rigel tersenyum miring. Memperhatikan langkah Shoera menuju pintu keluar. Rigel bangun dari duduknya, mengikuti langkah Shoera. Melipat lengan dan menempatkan di dadanya. Memperhatikan gadis itu mengenakan sepatu di depan pintu utama. "Kau pergi meninggalkanku tanpa sebab. Sebelum aku membuat hidupmu hancur. Aku ingin mendengar langsung kenapa kau menghilang?" Tanya Rigel, menghentikan tangan Shoera menekan gagang pintu. Shoera berbalik untuk melihat Rigel. "Ibumu memberiku satu juta dolar untuk meninggalkanmu. Aku lebih tertarik dengan uangmu daripada cintamu. Jadi aku menerimanya dan menggunakannya bersenang-senang." ujarnya santai. Rigel mengepal tangan, ia tidak menyangka gadis ini begitu licik. Mengatakan cinta setiap kali bersama ternyata hanya menginginkan uangnya saja. "Shoera!" Teriak Rigel menghentikan Shoera membuka pintu. "Jika waktu itu kau menginginkan aku karena uang. Aku bersedia membayarmu untuk tidur denganku berapapun harganya," Rigel menunjukkan kartu Bank VIP berwarna hitam bertinta emas. Shoera mengepalkan kedua tangannya erat. Ia berbalik dan menatap tajam Rigel yang menawarkan kartu yang pastinya dipenuhi jutaan dolar. Seketika ponsel gadis itu berdering dalam saku celananya. Ia merogoh dan melihat layar. Dokter menelponnya. "Halo dokter?" sapa Shoera. Rigel melipat tangan di dαda mendengar Shoera bicara di ponselnya. Shoera tampak kebingungan. "Hari ini?" tanya Shoera "Kami minta maaf ini sudah keputusan dari rumah sakit." Shoera melihat kartu di tangan Rigel. "Satu jam, berikan aku waktu satu jam. Aku akan kesana membawakan uangnya." ucap Shoera. "Shoera, tolong jangan bermain-main. Ini adalah keputusan penting." "Aku mohon, kali ini aku akan membawanya. Tolong dokter." Mata shoera menahan embun di maniknya supaya tidak terjatuh. "Baiklah, aku akan mencoba membicarakannya dengan atasan." "Terima kasih, dokter." Shoera memutus sambungan teleponnya. Ia melihat Rigel. Pria itu tampak santai. Menikmati wajah sendu Shoera. "Rigel, kau mengatakan apa tadi?" tanya Shoera. "Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa." Rigel menarik sudut bibirnya. "Membayarku? K-kau i-ingin membayarku, bukan?" tanya Shoera terbata-bata. Wajah pongahnya lenyap kini tergantikan oleh kesedihan. Rigel membaca keadaan, dia ingin menyiksa gadis ini bukan? Baiklah, kita mulai dari sekarang. "Untuk apa aku membayar wanita murah sepertimu. Banyak gadis bertebaran di luaran sana yang bisa kunikmati. Bukan jαlang sepertimu."ucap Rigel, merobek hati Shoera dengan kejam. Shoera tercekik mendengar kata-kata kejam Rigel. Harga dirinya tidak penting saat ini. Yang penting uang dan Rigel memiliki itu. "Jadikan aku salah satu wanita yang beruntung untuk menikmati uangmu Rigel." ucap Shoera memohon lewat manik matanya. Rigel tergelak, menatap rendah Shoera. "Keluar dari apartemenku." usirnya dengan tegas. "Rigel aku mohon." Mohon Shoera. Berlutut di hadapan Rigel, mengatupkan kedua tangan memohon belas kasihan Rigel. "Enyah." ucap Rigel. "Aku mohon Rigel. Tolong bantu aku. Kali ini saja. Kumohon…." Iba Shoera. Rigel menarik lengan Shoera, memaksa berdiri dan mendorong kasar Shoera keluar dari pintu apartemennya. Rigel menutup pintu. "Rigel, aku mohon tolong bantu aku." Shoera mengetuk daun pintu. "Tolong …." lirihnya, ia berbalik dan melorotkan tubuhnya duduk di depan pintu sembari menangis."aku membutuhkan uang." gumamnya sambil terisak. Rigel melangkah masuk ke kamar. Meletakkan kartu yang ia tawarkan untuk Shoera di atas nakas. Ia berjalan menuju sofa yang ditempatkan dalam kamar besarnya. Mengambil ponselnya dan menghubungi Aro. "Iya," Jawab Aro. "Perintahkan seseorang mengikuti Shoera. Beritahu sekecil apapun tentangnya." Perintah Rigel lalu menutup sambungan telepon. "Ini baru permulaan Shoera. Aku akan membuat menderita hingga kau merasakan neraka yang sesungguhnya. Kau akan membayar mahal pengkhianatanmu." Rigel berucap dalam benak. Mendaratkan bokongnya di sofa empuk itu. *** "Kami sudah memberikan keringan dan banyak waktu untuk pelunasan biaya pengobatan Sky. Dan kau kembali tanpa biaya pengobatan itu. Shoera, sungguh aku nggak bisa menolongmu." ucap dokter yang menangani Sky. Shoera menggigit-gigit kuku ibu jarinya. Gugup, takut, menyatu jadi satu. "Waktumu hanya delapan jam. Setelah itu, kami angkat tangan." Tambah dokter melihat iba Shoera. Namun, mereka harus menjalankan peraturan rumah sakit. Shoera mengangguk, "baiklah dokter, aku permisi." ucap Shoera. Ia beranjak dari duduknya kemudian meninggalkan ruangan itu. Shoera meremas tali tasnya erat. Baru saja ia dipecat dan menjadi pengangguran. Segalanya terasa sulit, semua hasil kerja kerasnya ia gunakan untuk pengobatan Sky. Air mata Shoera menganak sungai di pipi sembari berjalan menuju ruangan Sky dirawat. Di depan pintu ruangan itu, ia mengintip dari kaca kecil yang menempel di daun pintu. Disana seorang anak tengah berbaring dengan segala peralatan medis menempel di tubuhnya. "Sky," gumam Shoera dalam hati, ia tidak berani masuk ke dalam sana. "Apa yang harus kita lakukan?" Shoera menyapu air matanya. Kau punya delapan jam untuk menyelamatkan tempat Sky. Kau tidak boleh cengeng Shoera. Pikirkan apa yang harus kau lakukan. Delapan jam, jika tidak ... Kau akan kehilangan Sky. Shoera beranjak dari tempat itu, meninggalkan rumah sakit kembali ke kontrakannya. Shoera mengubah dirinya menjadi sangat nakal. Mengenakan gaun panjang warna hitam dengan belahan rok yang cukup tinggi sampai ke paha bagian atas sementara bagian dadanya berbentuk V. Ia menata rambutnya ke satu sisi sengaja memamerkan lehernya yang putih mulus. Shoera mengulas lipstik merah pada kedua kelopak bibirnya yang ranum. Shoera melihat dirinya dalam cermin. Tampak murahan untuknya namun. Pasti seksi di mata para pria hidung belαng. "Demi Sky." gumamnya dalam hati. Shoera memesan taksi online untuk menjemputnya. tujuannya adalah Club malam, mencari para pria kesepian yang mau membayar tubuhnya. "Dengan Ibu Shoera?" tanya pengendara mobil yang berhenti sesuai titik pemesanan Shoera. "Yah, aku sendiri." Shoera masuk ke dalam mobil. "Sesuai titik ya pak," ujarnya begitu mendaratkan bokongnya pada jok penumpang. "Baik, Bu." Mobil itu melaju meninggalkan tempat tinggal Shoera yang berada di perkampungan Jakarta Ponsel Shoera berdering di dalam tas kecil yang ia genggam. Shoera mengambil benda itu dan melihat Azura menelponnya. "Zura," sapanya. "Hei, aku pikir kau mati tenggelam di pantai!" marah Azura dari ponselnya. "kau ada dimana?" teriaknya kesal. Shoera menarik nafas berat. Ia bahkan lupa menelpon Azura dan bertanya keadaan sahabatnya itu. "Maaf Zura,"sesalnya. "Aku terbangun di sebuah hotel. Aku pikir ini mimpi tapi, sungguhan. Kau meninggalkan aku sendirian di pantai, Hah?" tanya Azura. "Bangun di hotel?" Shoera terkejut. "Kau tidak apa-apa, kan?" tanyanya. "Untungnya tidak apa-apa. Aku akan menyalahkanmu jika sampai terjadi sesuatu yang mengerikan padaku." Shoera lega. "Nanti kita bicara lagi. Aku sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat." "Kemana?" "Akan kuceritakan nanti." Shoera dan memutus sambungan telepon sepihak. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas. "Titiknya di sini, kak." ucap sopir menepikan mobilnya di depan pintu Club malam. "Terima kasih, Pak. Jasanya sudah lewat aplikasi ya." ujar Shoera. "Iya, kak." Shoera membuka pintu mobil dan keluar. Ia menatap gedung yang akan ia masuki. Shoera bernafas panjang sebelum kemudian melangkah yakin ke dalam club malam. Hingar-bingar live music di Bar terdengar sedikit memekakkan telinga Shoera. Ini yang pertama baginya masuk ke tempat ini. Matanya berkeliling memperhatikan tempat itu. Mencari seseorang yang bisa membantunya untuk mendapatkan uang. Tempat ini cukup ramai. Sebagian besar pengunjung menari di lantai dansa mengikuti irama musik. Lampu berwarna-warni berputar mengelilingi ruangan. Di salah satu meja sudut ruangan itu. Seorang pria paruh baya duduk sembari menghisap rokoknya meniupnya ke udara hingga kepulan asap. Shoera menelan ludahnya, meneguk minuman yang sebelumnya ia pesan pada bartender. Ia memutuskan menemui pria paruh baya. "Hai Om," Sapa Shoera mengerlingkan mata. "Sendiri?" tanyanya, sengaja menggigit bibir bawahnya. Pria paruh baya tersenyum. "Mau menemani?" tanya pria itu. Shoera mengulas senyum seksi dan duduk di depan si Om. Mata Om memindai wanita seksi di hadapannya lalu mengulurkan tangannya. Shoera menipiskan bibir, meraih tangan si Om. Ia sedikit terkejut saat Om mencium punggung tangannya dengan bibir hitamnya. Meninggalkan basah yang sangat menjijikkan. "Ikut Om ke apartemen atau booking hotel?" tanya si Om tanpa basa basi. "Ah itu sih terserah Om, yang penting aman." Shoera ingin mual mendengar ucapannya sendiri. Seolah-olah ia sudah terbiasa. "Apartemen." "Oke, Om," "Bagaimana dengan tarif?"tanya Om. Shoera menelan kuat ludahnya, dia sama sekali tidak pernah bermain seperti ini. Malam ini ia membutuhkan lima puluh juta untuk biaya rumah sakit Sky. "Seratu Om." Kata Shoera. "Seratus ribu?" tanya si Om. Shoera tertawa, "Om bercanda aja. Mana ada harga segitu sekarang Om. Kita kelas mahal dan tentu terawat." ucap Shoera. "Dua puluh juta jika mau kita keluar sekarang." "Om, aku akan memberikan yang terbaik. Tolong naikkan tarifnya." Astaga cuma segitu. Sisanya aku harus cari kemana? Pikir Shoera. "Baiklah, karena kamu cantik. Aku naikkan jadi dua dua juta." kata Om. Shoera tampak memikirkannya. Ia tidak punya pilihan. Mungkin ia akan mengemis pada pihak rumah sakit untuk pelunasan hutangnya. "Genapin dua lima Om." Mohon Shoera. "Tergantung bagaimana kau melayaniku." ucap Om. "Aku jamin Om pasti puas." Ucap Shoera yakin. Om terkekeh,"Kita lihat nanti." Om berdiri kemudian segera merangkul pinggang Shoera dan membawanya keluar dari tempat itu. Mobil mewah keluaran negara paman sam berhenti di depan pintu Bar. Valet Parking menyerahkan kunci ke tangan si Om. Shoera masuk ke dalam mobil duduk di jok depan samping kemudi. Belahan rok nya yang panjang memamerkan paha mulus Shoera membuat air liur Om mengalir dan mengumpul di mulut lalu di telan dan membuat jakun nya naik turun. "Seat belt manis," ucap si Om, mengingatkan Shoera. "Ah, iya Om." Shoera memasang sabuk pengaman. Mobil itu melaju meninggalkan area Club malam. Sesekali Om melirik paha Shoera lalu menelan ludah. Sangat lapar dan ingin mencicipnya. Apartemennya cukup jauh dari Club. Lampu merah tiba. Si Om mengulurkan tangan menyentuh pipi Shoera dan menjalar ke bagian rahang. Shoera pasrah. Malam ini ucapan Rigel akan menjadi kenyataan. Bahwa dia seorang jalang. Walau Shoera sangat risih, ia tidak dapat menolak tangan nakal Om bergerilya di jenjang lehernya. "Jalan Om." ucap Shoera ketika matanya melihat lampu berubah hijau. Klakson mobil sahut menyahut ribut. Om segera menginjak pedal gas mobilnya menuju tujuannya. Sebuah mobil Ford Ranger melewati mereka lalu menghalau mobil yang ditumpangi Shoera hingga Om melakukan rem mendadak. "Bangke!" Teriak Om. Ia membuka jendela mobilnya dan mengeluarkan kepala untuk memaki pemilik mobil di depannya. Namun, sialnya si Om justru terancam dengan belati di bagian lehernya. Shoera ketakutan, salah satu dari mereka membuka pintu di sampingnya. Shoera ketakutan. "Kalian mau apa? Lepaskan!" Shoera berontak. "Keluar." Pria itu menarik Shoera keluar dari mobil dan membawanya paksa menuju mobil. "Tolong lepaskan aku. Kalian mau apa? Kalian mau menculik? Percuma! Tidak akan ada yang menebus." Berontak Shoera kemudian tubuhnya terdorong paksa masuk ke dalam mobil. "Diam, Nona Shoera. Atau anda kami lumpuhkan." perintah seseorang dengan tegas lalu menutup pintu mobil. Shoera menutup mulutnya, patuh. Tidak lama kemudian mobil melaju dengan kecepatan tinggi menerobos gelap malam pada tujuan yang tidak diketahui Shoera. "Kalian salah orang jika menginginkan uang. Aku tidak memiliki itu." ucap Shoera takut-takut melirik pria disisinya yang sedang mengemudi. Seorang pria dari jok belakang menutup mulut Shoera menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat bius berkadar rendah. Shoera memberontak tapi tidak lama kemudian tubuh Shoera lemas dan terkulai di joknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD