Bab 2

1292 Words
Menangis semalaman tidak membuat keadaan membaik, yang ada, hati Tika semakin perih, semakin tak rela kehilangan sosok Aditya yang sempurna di matanya. Semalaman, nomor Aditya tidak aktif, Tika bingung harus bagaimana. Ia rasa semua masih bisa dibicarakan baik-baik, bukan tiba-tiba pergi seperti ini. Jam makan siang ini, Tika akan datang ke kantor Aditya untuk bicara saja sekaligus membuktikan apakah hari ini, pria itu benar-benar menikah. Dengan mata perih dan bengkak, Tika bangkit dari tempat tidur untuk mandi. Ia harus ke kantor walaupun sebenarnya ia masih ingin berbaring,ia sedikit demam. Andai saja orangtuanya ada di sini, ia pasti sudah dibuatkan sarapan dan tidur juga dibangunkan. Turun dari angkutan umum, Tika melangkah tak semangat. Semoga saja hari ini tidak banyak pekerjaan, jadi, ia bisa santai dan pekerjaannya tidak terbengkalai. Dalam masalah seperti ini, biasanya Tika tidak akan fokus bekerja. Masuk ke dalam gedung, mengisi absen, lalu masuk ke ruangannya. Ia duduk dengan lesu, dilihatnya beberapa temannya yang sudah datang sedang sarapan di meja masing-masing. Mereka memang lebih sering sarapan di kantor, karena menghemat waktu. Hari ini, Tika tidak membawa sarapan, ia malas. Tentu saja karena ia tidak nafsu makan. Pikirannya masih kacau. Wanita itu memijit pelipisnya. "Tika!" Tika menoleh,"ya, Bu?" "Tik, tolong ini diinput, terus secepatnya direkap,ya. Siang ini harus dikirim, soalnya penting,"kata Bu Tatik, kepala Bagian pelayanan. Tika mengangguk sambik menatap tumpukan dokumen yang barus aja diletakkan Bu Tatik ke mejanya,"baik, Bu. Saya input, terus nanti langsung kirim ke Ibu atau ke Pak Tarno?" "Ke saya dulu boleh, tapi, kalau kamu sudah yakin, langsung saja ke Pak Tarno." "Baik, Bu." Tika menarik napas panjang, kemudian menyeruput sedikit teh hangat yang ia bawa dari rumah. Lalu, ia mulai bekerja. Entah kenapa waktu berjalan begitu cepat hari ini, sudah hampir jam makan siang, tetapi, data yang diinput Tika masih setengah. Harusnya data seperti ini, bisa ia kerjakan lebih cepat. Perut Tika sudah keroncongan, wanita itu terus mengejar waktu sampai sembilan puluh lima persen sudah selesai. Adel, rekan satu kantor Tika melintas sambil membawa sebuah kertas cantik. "Del, kamu mau kemana?" "Ini, temen aku ada yang nikah. Jadi, makan siang ke sana, sekalian makan siang." Adel melambaikan undangannya. "Cantik banget, lihat dong!" "Undangannya,ya? Nih!" sodor Adel. Tika menatap undangan yanh dipegang Adel, napasnya tertahan membaca nama yang tertera."Del, boleh nggak aku ikut?" "Boleh banget, kebetulan aku memang lagi cari temen kondangan,"kata Adel dengan semangat."Kerjaan kamu udah beres belum? Rencana mau berangkat sekarang, nih, sebelum jalanan macet." Tika melihat jam dinding, istirahat makan siang masih lima belas menit lagi. Jika berangkat sekarang, tentu ia bisa kembali lebih cepat."Ayo deh. Tapi, nggak lama, kan, Del?" "Nggak,lah....habis makan kita langsung pulang. Yuk, aku bonceng naik motor,"ajaknya. Tika merapikan meja, mematikan komputer, lalu mengikuti Adel. Tujuan utama ia ikut dengan wanita itu adalah karena nama mempelai pria yang tercantum adalah Aditya Permana Chandra, kekasihnya saat ini. Walaupun sudah diputusin kemarin, Tika masih menganggap semuanya belum berakhir, tidak ada kesepakatan di antara mereka. Mungkin ada orang lain bernama Aditya Permana Chandra, tapi, hatinya berkata bahwa itu adalah Aditya, kekasihnya. Namun, sisi lain Tika tetap berharap itu bukanlah Aditya yang ia kenal. Sepeda motor Adel berhenti di parkiran sebuah gedung hotel. Adel parkir di area belakang hotel, dimana biasa para pekerja hotel ini memarkirkan kendaraan. Tika melepas helmnya sambil merenung, apa mungkin kekasihnya itu benar-benar menikah di gedung megah ini. Aditya bukanlah orang yang begitu kaya, mereka memang keluarga mampu, tapi, rasanya untuk menyewa gedung ini, rasanya tidak mungkin mampu. "Yuk, Tik, tapi, kita ke toilet dulu, ya. Benerin make up." Adel tertawa sambil memberi kode agar mengikutinya. "Tapi, ini nggak apa-apa, nih kita pakai baju kantor?" "Nggak apa-apa, lagian orang kantor temenku itu juga banyak kok yang datang,pakai baju kerja juga." "Oke." Tika mengikuti Adel ke dalam toilet untuk merapikan penampilan. Sampai saat ini, Tika sendiri masih belum mengerti kenapa ia masih nekat ikut, padahal, ia juga tidak akan pernah rela jika itu benar-benar Aditya, kekasihnya. Setelah penampilan mereka benar-benar rapi, mereka segera menuju ke aula, dimana acara dilaksanakan. Di pintu masuk, Tika melihat foto pra wedding, tubuhnya langsung membatu saat ia melihat foto Aditya di sana bersama wanita lain. Hati Tika tersulut api, rasanya marah sekali. "Tika, ayo masuk!"panggil Adel usai mengisi buku tamu. Tika berjalan cepat mengikuti Adel. Bukan mengikuti antrian mengambil makanan, Tika langsung menuju pelaminan yang saat itu sedang tidak ada tamu bersalaman. Tika naik ke atas panggung pelaminan, berjalan perlahan sambil menatap Aditya dengan mata berkaca-kaca. Aditya terkejut sekaligus tidak menyangka kalau Tika akan datang, padahal ia sudah mengatakan kalau pernikahannya diadakan di kampung halaman. "Jadi, ini, Dit...wanita yang kamu bilang dijodohkan sama kamu?" "Kamu siapa?"tanya wanita di sebelah Adit. Sempurna. Satu kata yang bisa Tika ucapkan ketika pertama kali melihatnya. "Tika, udah kamu pulang aja sana. Jangan merusuh di sini,"kata Aditya. "Aditya, kita kan masih pacaran... kamu kok tega begini, sih?" "Kamu siapa, kenapa berteriak begitu?"tanya istri Aditya lembut, hati Tika langsung hancur. "Kamu...ngapain di sini, hah?"tanya Mama Aditya yang baru melihat kehadiran Tika. "Tante, saya ini pacarnya Adit!" "Adit sudah punya istri! Kamu mau jadi pelakor!" Wanita paruh baya itu memanggil orang keamanan agar membawa Tika pergi. "Kita udah putus, Tika. Maaf, sekarang aku sudah ada istri. Jangan ganggu aku lagi!" Itulah kalimat terakhir Aditya sebelum Tika diseret paksa keluar gedung. "Pergi sana! Bikin rusuh saja!" Tubuh Tika didorong ke area parkiran mobil. Wanita itu sedikit terhuyung dan hampir jatuh ke tanah. Tika mematung di tempat dengan deraian air mata. Beberapa menit kemudian ia baru pindah ke bawah pohon dan menangis sejadi-jadinya di sana. Ia mencintai Aditya terlalu dalam, berharap terlalu tinggi, dan bermimpi terlalu jauh. Oleh karena itu saat ia terjatuh, benar-benar sakit. Tika tidak tahu berapa lama ia meratapi kesedihannya ini, sampai-sampai ia merasa lelah dan haus. Begitu hendak bangkit, ia baru menyadari bahwa ini sudah pukul tiga sore. Wanita itu pun panik, ia berlari ke parkiran sepeda motor. Sepeda motor Adel sudah tidak ada. Ia pasti sudah kembali ke kantor sejak tadi. Tika berlari sambil membuka aplikasi ojek online. Biarlah ia mengeluarkan uang lebih, yang penting ia bisa sampai kantor tepat waktu. Semoga saja Bu Tatik belum ada di kantor, doa Tika sepanjang jalan. Tapi, kali ini keberuntungan tidak ada di pihak Tika. Begitu sampai di ruangannya, Bu Tatik sedang berdiri dengan wajah marah. Bahkan ketiga temannya di dalam tampak menunduk, sepertinya mereka baru dimarahi. Suara langkah Tika membuat semua mata tertuju padanya. Bu Tatik berkacak pinggang, raut wajahnya kesal dan marah, kedua tangannya menempel di pinggang. "Tika! Darimana kamu?" "A...ada urusan, Buk." "Sebelum jam makan siang kamu udah keluar. Sekarang, satu jam setengah setelah makan siang, kamu baru kembali. Apa maksudmu? Sudah bosan kerja di sini?"tanyanya dengan nada bicara tinggi. "Maaf, Buk, saya salah." Tika menundukkan wajahnya. "Mana data yang saya minta tadi?" "Se...sebentar, Bu, saya input sisanya dulu. Sudah hampir selesai,kok, Bu." "Belum selesai ya?" Bu Tatik tertawa sinis."Kamu udah nggak layak kerja di sini, Tika. Kamu pikir, ini kantor nenek moyang kamu? Bisa keluar dan masuk seenaknya saja? Di kantor ini ada aturan, kamu sudah melanggarnya. Ditambah lagi belakangan ini kinerja kamu tidak bagus." "Bu, saya akan memperbaikinya. Maafkan saya,"ucap Tika. "Saya sudah bilang,kan kalau data itu harus selesai secepatnya. Kenapa belum kamu selesaikan, kamu sudah keluyuran? Pekerjaan kamu sudah dilanjutkan Mika!" Tika mengembuskan napas lega, setelah ini ia harus mengucapkan terima kasih pada wanita itu."Iya, Bu." "Silakan bereskan barang-barang kamu. Besok, kamu sudah bukan pegawai sini lagi!"kata Bu Tatik sambil meninggalkan ruangan. "Bu, Ibu..." Tika mengejar Bu Tatik sampai ke ruangannya, memogon agar ia masih bisa dimaafkan dan diizinkan tetap bekerja di sini. Wanita paruh baya itu berkeras hati, Tika tetap dipecat. Tak ada yang bisa Tika lakukan selain menangis sambil merapikan barang-barangnya. Penderitaannya sungguh lengkap, orangtua bercerai, ia ditelantarkan, ditinggal menikah oleh kekasih, sekarang dipecat dari pekerjaan. Lalu, apa lagi yang ia harapkan dari hidup ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD