PART 5

1154 Words
Sesuai perintah Mas Galang, aku pulang ke rumah malam ini. Menatap rumah dua lantai yang ku biarkan selama dua minggu penuh. Pertemuan terakhirku dengan Mas Galang menyebabkan pertengkaran dingin yang berlanjut hingga sekarang. Aku menarik koper kemudian menghidupkan lampu ruang tengah. Membuat keadaan gelap menjadi terang seketika. Rumah ini jauh dari kata kotor, alias bersih. Mungkin Mas Galang menyewa pekerja rumah untuk membersihkannya. Mengusap wajahku lalu beranjak ke kamar kami di lantai dasar. Aku tidak terlalu suka naik tangga, sehingga meminta Mas Galang agar kamar kami berada di lantai dasar saja. Membuka kamar dan seketika hawa dingin menyapa kulitku. Tempat tidur yang sedikit berantakan dan bantal guling tak beraturan. Dahiku langsung mengernyit. Apakah Mas Galang sering pulang ke rumah?  Atau justru dia memang tidak meninggalkan rumah sebelum kami ke Bali? Menghela napas pelan. Aku meletakkan koper di samping dinding. Menyingsingkan lengan baju sweater yang ku kenakan hingga ke siku. Mengambil selimut, sarung bantal dan t***k bengek lainnya lalu memasukkannya ke dalam keranjang baju kotor. Mengambil seprai bersih di dalam lemari dan beberapa sarung bantal. Menggantinya dan menyusunnya hingga rapi. Aku mengambil koper kemudian menyusun bajuku dalam lemari 4 pintu. Setelahnya, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasa lelahku langsung terbayar seketika saat air mengguyur tubuhku. Belum lagi pikiranku yang penat karena Mas Galang tidak pulang. Memikirkan apa yang mereka lakukan saja membuat hatiku berantakan. Tapi, kembali lagi pada keadaan yang tak pernah bisa berkompromi denganku. Kekuranganku yang membuat rumah tangga kami seperti ini. Aku bahkan tidak tahu sampai kapan bertahan dengan keadaan seperti ini. Ataukah suatu saat aku justru akan menerima kehadiran Shaira dengan lapang d**a? Ku harap begitu. Karena dengan menerimanya, hatiku akan terobati lebih baik. Menyelesaikan ritual mandiku, aku segera mengenakan baju tidur. Mematikan lampu utama kamar dan menyisakan lampu tidur, kemudian beranjak ke ranjang. Aku meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhku hingga ke d**a. Jantungku terus berdetak sakit mengingat apa yang mereka lakukan malam ini. Mengabaikannya adalah pilihan baik, sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Tanganku bahkan sudah berkeringat dingin. Tuhan, kuatkan aku... Memejamkan mata, sambil berusaha melupakan keduanya. Mematikan lampu tidur agar menjadi gelap, menyisakan remang-remang sehingga aku mudah terlelap. Hingga akhirnya, aku benar-benar terlelap dalam keheningan yang menyakitkan. ❣ "Pernikahan akan diadakan dua bulan lagi! Kakek sudah menentukan calon Ibu dari anakmu." Aku tersentak ketika seorang Aditama Prasetya mengucapkan hal tersebut. Kulirik Mas Galang yang tengah mengepalkan tangannya erat. Rahangnya bahkan mengetat. Tak ada yang berani membuka suaranya, Mama bahkan terisak dalam diam di dalam pelukan Papa. Bunda? Untung saja tidak ada. Kalau tidak, sudah pasti Bunda akan menyesal dengan pilihanku.  "Kakek!" "Ingin membantah?" Desis sang Kakek yang sudah berumur 70 tahun, namun masih terlihat bugar. "Kamu harus memiliki seorang penerus, Galang!" Aku terus terisak di sebelah Mas Galang. Merasa bersalah karena tidak dapat memberikan seorang penerus keluarga Prasetya ini. "Aku tidak bisa! Aku hanya mencintai Dara." Kurasakan genggaman hangat menyentuh jemariku. Menangkupnya dengan erat. Kulihat Kakek melirikku sekilas sebelum mengalihkan tatapannya pada langit-langit ruangan. "Tidak perlu cinta. Kamu hanya perlu menghamilinya dan setelahnya terserah." Galang menggeleng tidak percaya. "Bagaimana mungkin Kakek sekejam ini?" "Aku sudah kejam sejak dulu." Seorang penguasa bisnis seperti Aditama hanya akan memikirkan keinginannya tanpa tahu kemauan orang lain yang bertentangan dengannya. Aku sadar sejak awal pernikahan ini telah salah. Hanya saja, aku menutup mata dan beranggapan semua baik-baik saja. Keluarga Prasetya memang memiliki ratusan hektar sawit, ribuan rantai sawah, dan belum lagi kini sedang membangun perusahaan swasta yang memperkerjakan sekitar 2500 pegawai. Tentu saja dengan semua kekayaan yang dimiliki serta kekuasaan itu, Aditama Prasetya tidak ingin tidak memiliki keturunan. Egonya terlalu besar dengan lagi harga diri yang begitu tinggi. "7 tahun, Galang! 7 tahun kalian menikah dan sudah cukup bermain-mainnya!" Kulihat matanya menajam membuatku langsung melepaskan tangan Mas Galang dan bergumam, "Kakek benar, Mas." Bisikku pelan, membuat Mas Galang langsung melirikku. Menatapku tajam seolah tahu apa yang akan ku katakan. "Kamu butuh penerus. Dan aku tidak dalam posisi yang bisa memberikan hal tersebut. Aku ikhlas kalau Mas nikah lagi." "Lihat, isterimu saja setuju. Apa lagi yang kau pikirkan?" Aditama berjalan dengan langkah mantap ke arah kami. Berdiri tepat di hadapan Galang. Melihatnya dari dekat seperti ini mengingatkanku akan presiden Amerika sekarang. "Aku yang akan menyiapkan semuanya! Dua bulan lagi, kamu harus menikah." "Kakek tidak bisa seenaknya mengaturku!" Bentak Mas Galang sambil menatap sosok Aditama yang terlihat begitu kejam saat ini. Menghancurkan kebahagiaan siapapun hanya karena keegoisannya. "Oh, tentu saja Kakek bisa, Son. Lupa, bahwa Kakek orang berkuasa?" Kali ini kulihat Kakek mendekatkan diri kepada Mas Galang dan berbisik pelan yang nyaris tak terdengar olehku. "Pilih cerai atau menikah lagi?" ❣ "Gimana tugas project-nya sama Bu Dina?" Kiki tiba-tiba saja bertanya padaku tentang project yang sedang ku kerjakan bersama Bu Dina. Sementara, aku membantu Bu Dina mengerjakan sebuah project khusus untuk alumni Australia yang di danai 1000U$D. "Sejauh ini lancar." Aku tersenyum. "Do'akan saja, semoga project-nya sukses dan kita makan enak." Kulihat Kiki mencebik. Dia adalah wanita berhijab sama seperti Ibu. Bawaannya lembut dan juga tenang. Hanya dia yang tahu permasalahan keluargaku karena memang hanya dia yang kupercayai. "Gimana keadaan kamu?" Tanyanya saat aku terdiam cukup lama. Perlahan, aku mengukir senyum. "Baik." Jawabku serak. Mungkin di depan orang lain aku bisa tegar. Tapi, didepannya aku justru terlihat cengeng. Lihatlah, bahkan mataku sudah berkaca-kaca. Oh, ini tidak Bagus! "Nangis aja, Ra." Kiki tersenyum. Justru senyumnya membuat diriku semakin merasa tercekik dan menangis sekeras-kerasnya. "Nangis itu bisa bikin sesak kita hilang. Cukup pakai topengmu di rumah aja, tapi jangan di depanku." Dan benar... Aku menangis. Tak peduli bahwa teman-teman lain melirikku heran. Aku merasakan bahwa Kiki mendekatiku, sebelum memelukku dari samping dan menepuk punggungku yang bergetar karena isakan. "Kamu tahu, Ra, kenapa kita diciptakan?" Aku menggeleng. Masih dengan isakan tangis yang kuat. Mencoba menghapus air mataku dengan tisu. "Kita diciptakan untuk beribadah." Bisik Kiki pelan. "Jika seseorang di beri masalah, tandanya kita sedang di uji. Dunia ini fana, Dara. Kita bakal mati dan apa yang kita bawa saat mati kalau kamu hanya bisa merenungi nasib kamu?" Tanya Kiki yang membuat diriku terhenyak. Merasa tertampar. "Kamu tahu, kenapa kamu sakit hati? Dikasih cobaan kaya gini?" Aku menggeleng pelan. Menatap Kiki berkaca-kaca. Kulihat wajah cantik itu tersenyum dan berujar pelan. "Karena Allah cemburu jika kita terlalu mencintai makhluk-Nya, Ra." Benarkah? Walau aku tetap shalat lima waktu, insyaAllah. Tapi aku tahu aku masih akan terus berdosa mengingat aku belum menutup aurat dengan benar. Tapi, apakah benar yang Kiki katakan? Benarkah Allah cemburu padaku? Padahal aku hanyalah makhluk hina dalam dunia ini. "Cukup cintai Allah dan Rasul maka kamu nggak akan pernah merasa sakit. Sering tadarus, Ra. Aku yakin, sakit hati itu akan hilang dan lama kelamaan kamu akan terbiasa. Aku harap kamu kuat seperti Ibunda Aisyah." Mata Kiki menerawang langit biru yang begitu cerah. "Aku berharap bertemu dengan beliau di akhirat kelak, Ra." "Aamiin..." Jawabku sambil turut menatap langit. Tuhan, maafkan aku jika aku terlalu lalai dengan dunia. Padahal hanya Engkaulah yang dapat menolong hatiku wahai Sang Membolak-balik hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD