Satu minggu berlalu. Kehidupan Olivia kembali berjalan seperti biasanya bersama Matt. Awal pekan ini Matt akan meninggalkan Olivia untuk kunjungan bisnisnya yang baru saja dimulai. Matt pergi seorang diri di pagi hari yang masih gelap. Pagi yang lebih pagi dari biasanya, pukul enam pagi. Olivia melepas kepergian Matt hanya sampai di pintu apartemen.
Satu jam setelahnya, Olivia dengan ritual paginya yang sendirian untuk pertama kalinya sejak ia pindah ke London. Olivia bergegas mandi dengan cepat dan memilih mengenakan pakaian dalam lemari miliknya yang tampak acak-acakan. Memadupadankan kemeja bercorak dan rok hitam yang desainnya dibuat mengembang dengan bagian pinggang yang menyerupai sabuk lebar. Olivia memutar tubuhnya di depan cermin sebelum dirinya beranjak untuk menyambar s**u dalam gelas yang sudah ia tuang beberapa menit sebelumnya.
Perjalanan pagi ini tanpa hambatan, dan sesampainya Olivia di ruang kerjanya, ada setumpuk dokumen yang harus ia selesaikan hari ini. Terasa melelahkan di awal pagi dan Olivia menghempaskan dirinya di kursi kerjanya. Mengecek isi inbox email miliknya sampai Tom datang mengetuk pintu ruangan.
“Hi, Liv.” Olivia mendapati kepala Tom yang menjulur ke dalam. Olivia mencoba untuk melongok sambil tersenyum, “Yes, Tom. Ada yang bisa aku bantu?” tanya Olivia sambil beranjak dari kursi yang ia duduki. Begitu juga dengan Tom yang beranjak masuk ke dalam ruangan tempat Olivia berada. Keduanya berdiri berhadapan di dekat pintu.
“Aku ingin kau membantuku, Liv.” Suara Tom terdengar cemas. Kening Olivia berkerut dan menatap Tom dengan bingung.
“Ada apa? Apa yang bisa aku bantu untukmu?”
Tubuh Tom tampak gusar dan wajahnya cemas.
“Kau bisa ke studio Landmark. Di sana sedang ada pemotretan untuk majalah ELLE.”
“Lantas?” tanya Olivia cepat sambil melipat tangannya di depan d**a, bersedekap sambil menatap Tom yang gusar.
“Gladies, dia menolak untuk melanjutkan pemotretan.”
“Apa?!!” tanya Olivia nyaris memekik dengan mata melebar karena terkejut. Kepala Tom mengangguk-angguk bagai burung pelatuk. Olivia berbalik ke arah meja kerjanya kembali.
“Aku mohon, Liv. Kau bisa bantu aku untuk meyakinkannya,” pinta Tom dengan suara yang terdengar sangat butuh bantuan dan cemas.
Olivia berbalik ke meja kerjanya, memutar letak laptop di meja, menekan button power pada tampilan menu start di sisi kiri bawah pada layar laptopnya. “Tapi ada apa? Kenapa---”
“Dia sedang bermasalah dengan kekasihnya,” sahut Tom yang membuat Olivia dengan spontan berbalik untuk menatap Tom dengan terkejut yang lebih dari sebelumnya.
“Sudah gila.” Olivia mendengus kesal dan seakan mimik wajahnya menyiratkan hal gila yang seharusnya tak terjadi.
“Pergilah ke studio, Liv. Mungkin sesama wanita kalian---”
“Percintaan ala remaja yang manja,” selak Olivia sambil berjalan melewati Tom. Ia tahu siapa Gladies. Model yang sudah ia tandai sejak awal ia bergabung dalam pekerjaannya. Penilaian Olivia ternyata tidak salah, keraguannya terbukti kini.
“Kau akan kesana, kan?” tanya Tom yang membuat langkah Olivia berhenti tepat di bibir pintu ruangan.
“Ya, kemana lagi,” timpal Olivia dengan singkat dan beranjak pergi meninggalkan Tom dalam kelegaan dan wajah cemas yang memudar secara perlahan.
***
Sepanjang perjalanannya, Olivia mencoba untuk berpikir jernih menghadapi dunia model yang penuh intrik dan hal konyol. Kekonyolan yang tak perlu terjadi. Sikap profesional yang nyaris tak tampak. Olivia tak habis pikir tentang hal itu, model-model cantik jelita itu selalu bersikap aneh dengan tingkah polah yang acap kali membuatnya menggelengkan kepala saat mendengar atau menyaksikan kisah-kisah itu. Mereka dibebaskan oleh orangtua mereka untuk melakukan apa yang mereka sukai, tapi mereka menyia-nyiakannya.
Olivia menghembuskan napas dengan kasar saat taksi yang membawanya berhenti tepat di bahu jalan, di depan studio. Olivia berhambur dari dalam taksi sebelum ia menaiki anak tangga dan mendorong pintu besar sebelum ia melangkah ke dalam. Terdengar suara orang berbincang di tengah ruangan yang luas, terdengar bergema hingga bagian depan studio.
Hak sepatu yang dikenakan Olivia cukup menimbulkan bunyi yang jelas di tengah keheningan ruangan besar itu. Langkah Olivia kian ke dalam hingga mendapati kerumunan orang yang mengelilingi Gladies. Gadis cantik itu terdengar menangis, dan para perias sedang menghiburnya.
“Kau kenapa?” tanya Olivia penasaran sambil meletakkan tas tangannya di sebuah kursi yang tak jauh dari posisi gadis itu.
Kemunculan Olivia membuat dua orang perias menggeser posisinya, memberikan Olivia jalan untuk mendekat. Wajah cantik Gladies tampak pucat kali ini. Maskaranya luntur dan membuat noda hitam di kulit wajahnya yang mulus. Lingkar mata yang berantakan.
“Olivia.” Gladies menyebutkan nama Olivia sebelum ia berhambur memeluk tubuh Olivia dengan erat dan kembali menangis. Tangisnya pecah dan terdengar manja di telinga semua orang yang mendengar. Olivia melirik kedua perias yang berdiri di sisi kanan dan kirinya saat Olivia bertanya hanya dengan bahasa mata. Kedua perias itu hanya mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi lalu memperhatikan Olivia dan Gladies. Mereka tampak bingung dan kesulitan untuk menenangkan sang model. Tak ada pilihan lain bagi Olivia selain menenangkanya.
“Ada apa denganmu, Sayang?” tanya Olivia sambil melepaskan pelukan Gladies pada tubuhmya, menatapnya secara dekat. Mata bertemu mata.
“Aku, maafkan aku, Liv,” ucap gadis belia yang tingginya melebihi Olivia yang berdiri di hadapannya dengan sesenggukan. Olivia mengelus bahu Gladies, ia ingin menenangkan gadis itu sampai kemunculan sesosok pria dari belakang Olivia dan mereka tak menyadari kemunculannya.
“Aku tidak ingin melanjutkan pemotretan ini. Aku---”
“Tinggalkan dia,” kata seseorang yang membuat Olivia terperanjat dan spontan berputar bahkan nyaris terhuyung karena terkejut. Mata Olivia terbelelak, sementara pria itu tampak dingin.
“James,” desis Olivia dalam hati dan ia benar-benar terkejut serta bingung.
“Sebaiknya gadis itu pulang saja. Model tak berguna,” racau James dengan kesal. Rahangnya mengatup, menatap dengan tajam.
“Mak…maksudmu?” tanya Olivia dengan suara bergetar. Ia menoleh ke arah Gladies yang berada di belakangnya sebelum ia kembali menatap James yang berjalan mendekat.
“Aku tak memiliki waktu banyak jika partner fotoku hari ini hanya seorang gadis bodoh,” lanjut James dengan intonasi suara yang lebih keras dari sebelumnya.
“Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku rasa---”
“Sebaiknya kalian persiapkan Olivia untuk sesi pemotretan saat ini,” sambar James dengan arah pandangan mata tertuju pada Olivia sepenuhnya. Bola mata Olivia nyaris menggeliding ke lantai saat kalimat perintah itu terdengar di telinganya.
“Apa?!” tanya Olivia terkejut dengan kelopak mata melebar. Ia merasa terjerembap dalam lubang yang dalam. Olivia tak mungkin salah mendengar. Telinganya masih berfungsi dengan baik. Oliva terkekeh dan membuat James menatap dengan memicingkan matanya. “Tidak, aku tidak bisa. Jangan main-main, James,” tolak Olivia bernada protes dan tersenyum kecut.
Olivia berbalik, meraih kedua bahu Gladies dan membawanya duduk kembali di depan meja rias. Cermin besar yang dikeliling lampu terang. “Dandani dia,” pinta Olivia pada dua perias yang tampak bingung. Menatap Olivia dan James secara bergantian. Keduanya tampak bingung.
“Ayo, apa yang kalian tunggu?” tanya Olivia tegas kepada kedua perias di hadapannya. Mereka langsung bergerak sementara Olivia berjalan kembali menghampiri James yang berdiri di dekat kamera. Bagai sebuah pemandangan indah di mata James yang tak boleh ia lewati. Olivia berjalan anggun meski ekspresi di wajahnya tampak marah dan kesal. James tidak merasa tersinggung sama sekali sampai James kembali berbalik, memunggungi Olivia.
“Apa maksud ucapanmu?” tanya Olivia dari balik punggung lebar James. Olivia bisa melihat punggung lebar berbalut kaos ketat hitam yang berpadu padan dengan celana jins belel yang menggantung di pinggang, membalut b****g James yang tampak seksi dimata Olivia. James terlihat begitu lezat.
“Aku hanya ingin berpasangan denganmu, Olivia Franklin.”
Kalimat yang meluncur cepat dari bibir tipis nan menggoda milik James sambil berbalik untuk berhadapan dengan Olivia secara langsung. Keduanya saling menatap, Olivia merasa napasnya tersekat di kerongkongan, dan sulit bernapas. Olivia mematung.
“Tinggalkan dia!! Aku ingin berpasangan dengannya,” ucap James sambil menunjuk ke arah Olivia yang berdiri mematung bak gadis bodoh. Tatapan mata James menyapu sekujur tubuh Olivia. Mulai dari kepala hingga kakiku. Membangkitkan semua saraf di tubuh Olivia menjadi waspada.
“Jangan konyol, James,” sanggah Olivia dengan protesan, sementara James memamerkan senyum miringnya, membuat Olivia tak mampu berkutik.
“Kau sungguh cantik, Liv,” desis James saat mendekatkan kepalanya ke sisi kanan kepala Olivia. Saraf ditubuh Olivia terasa meletupkan sensasi. “Tubuhmu terlihat seksi dan menggoda,” ucap James lagi dengan pelan menyerupai bisikan di telinga Olivia. Sekujur tubuh Olivia langsung meremang. Desir napas James mengenai kulit leher Olivia yang terbuka, dan Olivia hanya mampu menelan ludah yang dilakukan Olivia dengan susah payah, mengumpulkan semua sisa kewarasan dalam otaknya.
“Tidak James,” tolak Olivia mirip desahan saat jemari James meraih ikat rambutnya dan menariknya pelan hingga rambut panjang coklat gelap Olivia tergerai bebas di bahu dan Olivia masih mematung, sepatu yang dikenakannya seakan terkubur di permukaan lantai.
James meraih bahu Olivia. Keduanya begitu dekat.
“Tenanglah Liv, kau bersamaku,” ucap James lagi. Kali ini ia menatap Olivia dengan lebih tajam. Olivia bergidik sambil menelan ludah lagi. Ritme jantung Olivia terdengar tak beraturan. Ia merasakan sesak pada dadanya saat jemari James tiba-tiba sudah berada di kancing kemeja yang ia kenakan. Manik mata keduanya bertemu dalam satu titik, Olivia menahan napas dua detik.
“Aku butuh foto seksi. Dan aku yakin kita bisa melakukannya.”
Jemari James membuka kancing kemeja Olivia yang paling atas, dan Olivia menatap James dengan bibir bergetar. Otaknya terasa berputar-putar tak karuan. Mungkinkah jika Gladies menangis karena mengalami hal ini? Olivia menggeleng pelan, menyingkirkan pikiran gilanya hingga ia tak menyadari James telah membuka tiga kancing paling atas dari kemejanya. Kini kulit mulus Olivia seutuhnya terekspos, menampakkan belahan dadanya. Napas Olivia yang naik turun.
“Tenangkan dirimu, Liv. Kau hanya butuh bernapas dan menikmati sesi ini.”
Yang dikatakan James benar, Olivia telah lupa untuk bernapas. James telah membuat dunia Olivia porak-poranda dalam sekejap. Olivia menghela napas panjang usai James bergeser ke belakangnya. Ia berjalan ke arah photografer yang telah siap membidikan kameranya.
“Olivia.” James memanggil nama Olivia dengan lembut dan terdengar seksi membuat Olivia berbalik perlahan. “Tinggalkan sepatumu, kau lihat aku?” Olivia menelan ludah. Tampak Gladies dan dua orang perias yang sedang mengamatinya dan James.
“Come here, Baby,” ucap James dengan suara seraknya seraya menjulurkan tangannya pada Olivia yang dapat menimbulkan efek jantung Olivia berdegup lebih kencang.
Kegilaan yang tak dapat Olivia hindari. Ia merasa ragu pada awalnya, menanggalkan sepatunya dan berjalan ke arah James berada, menerima uluran tangannya yang menggenggam erat telapak tangan Olivia setelahnya. Jemari keduanya saling bersilang tanpa melepaskan tatapan masing-masing.
***