MANTAN ISTRI

1105 Words
❤️❤️❤️ Setelah sarapan roti, Hanum mencuci bekas makan mereka. Sementara Pram duduk menikmati acara televisi di ruang tengah rumahnya. Hanum bingung, ingin mencuci pakaian, tidak bisa menggunakan mesin cuci. Ingin memasak, tidak bisa memakai kompor gas. Akhirnya ia memutuskan untuk menyapu, dan mempel lantai saja. Saat membersihkan ruang tengah, dilihatnya Pram asyik menatap ke arah layar tv. Melihat layar televisi yang begitu besar, dan gambar yang ditampilkan sangat bersih, Hanum yang tengah mdngepel lantai jadi berjongkok di depan televisi. "Di kampungku gambarnya tidak sebagus ini, Tuan,. Mklum tivi tar tok sih, bergetar, digetok baru layarnya bersih." Hanum terkekeh sendirian. "Hanum, selesaikan pekerjaanmu dulu kalau mau nonton televisi," tegur Pram, sambil meraih remote tivi. "Baik Tuan." Hanum melanjutkan pekerjaanya, membersihkan, dan mengepel lantai. Pram memperhatikan gerak gerik Hanum, ia ingin tahu apakah kejadian semalan mempengaruhi langkah Hanum. Memang ada yang terlihat janggal saat Hanum melangkah. Pram jadi tersenyum melihatnya, dibiarkan Hanum menyelesaikan pekerjaannya. "Hanum, aku ke atas. Kalau ada yang mencariku, katakan saja aku tidak ada." Pram bangkit dari duduknya. "Dosa itu bohong Tuan, eeh ... salah, maksud saya bo ...." "Ya ... ya, aku tahu, kalau begitu katakan saja aku tidak ingin diganggu, aku ingin istirahat!" Potong Pram sebelum Hanum mencicit lebih panjang lagi. Hanum menatap jam di dinding. "Pagi-pagi tidak boleh tidur, Tuan. Kata alamarhumah ibu saya, nanti kena penyakit biri-biri." Pram menarik napas, lalu menghempaskannya dengan kuat, ia berusaha untuk tidak berkata terlalu keras. "Aku cuma ingin istirahat, bukannya mau tidur." "Ooh, ya Tuan. Tapi saya pikir, tidak mungkin juga ada tamu sepagi ini, kec ...." "Cukup Hanum, teruskan pekerjaanmu!" Pram melangkah meninggalkan Hanum, Hanum mengatupkan mulutnya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Pekerjaannya sudah selesai, Hanum duduk di lantai di depan televisi. Tiba-tiba suara bell dari pintu depan berbunyi. Cepat Hanum bangkit, dan menuju pintu. Seorang wanita cantik berdiri di hadapannya, Hanum harus mendongak umtuk bisa menatap wajah wanita itu. Mata Hanum melebar, mulutnyapun ternganga lebar. Sesaat kemudia ditutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Kamu siapa?" Tanya wanita itu sambil mengernyitkan keningnya. "Nyonya, Nyonya istrinya Tuan Pram kan?" Hanum mengacungkan telunjuk pada Evita yang berdiri di depannya. "Mantan istri! Kamu siapa?" "Saya?" Hanum menunjuk dirinya sendiri, ia tidak memperhatikan jawaban Evita, kalau Evita menyebut dirinya mantan istri Pram. "Iya kamu, siapa? Kenapa ada di sini?" Tanya Evita tidak sabar. "Saya Hanum," jawab Hanum dengan hati berdebar, takut Evita menjambak, atau mencakar atau meludahinya. "Namamu Hanum? Kamu siapa?" "Iya saya Hanum, itu nama saya." "Ya Tuhan, maksudku, kamu itu siapanya Mas Pram!?" Evita mulai kehilangan kesabarannya. "Enghh, kata Tuan, Nyonya sudah tahu soal saya," jawab Hanum sambil menatap wajah Evita dengan perasaan takut. Ia takut kalau-kalau Pram bohong, saat mengatakan kalau istrinya tahu dia menikah lagi. Dalam bayangan Hanum jika istri Pram tidak tahu, itu artinya ada kemungkinan ia akan diludahi, di jambak, dan dicakar seperti tetangganya di kampung yang dilabrak istri tua suaminya. "Mas Pram bilang begitu? Memangnya kamu ini siapanya Mas Pram!?" Evita menatap Hanum dari ujung kaki sampai puncak kepala. Baginya, Hanum hanya bocah ingusan saja. Rambutnya yang diikat di puncak kepala, wajahnya yang polos tanpa polesan apapun juga, daster batik kusam yang dikenakannya, tubuhnya yang kecil tanpa ada lekukannya. Semuanya tidak menunjukan kalau Hanum adalah orang penting yang harus ia ketahui kehadirannya. "Jadi Nyonya belum tahu soal saya, jadi Tuan tidak mengatakan pada Nyonya soal saya? Tapi, kata Tuan, Nyonya sudah tahu kalau Tuan menikah lagi," ujar Hanum tergagap, sekarang ia benar-benar merasa takut, nyalinya menciut, ia ingin tubuhnya juga menciut seperti liliput. Apa lagi, tatapan Evita yang menyelidik ke arahnya, menatap sekujur tubuhnya. 'Aduuh, bagaimana ini?' "Mas Pram menikah lagi? Hmmm, kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa harus ikut mengurusi urusan pribadi Mas Pram segala?" Evita melangkah melewati tubuh Hanum yang masih berdiri di dekat pintu. Lalu Hanum mengikuti langkah Evita. Evita memutar tubuhnya dengan mendadak, Hanum yang mengikuti langkahnya jadi membentur tubuhnya. "Eh maaf, Nyonya." Hanum segera mundur beberapa langkah. "Jawab pertanyaanku, kamu ini sebenarnya siapa?" Evita menatap Hanum dengan tidak sabar, karena jawaban Hanum yang berputar-putar. "Saya ...." 'Bohong apa jujur ya, ehmm bohongkan dosa, tapi kalau jujur, terus aku dijambak bagaimana?' "Hey! Jawab pertanyaanku!" Bentak Evita yang sudah tidak sabar lagi menunggu jawaban Hanum. "Enghh, Nyonya jangan jambak, dan cakar saya ya, kalau saya jawab dengan jujur." "Untuk apa aku jambak, dan cakar kamu!?" "Ya saya takut nanti seperti Teh Mimin." "Teh Mimin? Siapa itu?" "Dia ... enghhh ... ehmm, Nyonya mau bertemu Tuankan? Saya panggilkan dulu ya. Ehhh, Nyonyakan istrinya, Nyonya bisa bebas keluar masuk di rumah ini. Eeh, kalau Nyonya istri Tuan, kenapa tidak ting ...." "Hey ... hey, bocah! Aku tidak punya waktu mendengarkan ocehanmu, sekarang panggilkan Tuanmu, suruh dia turun, aku tunggu di sini! Dan satu lagi, aku mantan istrinya, bukan istrinya lagi!" Evita menghempaskan pantatnya di sofa ruang tengah. Hanum berdiri di sampingnya. "Mantan istri? Bekas istri maksudnya? Tapi foto Nyonya masih ada di dinding kamar Tuan." "Ya Tuhan, cepat panggilkan Mas Pram, aku tunggu di sini!" "Maaf Nyonya, sebentar saya panggilkan. Eeh tapi tadi Tuan bilang, kalau ada yang bertamu bilang Tuan sedang istiraha, dan tidak mau diganggu. Nyonyakan cuma bekas istri Tuan, berarti Nyonya tamukan di rumah ini, ehmm saya tidak berani ...." "Hanum!!" Suara menggelegar dari atas tangga mengagetkan keduanya, mereka sama-sama menolehkan kepala ke arah tangga. Tampak Pram sudah berada di dasar tangga. Wajahnya merah padam, menyimpan amarah pada Hanum, karena ia mendengar Hanum menyebut Evita sebagai bekas istrinya, dan hanya sekedar tamu di rumahnya. "Mas Pram" Evita bangkit dari duduknya, lalu ia meraih bahu Pram, dan mendaratkan kecupan di pipi Pram. Hanum yang berdiri diam hanya bisa membelalakan matanya. 'Katanya sudah jadi bekas istri, kok masih cium-cium. Eeh, inikan kota ya, orang kotakan sudah biasa seperti itu. Aah tahu aah, pusing. Lebih baik nonton tivi lagi' Melihat Pram, dan Evita yang masih bicara sambil berdiri, Hanum memilih kembali duduk di lantai untuk menonton televisi. Sampai suara panggilan Pram yang menggelegar, membuatnya terlonjak berdiri. "Hanum!!" ****************
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD