Alice Meminta Maaf

2819 Words
Sisil diam, menatap album-album foto yang tergeletak di rak-rak buku apartemen. Gadis itu hampir sekitar setengah jam menghabiskan waktunya untuk menikmati menatap kepada foto-foto kecil Reon yang menggemaskan, ya memang sih Reon dari bocah aja udah bibit unggul banget dengan iris mata biru terang seperti halnya air laut macem aesthetic gitu. Di pikir-pikir, entah kenapa Sisil baru menyadari. Kenapa Reon bisa mendadak menyukai modelan cewek kaya dia sih? Gak ada tujuan hidupnya, terlalu ngegampangin hidupnya sendiri. Mana udah berantakan banget lagi komitmennya, dan ia pun sadar bahwa dirinya sangat tidak pantas untuk bersanding dengan Reon yang menurut Sisil kasta keparasanya melebihi rata-rata. Berlebihan ya? Tetapi memang itulah adanya Sisil, gampang minder alias insecure kalau ada yang suka sama gadis itu duluan. Apa jangan-jangan ia seperti ini karena masa lalunya yang selalu tidak mendapatkan kasih sayang yang tulus dari laki-laki yang ia sukai? Memang ya Sisil tuh terlalu overthingking. Setelah dirinya menyadari bahwa Susil menghabiskan waktu terlalu lama untuk menatap foto masa Reon dan keluarga kecilnya, membuat gadis iitu alih-alih menatap ke arah lain dengan pandangan kosongnya. Reon ya? Sisil menghela nafas. Kemudian kedua matanya kembali jatuh menatap foto Reon yang sedang tersenyum lebar ke arah kamera. Harus gak sih dirinya mencoba untuk menyukai Reon yang softnya kebangetan, di tambah sikap dewasanya dan sikap perhatiannya yang terkadang bikin Sisil ke lewat baper. Tapi kan tetap aja! Hati Sisil itu tidak bisa ia bohongi, rasa sayangnya dan rasa sukannya kepada Nalen terlalu besar. Dan itu cukup membuat gadis tersebut sedikit susah untuk mencoba mencintanya. Bahkan lagi-lagi hal ini membuat Sisil merasa bersala kembali kepada laki-laki itu. Lagian kan, perasaan tidak bisa di paksakan toh? Ya sebenarnya Sisil bisa lah bersikap seolah-olah bahwa dirinya memang menyukai Reon agar laki-laki tersebut memberi perhatian lebih kepadanya karena Jujur Sisil memang membuuhkan perhatian dan kasih sayang dari seseorang. Dan Reon memenuhi hal itu secara cuma-cuma kepadanya atas dasar suka. Hampir tiga puluh menit Sisil berperang dengan pikirannya sendiri, suara ponsel milik Reon yang sudah lama tidak laki-laki itu gunakan dan sekarang di pakai oleh Sisil untuk berhubungan dengan Reon sekaligus Alice secara bersamaan hanya sekedar untuk berkabar. Memunculkan dering ponsel yang menandakan bahwa panggilan telah masuk. Lamunannya buyar, membuat Sisil segera mengambil ponsel tersebut yang tergeletak di sebelahnya. Kedua alisnya terpaut, sedikit heran mengapa Alice menelponnya. Padahal tadi pagi gadis itu memberi tahu keladanya bahwa ia akan melakukan les private sore ini setelah pulang sekolah. Namun, kenapa tiba-tiba menelpon begini? Tan pikir panjang Sisil pun menarik icon hijau di layar ponselnya, dan menempelkan ponselnya ke arah telinga gadis itu. “Hallo?” Ucap Sisil pelan dengan tangan menutup album foto yang tadi ia pegang. Belum ada hawaban dari sebrang sana, hanya ada deruan nafas dan isakan tangis yang Sisil dengar. Membuat Sisil sedikit panik mendengarnya dan langsung merubah posisi duduknya, “Hallo? Al?“ Lanjutnya tidak sabar. “Kamu denger aku kan? “Atau kamu ada masalah? Kenapa suaranya kaya yang nan-“ “Sil,” Panggil Alice tiba-tiba dengan suara seraknya, dan itu cukup memotong perkataan Sisil yang belum selesai ia lanjutkan. Sisil langsung diam, mengatur nafasnya agar mencoba menahan diri untuk tidak asal bicara dan menanyakan beberapa rentetan perkataan kepada gadis tersebut. Suara helaan nafas tersengar jelas ke indera pendengarannya, membuat Sisil sedikit gemas kepada Alice bahwa ia terlalu banyak bertele-tele rasanya. Ada apaan sih? Bikin orang mati penasaran aja. “Maafin gue ya? Mau?” Katanya tiba-tiba dengan suara pelan. Tuh kan! Kenapa harus tiba-tiba mengucapkan kata maaf tanda ada dasar sama sekali? Lagian Alice juga akhir-akhir ini tidak melakukan kesalahan sedikit pun, bahkan membantunya dan menutupi keberadaannnya rapat-rapat. Lantas, kenapa Alice bisa mengucapkan hal tersebut dengan suara tangisnya? Sisil langsung memejamkan kedua kelopak matanya, tangan kirinya memijat pelipis satunya dengan keras, Dan Sisil tidak ingin panic attacknya kumat secara mendadak begini. “Please! Maafin gue,” Katanya lagi. Sialan! Mendengar hal itu membuat tubuh Sisil bergetar hebat! Tidak, jangan sekarang, jangan lagi. Padahal hampir seminggu lebih ini dia baik-baik saja. Kenapa sekarang malah merasakan hal itu lagi. “Maaf kalau seumpama gue terkesan menghianati lo, tetapi gue emang cewek b******k kalau masalah pertemanan gini,” Suara isakan itu kembali terdengar. “Gue berasa gak pantes banget di anggap sahabat sama lo Sil,“ “Al, lo ken-“ Sisil tidak melanjutkan ucapannya karena ia merasakan sesak yang hebat di rongga dadannya. Namun dengan susah payah, Sisil mencoba untuk menstabilkan nafasnya dan tetap stay untuk berbicara dengan Alice sebagaimana dirinya sudah tidak mampu rasanya. “Lo kenapa?” Lanjutnya lagi dengan nafas yang sudah tersengal-sengal. Alice masih diam, suara tangisannya malah semakin jelas terdengar. Ya tuhan! Kenapa harus seperti ini sih? Ini cukup membuat Sisil semakin tersiksa menahan rasa paniknya yang sudah menjalar dan nyeri keseluruh tubuhnya. “Gue salah, gue minta maaf. Gue harap lo bakal maafin gue karena-“ Alice menggantungkan ucapannya, malah semakin nangis tidak jelas di seberang telfon. “Karena gue ngasih kondisi dan posisi lo ke Nalen dan David. Karena mereka berdua ngancem gue,” Jelas Alice lagi. DEG! Gimana? Nalen dan David? Mengancam Alice? Astaga! Bagaimana bisa? Dan itu cukup membuat Sisil merasakan kepanikan yang hebat sekarang. Kedua kakinya ikut gemetar, untuk melanjutkan langkah ya ke arah sofa saja rasanya sudah tidak mampu sangking lemasnya. Bahkan Sisil hanya bisa diam terpaku dan tatapan kosong yang sudah melandanya. Namun pikirannya sudah entah ke mana, bercabang tidak aturan seperti halnya benang kusut yang tidak bisa gadis itu benarkan. Sialan! Belum sempat mematikan panggilan di ponselnya karena Sisil merasa tidak perlu ada obrolan yang di lanjutkan, bagaimana pun keadaan Sisil saat ini adalah nomer satu. Dan ia berharap bahwa Reon menyimpan obatnya di kamar. Baru saja berniat untuk melangkah masuk ke kamar, suara dentingan be apartemen terdengar. Dan itu membuat Sisil langsung menoleh ke arah puntu dengan tubuh yang bergetar hebat. Tersiksa? Iya! Dengan nafas yang sudah tidak beraturan, keringat yang sudah membasahi tubuhnya. Itu cukup membuat Sisil tersiksa dengan keadaannya. Baiklah, ayo kita mencoba berpikir jernih. Kali saja Reon yang datang, karena laki-laki itu selalu datang jika waktu sekolah sudah selesai. Akan tetapi tidak dengan cara memencet bel seperti tadi karena ia akan langsung masuk ke dalam apartemen dan menyapanya dengan senyuman manisnya yang lebar. Lantas, yang datang ke apartemennya selain Reon dan Alice. Siapa? . . “Kayanya kita gak harus nyusulin Kevin dan Reon deh Len,” Celetuk David tiba-tiba setelah Nalen baru saja selesai memarkirkan mobilnya di area parkir apartemen citraland yang tadi sempat di beri tahu oleh Alice. Nalen mengerutkan keningnya, menoleh ke arah David dengan tatapan yang sulit laki-laki itu jabarkan. “Maksud lo Dav?” Katanya bingung. Of crouse! Kenapa harus membicarakan hal yang menurut Nalen gak masuk akal begini. Ayolah! Mereka berdua ini sudah nyampa, dengan jarak yang lumayan jauh di sertai waktu yang mereka habiskan selama di perjalanan. David menghela nafas panjang, setelah di perjalanan ia berperang dengan pikiran sekaligus dengan hatinya membuat David merubah pikiran dan tujuan awal Laki-laki tersebut. Baiklah, mungkin di sini dan sekarang ini David terkesan egois karena di saat ia ingin bertemu dengan Sisil. Harus memaksa seseoraang seperti halnya tadi kepada Alice. Kita kan tidak tahu hubungan kedua gadis itu saat ini jika Sisil tahu bahwa Alice lah yang memberi tahu mereka. Apa Sisil tidak akan kumat atau semacamnya? David baru saja memikirkan hal itu dari tadi, dan ia mendadak merasa bersalah katena tidak berpikir panjang sekaligus tidak menahan Nalen juga saat di SMA Komplek. “Iya, gue kayanya gak bisa deh ngelanjutin hal ini tanpa sepengetahuan Reon dan Kevin, di tambah kita memperlakukan Alice kesannya seperti memaksakan,” Ucap David jujur. Nalen berdesis, “Bentar deh Dav,“ laki-laki itu menarik nafas panjang. “Lo kan dari kemarin udah nyari Susil ke mana-mana, udah galau merana kaya cowok di tinggal pacarnya terus lo-“ “Gue kan bukan pacarnya,” Potong David, berniat memberikan ralat kepada laki-laki itu. Nalen membelalakan kedua kelopak matanya, lalu berdecak. “Ck! Iya gue tahu kalian gak pacaran. Sorry kalau lo merasa tersinggung,” Jelas Nalen tidak enak. “Tapi kan jauh dari dalam lubuk hati lo, lo pengen ketemu Sisil kan? Maksud gue begini,” Nalen melangkahkan kakinya ke arah David, berniat untuk mendekat ke arah laki-laki tersebut agar mengobrolnya makin enak segimana Nalen rasanya sudah sangat gemas dengannya. “Lo kangen dia, lo kangen habisin waktu berdua kaya biasanya sama Sisil. Gue bener kan?” Tanya Nalen memastikan. David diam sejenak, memandang Nalen dengan tatapan yang sulit Nalen tebak. Kemudian tidak lama laki-laki itu mengangguk. “Ya bener gue kangen dia, kangen bercanda. Kangen makan bareng di rumahnya, kangen ngerepotin dia. Tapi gal dengan cara ini gue harus nyari Sisil di saat Sisil sendiri aja menarik diri dari dunia luar,” David mengalihkan pandangannya dari Nalen yang masih menatap ke arahnya dari samping. “Lo lupa mental Sisil gak stabil akhir-akhir Ini? Gue gak mau membebankan hal ini kepadanya sama sekali,” David kembali menoleh ke arah Nalen, dengan kekehan pelan tersebut ia menatap Nalen secara seksama. “Apalagi saat tahu kita bisa nemuiin dia dengan segala cara. Apa itu gak bikin Sisil kumat atau semacamnya?“ David menghembuskan nafas pelan. “Gue takut, dengan adanya ke datangan kita. Bukannya dia seneng tapi malah bikin beban pikiran dia, karena dia gak bakalan exspect bahwa kita berdua tahu posisi dia,“ “Jadi, kayanya emang gue bisa buat masuk ke dalam terus dateng ngasih kejutan ke dia yang kasarannya dia gak mau kejutan seperti itu.” Jelas David jujur. Mungkin kalian saat ini sedikit sebal atau kesal dengan sikap David yang terkesan labil atau bimbang secara mendadak. Apalagi kesannya David tidak menghargai perjuangan Nalen yang berhasil mendapatkan alamat lengkap di mana Susil berada sekarang ini. Dan itu cukup membuat Nalen kesal rasanya. Tetapi, setelah David menjelaskannya secara rinci, detail dan jelas membuat Nalen pun setuju dengan ucapan laki-laki tersebut. Bahkan Nalen pun sedikit sangat menyayangkan David yang tidak bisa langsung berbicara kepadanya saat di dalam perjalanan, kalau kaya gini kan sayang banget sama bensinnya. Bukannya pemit, tapi Nalen lagi masa pengiritkan sekarang. Nalen menghela nafas panjang, menepuk pundak David pelan sebanyak dua kali dan itu cukup membuat laki-laki tersebut menoleh ke arah Nalen dengan tatapan putus asa. Ia tahu betul David sekarang lagi kacau, dan yang pasti bimbang dengan keadaannya sekarang. Akan tetapi di satu sisi David pun tidak ingin merasa Sisil terbebani dengan kehadiran mereka berdua secara mendadak begini. “Sisil menarik diri, karena ada alasannya Len. Dan kenapa dia milih Reon untuk nemenin masa-masa terendahnya, ya itu pasti ada alasannya.” Jelas David dengan nada pelan namun masih terdengar oleh Nalen. . . Di sisi lain, Kevin dan Reon yang juga baru saja sampai di Apartemen, namun sebelumnya para laki-laki tersebut menyempatkan untuk mampir sebentar ke toko serba makanan. Berniat membelikan Sisil cemilan dan makan berat untuk gadis itu. Setelah mereka berdua selesai mmebayar semua belanjaannya, Reon memberhentikan langkahnya membuat Kevin yang baru saja selesai meminum air kemasan langsung ikut memberhentikan langkahnya juga. “Kenapa?” Tanya Kevin tiba-tiba. “Ada yang lupa?“ Reon menggeleng, laki-laki itu hanya tersenyum simpul ke arah Kevin membuat Kevin sedikit mengerenyitkan kepalanya. “Mau nyebat dulu gue,” Katanya. Kevin diam, lalu langsung melangkah menghampiri Reon yang sudah menjatuhkan tubuhnya di atas kusrsi tepat di depan toko makanan tersebut. Reon mengambil satu batang rokok miliknya yang kebetulan sudah tungal satu batang lagi. “Ada korek?” Guman Reon yang mulutnya sudah di sumpal dengan rokok. Kevin sedikit meraba kantong celana seragamnya, lantas mengambil korek miliknya yang di dalam saku celana dan langsung memberikannya kepada Reon. “Thanks!” Ucap Reon kepada Kevin seraya mengambil korek tersebut. Reon memetik koreknya, menyalakan rokok tersebut. “Lo gak nyebat juga?” Tanya Reon sebari menghembuskan asap rokok tersebut ke sembarang arah. Kevin diam sebari menatap laki-laki itu, “Enggak, nanti aja,” Jawabnya singkat. Reon mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya sebari menatap orang-orang yang sedang lalulalang di sana untuk jeluar masuk ke dalam toko yang baru saja mereka berdua kunjungi. Sedangkan Kevin, masih menatap sahabatnya tersebut. Bahkan ia baru menyadari bahwa tubuh Reon sedikit agak kurusan sekarang. Tidak seperti halnya dulu. “Lo diet Re?” Celetuk Kevin tiba-tiba setelah mereka berdua diam hampir dua menitan. “Kok gue ngerasa badan lo makin kecilan?” Reon yang tadi menikmati rokok ya, seketika memberhentikan aktivitasnya, sedikit melirik ke arah Kevin sekilas. laki-laki tersebut merubah posisinya, kemudian berdehem pelan. “Masa sih gue agak kecilan badannya?” Tanya Reon dengan nada yang sedikit terbata-bata. Kevin akhirnya mengangguk semangat, langkahnya mendekat ke arah Reon. Kembali memperhatikan wajah laki-laki itu secara seksama dan detail. “Mata lo juga agak sayuan sekarang,” Reon terkekeh pelan, buru-buru menghabiskan rokoknya yang hampir habis. “Ah! Perasaan lo aja kali, orang biasa aja kali,” Elak Reon. Kevin kembali memicingkan kedua matanya, kedua tangannya mencangkup wajah tampan Reon. “Gue curiga mendadak rasanya,” “Lo gak nyabu kan Re?” Tanyannya khawatir AkIbat perubahan Reon secara drastis beberapa akhir Ini. Mendengar hal tersebut Reon langsung membelalakan kedua kelopak matanya, kemudia tertawa keras serata melepAskan wajahnya dari kedua tangan Kevin. Kevin menatap ke arah Reon dengan tatapan kesal, “Kok lo malah ngakak sih anjir!“ Katanya dengan rasa bete. Reon masih tertawa, laki-laki tersebut terlihat belum puas untuk tertawa keras sebagaimana sekarang mereka berdua menjadi pusat perhatian di lobby apartemen. Sialan! Reon kalau kumat kadang suka malu-maluiin orang sekitar, Ganteng-ganteng aneh memang. “Apa lo bilang?” Ucapnya di sela-sela tawanya. “Coba lo bilang sekali lagi?” Tawa itu kembali terdengar. Gelak tawa yang membuat mendengarnya saja kesal, seperti Kevin sekarang. Kevin berdecak, “Diem lo! Kek orang gila tahu gak,” Reon mengatur Nafasnya, “Lagian ya, Lo kenapa kepikirannya jauh banget sih Kev?“ Tanya Reon heran. “Kalau gue bya u tahu sendiri gue bisa di hajar abis sama nyokap gue,” Kevin memutar bola matanya jengah, “Terus kenapa badan lo mendadak kecil begini? Kaya orang yang gak di kasih makan seminggu tahu gak,” Kali ini Reon berdecak, “CK! Lebay lo! Gue cuma mencoba mendietkan diri dan mencoba hidup sehat kali,” Reon membuang putung romok yang sudah habis, lantas kedua matanya membalas tatapan Kevin yang tengah menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. “Gue lagi mencoba hidup sehat dengan makan vegetarian, biar hidup gue sehat walaafiat dan panjang umur tahu,” “Halah! Hidup sehat tapi masih nyebat. Mana kuat lagi nyebatnya. Fix sih! Lo tuh nyabu sekarang. Jujur sama gue, iya kan?” Kata Kevin yakin. “Istighfar lo Re! Udah akhir zaman. Banyak-banyak ibadah, jangan banyakin dosa,” Kemudian Kevin langsung menarin kerah seragam Reon pelan, “Lo selama sama Sisil gak ngelakuiin maksiat kan di apartemen? Lo sama dia seminggu loh tinggal bareng,” “Anak orang jangan lo rusak anjir!” Panik Kevin yang muncul seraya mendadak membuat Reon reflek menepuk jidatnya pelan. Emang ya, se-cool-coolnya Kevin di mata orang lain dan di matanya sendiri, tetapi semenjak dirinya mengenal laki-laki tersebut. Semua yang Reon pandang kepada sahabatnya itu sirna sudah sebagaimana Reon saat pertama kalinya mengenal Kevin. Kevin gak ada sempurna-sempurnannya sekarang, ya walaupun memang lebih waras sih di banding dirinya karena Kevin paling dewasa dan paling peka di antara Nalen dan dirinya. Tapi kalau sudah panikan kaya begini, sikap sempurnanya itu hilang sudah entah ke mana dan itu kadang membuat Reon kelabakan untuk menjelaskan yang sebenarnya kepada laki-laki itu. “Re! Sumpah! Lo beneran gak buntingin anak yatim piatu kan? Wah! Kacau sih kalau iya. Soalnya d-“ “Kev! Astaga!” Reon mengusap wajahnya kasar dan memotong ucapan Kevin secara sepihak karena sekarang orang-orang benar-benar memperhatikan mereka berdua dan itu cukup membuat Reon salah tingkah. Dengan cepat Reon langsung menarik lengan Kevin dan membawa pergi orang itu dari tempat, ayolah! Gak lucu juga kan kalau orang-orang sudah menatapnya dengan tatapan aneh dan jijik? Padahal faktanya tidak seperti itu karena Reon tidak setiap hari tidur bersama Sisil atau menemani gadis tersebut. Hanya sekedarnya saja lah, karena yang lebih sering datang ke apartemen dan menemani Sisil ya Alice. Bukan dirinya, untuk masalah tadi pagi. Ya itu kali Pertamanya Reon tidur di apartemen lagi, di tambah tidur bersama Sisil. Hanya berdua. Ya tuhan! Membayangkannya saja membuat kedua telinga Reon memanas dan perlahan memerah, sangking malu dan salah tingkah kalau kembali membayangkan Sisil yang cantiknya kelewat batas. Oke! Reon lagi kumat. “Eh Re! Mau ke mana anjir?! Pelan-pelan, gue nanya loh ini? Jaw-“ “Astaga! Lo diem bisa gak?” Kata Reon frustasi sebari melepaskan lengan Kevin. Kevin kembali menatap Reon dengan alis mata satu yang sudah terangkat. “Gue kan nanya doang,” Reon mengacak-ngacak rambutnya, “Gini deh, intinya ya. Sekarang lo jangan nanya apa-apa ke Sisil. Karena gue sama dia gak melakukan hal tidak senonoh selama ini sebagaimana dia tidur atau numpang di apartemen gue,” “Gue gak sebrengsek itu anjir!” “Ya kali, kalau nafsu kan gak ada yang tau Re,” Timpal Kevin. “Kev! Gue bogem juga ya lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD