Bab 40 Menanggung Semua Kesalahan 2

1283 Words
“Hei! Cepat bawakan ke mari ayamnya! Apa kamu tahu?! Gara-gara pengantaranmu telat, Arkan tidak mau berhenti syuting hanya untuk menunggu pesanan yang tertunda lama! Dia aktor besar, jadwalnya padat! Kami semua di sini menderita karenamu tahu? Sudah syuting sejak subuh, kami hanya makan seadanya!” “Ma-maaf!” balas Casilda canggung pada kru wanita tadi. Ternyata dugaannya tepat. Wajah marah mereka hanya satu yang masuk akal penyebabnya, belum mengisi perut sama sekali. Matanya dengan cepat bertumbuk pada Arkan yang tersenyum sinis ke arahnya. Pria itu berjalan ke arah kursi istirahat sembari menggandeng lawan mainnya, tidak lain dan tidak bukan adalah sang tunangan sendiri. Lisa tampak dengan bangga dan tersenyum manis berterima kasih pada kru yang berpapasan dengannya. “Pria sialan! Dia pasti sengaja melakukan ini agar aku kena marah! Dasar licik!” gumam Casilda berbisik, mata menyipit melihat kemesraan kedua orang itu. Entah kenapa hatinya begitu sakit dengan keadaan yang tampaknya sengaja dibuat untuk menjebak dan menekannya. Mau bagaimanapun, tempat itu adalah kawasan rawan macet. Pesanannya ada 200 kotak, dan harus baru digoreng hari itu juga, Ditambah harus tepat tiba pukul 11 pagi! 'Gila! Gila! Gila! Apa dia sebegitu dendamnya kepadaku?' batin Casilda menahan diri, gigi dikatupkan rapat-rapat. “HEI! KENAPA MALAH MELAMUN DI SITU?! CEPAT AMBILKAN PESANANNYA!” wanita tadi berteriak mendekat, tepat di depan wajah Casilda. “MAAF! MAAF! SAYA AMBILKAN SEKARANG JUGA!” Casilda dengan cepat pamitan pada kru wanita tadi. Kakinya berbalik menuju mobil kedai, lalu perlahan melambat dengan air mata menuruni kedua pipinya. Suara terisak kecil terdengar dari perempuan berkaos merah lengan panjang ini. Wajahnya yang mulai merah oleh demam yang semakin naik, kembali sembab oleh air mata. Hatinya seolah tertusuk duri. Sampai kapan kesialan ini akan berhenti? Biasanya, Casilda bukan wanita cengeng seperti ini, tapi dirinya yakin, jika siapapun yang berada di posisinya sekarang pasti tidak akan tahan juga. Susah payah dia menurunkan sebuah troli lipat yang baru saja dibeli oleh Bu Hamidah dari atas kap mobil, lalu mulai menyusun satu per satu kotak ayam dalam troli tersebut. “Bu Hamidah harusnya beli troli seperti ini sejak dulu! Baru sekarang dibeli! Dasar pelit!” umpat Casilda serak, mencoba mengalihkan amarahnya pada bosnya yang sifatnya sulit ditebak itu, mau dibilang pelit tidak juga, murah hati tidak juga. Selama beberapa menit, Casilda bolak-balik mengantarkan pesanan untuk para kru tersebut. Tidak seperti di mansion atau di panti asuhan, kali ini tidak ada yang mendahuluinya, pun membantunya. Dia seorang diri harus mengeluarkan semua kotak pesanan itu. Casilda berpikir, mungkin karena dia sudah membawa troli, jadi mengira mereka tidak usah membantunya, tapi kenyataannya dia tahu tidak seperti itu. Semua kru tampak marah dan bersikap kasar dengan sengaja. *** Di tenda putih besar yang terpasang di tempat syuting, jauh dari pandangan khalayak ramai. Pada bagian terbuka tenda—langsung mengarah pada pemandangan di mana Casilda yang tengah sibuk menumpuk pesanan di meja luar, Arkan duduk dengan santainya di kursi pantai sembari melipat kaki menyaksikan wanita gendut itu susah payah mengatur kotak ayam krispis sambil mendengar ocehan dari beberapa kru di sana. Terlihat jelas Casilda menjadi kambing hitam sasaran amarah para kru akibat Arkan menolak untuk istirahat sejak subuh tadi. Pria berkemeja putih ini, yang tengah sibuk berakting sebagai pria kantoran bersantai dengan tubuh dirilekskan, meminum smoothie miliknya dengan perasaan puas. Kacamata hitam terbingkai di wajahnya, sudut bibir terangkat jahat. “Sepertinya dia bekerja sendirian kali ini,” komentar Lisa yang juga duduk meluruskan dan melipat kaki di kursi pantai yang terlihat nyaman, tepat di sebelah Arkan, hanya sebuah meja bundar yang memisahkan mereka di bagian atasnya. Lisa menggulung lengan dres merahnya, sibuk mengoleskan krim di kulit tangan secara bergantian. “Mau sendiri atau tidak, pesanan harus tetap diantarkan, bukan?” ucap Arkan dingin, bersandar dengan satu tangan di belakang kepala, menikmati kerja keras Casilda di luar sana sebagai hiburan kecilnya. Wajahnya sangat berseri-seri sampai Lisa sang tunangan mengeryitkan kening. “Kamu tampak sangat senang sekali?” “Um?” Arkan menoleh, membuka kacamata hitamnya, sebelah kening terangkat ringan. “Apa ada yang membuat hatimu senang hari ini?” selidik Lisa, tersenyum kecil tapi juga agak curiga jika Arkan mungkin saja sudah bertemu wanita baru yang menarik tanpa sepengetahuannya. “Tidak ada yang spesial. Hari ini syuting kita sudah selesai sekali ambil, juga akan libur selama 2 hari ke depan mulai besok, jadi apa salahnya jika sedikit merasa senang?” Lisa tidak percaya, “hanya itu?” “Ya, hanya itu. Kamu pikir apa lagi?” dengus Arkan pelan, tersenyum dengan sudut bibir terangkat jahat. “Ah... Ngomong-ngomong soal itu, kamu terlalu kejam pada mereka. Sejak subuh mereka tidak istirahat sama sekali. Alasan macam apa itu kamu tidak ingin jadwalmu berantakan gara-gara pesanan yang terlambat? Bukankah jadwalmu akhir-akhir ini cukup santai?” “Sayang, kamu bicara apa? Jadwal bagi orang seperti kita semua harus tepat waktu,” balas Arkan enteng. Matanya bersinar menarik melihat Casilda yang terjatuh di depan sana hingga trolinya menjatuhkan isinya ke tanah. Beberapa kru tampak mulai meneriakinya dengan gaya yang begitu sombong. Casilda tidak melawan, dengan cepat memungut kotak-kotak itu yang untungnya sudah diberi perekat karena sudah berniat untuk balapan menuju tempat syuting itu. “Maaf! Maaf! Trolinya terbentur batu!” Perempuan ini hanya bisa meminta maaf berkali-kali seperti mesin penjawab otomatis. Sebenarnya, penglihatannya sudah mulai berkunang-kunang hingga merasa hampir oleng dan menahan tubuhnya pada troli, tidak disangka malah menarik jatuh troli itu bersamanya ke tanah. “Konyol sekali dia,” komentar Arkan dengan tawa mengejek di wajah tampannya, kembali meminum smoothie-nya. Begitu angkuh dan sombong. “Kamu ini. Dia begitu karena dirimu, kan?” “Apa? Kamu bercanda?” Nada sindiran yang tiba-tiba dingin itu membuat hati Lisa seolah ditampar. “Itu salahnya sendiri. Aku sudah menyuruhnya membawa pesanan itu tepat pukul 11 pagi. Sekarang sudah jam berapa?” Lisa ingin mengomentarinya dengan alasan yang logis, tapi melihat raut wajah tunangannya itu sangat tidak enak dipandang, membuat dia mengurungkan diri. Kenapa harus memilih kedai itu sejak awal yang jaraknya sangat jauh? Sama sekali sulit untuk dimengerti. Apalagi jika harus tepat waktu melalui jalur yang sering macet. Ada banyak penjual makanan serupa di sekitar kawasan syuting mereka, dan juga lebih dekat, serta tidak kalah enak. Ditambah lagi, masih banyak pilihan makanan selain ayam krispi. Model cantik ini menghela napas kasar, membiarkan saja hal itu kali ini karena tidak ingin bertengkar dengannya. Selama beberapa saat, Casilda bukan hanya menyelesaikan antaran tersebut, tapi juga malah disuruh membantu membagikan makanan bersama para kru lainnya dengan alasan sudah terlambat dan menghambat kerja mereka. Jadi, dengan muka pucat dan tubuh berkeringat, Casilda mengiyakan saja perintah mereka untuk membantu selama hampir setengah jam. Lebih tepatnya, dominan Casilda yang mengerjakan bagi-bagi makanan itu, sementara para kru sibuk menyantap makanan mereka dengan wajah gembira. Tempat itu akhirnya mulai sepi ditinggal oleh para penonton, dan para kru sudah mulai bersiap-siap untuk membereskan peralatan mereka. Lisa, tunangan Arkan, lebih duluan pergi karena masih ada jadwal foto di tempat lain. Di saat Casilda duduk di sebuah kursi kosong karena kelelahan dan lapar, seorang kru pria menghampirinya dengan wajah tidak suka. “Hei, gendut, kamu dipanggil oleh Arkan!” semburnya dengan nada tidak ramah. “Um? Ya?” balas Casilda dengan punggung ditegakkan susah payah, kedua kaki dan tangannya kembali gemetar. “Kamu mau dibayar atau tidak?” “Ba-baik!” jawabnya cepat, sedikit canggung oleh bentakan itu. Kedua pipinya tersipu malu, merasa seperti seorang bud4k kuli bangunan yang dipekerjakan semena-mena. “Cepatlah! Arkan bukan orang yang sabaran! Aku sudah memanggilmu, kalau aku dimarahi olehnya karena kamu telat lagi. Awas saja kamu! Dia ada di tenda itu!” Dari jauh, Casilda melihat sebuah tenda putih mewah, pandangannya mengikuti arah tunjuk sang kru pria tersebut. Jantung Ratu Casilda Wijaya seketika berdebar sangat kencang. Saliva ditelan kuat-kuat, mengedipkan mata dengan perasaan tidak menentu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD