Prolog.

270 Words
  New York.   Shaenteen Company.   Jam yang terpasang kokoh di dinding ruangan Navisha menunjuk angka 08.15 waktu New York. Navisha memandang gedung-gedung pencakar langit di hadapannya dengan tatapan kosong.   Saat ini hujan deras tengah mengguyur kota New York, Navisha pun semakin erat memeluk tubuhnya sendiri saat udara dingin menerpa tubuhnya yang hanya berbalut blazer biru muda tipis.   Dari atas balkon kantornya yang berada di lantai tertinggi, Navisha bisa melihat hiruk-pikuk jalanan kota yang tengah di guyur hujan deras.   Meskipun hujan deras sedang mengguyur kota, tapi tak mengurangi aktivitas yang sedang berlangsung. Jalanan masih ramai oleh kendaraan roda empat yang kini sedang berlalu lalang, ke sana ke kemari. Begitupun dengan orang-orang yang sedang berhilir mudik, ke sana kemari sambil mengenakan payung agar terlindung dari air hujan yang jatuh membasahi bumi.    3 tahun, 3 tahun sudah berlalu sejak Navisha pergi meninggalkan tanah kelahirannya, Indonesia. Navisha meninggalkan kedua orang tuanya, keluarganya, sahabatnya, dan juga pria yang menjadi cinta keduanya setelah cinta pertamanya jatuh pada sang Ayah. Katanya, cinta pertama anak perempuan adalah Ayahnya, dan ucapan itu memang terbukti benar, karena cinta pertama Navisha memanglah sang Ayah.   Navisha memilih untuk kembali pergi menjauh, kembali mencoba untuk menata hati dan juga hidupnya yang saat itu sudah hancur berkeping-keping. Navisha akui, seiring dengan berjalannya waktu, ia  tetap tidak bisa untuk melupakan pria yang amat sangat ia cintai. Pria yang membuatnya pertama kali merasakan apa itu rasa ingin memiliki, pria yang membuatnya bahagia dan sedih di saat yang bersamaan, pria yang hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat, tak lebih dari sahabat. Karena itulah, Navisha memilih pergi, sekaligus membawa sebagian dari diri pria yang ia cintai pergi bersama dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD