Bab 82 Tamu Tidak Tahu Etika

1479 Words
Rabu esok harinya, subuh dini hari, di sebuah rumah kecil dan sedikit reyot. Casilda tidak percaya dengan apa yang dialaminya dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Mata pandanya dalam dan kuat, membuat penampilannya yang berpipi bakpao dan rambut berantakan tidak diikat sudah bikin dirinya terlihat menyedihkan dan sangat memprihatinkan. Dia sudah berdiri di depan kamarnya dengan tatapan melongo bodoh menghadap ruang tamu kosong. Penampilannya mirip penghuni rumah sakit jiwa. Di tubuhnya berbalut daster warna ungu gelap, terlihat sedikit pucat oleh waktu karena keseringan dipakai dan dicuci. Kejadian dilecehkan oleh Arkan kemarin membuatnya mimpi buruk sampai tidak bisa tidur nyenyak. Ketika dia mengingat keputusan ibunya kemarin untuk menyuruhnya pindah ke mansion pria itu, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, langsung bergidik ngeri. “Kamu sudah bangun, nak?” sapa ibunya dengan sopan, membawa nampan berisi segelas teh hangat, tapi dari bentuk cangkirnya itu sudah jelas bukan untuknya. “I-ibu?” gagap Casilda dengan perasaan gamang, sedikit tidak nyata dengan apa yang dialaminya sekarang. Apakah dia ini tengah bermimpi, atau sudah bangun? “Kamu ini! Kenapa penampilanmu berantakan sekali! Kalau dilihat bosmu, apa tidak malu?” Bagaikan disambar petir, Casilda langsung memucat kelam, hawa dingin menggigit kulitnya. Baru ingat kalau pria sialan itu akan menjemputnya pagi-pagi sekali. Casilda bergegas melirik jam di dinding ruang tamu, tapi ini baru pukul 5 lewat! “Bu, apa tidak kepagian bikin tehnya?” tanya Casilda dengan sedikit tak enak hati, berpikir karena mungkin ibunya agak lambat mencerna sesuatu di otaknya seperti biasa. Ibunya tertawa. “Kamu ini bicara apa? Nak Arkan sudah ada di luar menunggumu. Ibu baru saja ingin membangunkanmu. Sudah sholat subuh, kan?” Bagaikan ada kilat yang menyambar muka Casilda, wanita dengan pipi bakpao ini syok bukan main. Pagi-pagi dia sudah kena serangan panik, entah bagaimana hari-harinya esok! Apa? Dia sudah datang menjemputnya sepagi ini? Dia sudah gila? Atau benar-benar kejam tidak sabar ingin menyiksanya terus? Apa dia pikir dirinya akan kabur lagi? “Ayo, cuci muka dulu sana, trus bantu ibu bawakan camilan yang ada di dapur,” bujuknya dengan suara seramah dan sehalus mungkin. Wajah Casilda menggelap suram. Kedua bahunya melorot lesu. “Bu... ibu tidak hambur-hamburkan uang untuk beli makanan bagus untuk dia, kan, Bu?” tanya Casilda keringat dingin. Takut kalau uang simpanan mereka habis dalam sekejap mata hanya untuk menyenangkan pria sialan itu! “Maafkan ibu, ya! Tapi, hanya sedikit saja!” jelasnya tertawa bodoh sebentar, lalu melanjutkan, “ibu beli pisang di warung 24 jam tadi. Tidak mahal, kok. Lumayan diskon sedikit.” Melihat ibunya berlalu begitu saja, hawa dingin menusuk kulit wanita ini. Hatinya mencelos hebat. Invasi pria itu sepertinya sudah semakin meluas dalam hidupnya, harus bagaimana dia mengatasinya? Casilda tertawa dingin dalam hati. Jangan lupakan soal hutangnya yang menumpuk tak terkira itu! Sialan! Apa-apaan dia menjualnya, lalu membelinya lagi hingga dijadikan budaknya dalam berhutang? Casilda sebenarnya tidak terima hal tersebut, tapi ketika ingat sudah punya uang untuk adiknya. Kemarahannya bagaikan disapu bersih oleh air bah. Dengan pembawaan lesu, segera menuju kamar mandi untuk bersiap melayani tuan kejam itu. Peristiwa dilecehkan oleh Arkan sebelumnya, terus-menerus mencoba ditekan dalam ingatannya. Kalau diingat terus, dia bisa gila! *** Suara tawa terdengar kencang di teras rumah kecil tersebut, dan dari arah pintu terlihat Casilda membawa sepiring gorengan dan 2 toples krupuk murahan. Mata datar kesalnya tersenyum menyambut ramah kepada sosok tampan yang sudah menyamar di depan ibunya. Dasar pria licik! “Ayo, nak! Sapa nak Arkan!” Casilda terbodoh. Nak Arkan? Casilda baru menyadari sebutan itu. Dia sudah ganti nama lagi? Bukannya dulu bilang namanya Ezra, kan, di depan ibunya? Wanita berdaster ini berhenti di depan Arkan sembari masih memegangi nampan yang penuh, menatap Arkan dalam keadaan setengah melongo. Arkan tersenyum licik, langsung memahami keheranannya. “Ibumu sudah kuanggap sebagai ibu sendiri, jadi dia boleh memanggilku Ezra atau Arkan. Tidak masalah.” 'Tidak masalah kepalamu!' batin Casilda memekik tinggi, nadi di pelipisnya berdenyut-denyut kesal, tapi tetap tersenyum lebar. Dia sudah menerima uang, juga punya hutang banyak. Belum lagi, kini pria itu sudah tahu tempat tinggalnya. Sebaiknya untuk sekarang ambil aman saja. Masalah kabur darinya akan dipikirkan lain waktu. Bukankah jika ingin lari sekuat tenaga harus punya kekuatan besar lebih dulu? Ketiga orang itu berbincang cukup lama sampai matahari terbit, dan yang paling bahagia adalah ibu Casilda. “Nak Arkan, ibu sungguh terima kasih sekali lagi kamu mau menjadikan dia sebagai asisten pribadi. Mendengar kamu ini ternyata adalah teman yang benar-benar baik dan akrab dengan Casilda, ibu sangat lega” ibu Casilda memotong kalimatnya, lalu melirik ke arah putrinya, “dengan begini, ibu bisa titipkan dirimu kepadanya.” Casilda tersenyum aneh dengan mata didatarkan pasrah, rasanya sudah seperti orang mau menikah saja dengan seorang iblis! Dititipkan apa?! Ibunya aneh-aneh saja! “Nah, bagaimana? Apa semua barang-barangmu sudah siap?” tanya Arkan dalam balutan pakaian serba putih dengan kacamata dan kumis tipis palsunya. Dipikir-pikir, gayanya ini seperti seorang sutradara parlente saja. Bikin emosi Casilda naik ke ubun-ubun. Tamu tidak tahu etika bertamu di waktu subuh! Orang kaya macam apa itu tidak punya sopan santun? Sambil tersenyum menahan kekesalan dalam hati karena tak ingin membuat ibunya cemas, dia pun membalas super sopan, “semuanya sudah saya bereskan, Pak. Tapi, saya belum mandi. Apakah Anda bisa menunggu? Soalnya, Anda datangnya terlalu awal, mana saya tahu kalau akan sepagi ini. Saya kalau mandi cukup lama. Kalau tidak bisa menunggu, nanti saya sendiri yang akan ke mansion Bapak.” Suara ‘CTAK!’ seolah terdengar keras di telinga sang aktor. Rasanya ada yang patah di kening Arkan yang kini bergerak-gerak kesal menatapnya dengan amarah tertahan. Bapak? Apa-apaan dia memanggilnya dengan sebutan tua begitu. Di bawah meja, kaki sang aktor menendang kaki Casilda, menyindirnya sembari pura-pura tertawa senang dengan nada agak aneh menahan amarah, “Cas, kamu ini ada-ada saja panggil formal begitu. Bicaranya biasa saja. Tidak perlu panggil bapak.” Cas? Apa dia tidak tahu malu sok akrab dengannya? Wajah Casilda mendatar kesal, menatapnya tak ramah merasakan gesekan kaki pria itu yang seolah tengah memperingatinya berhenti bersikap sok menjaga jarak. Apa takut dia mengacaukan rencananya? Casilda tersenyum menyebalkan, “aduh, Pak Arkan, meski kita adalah teman. Tapi, kalau sudah dalam mode bekerja, bukankah harus sopan? Atau mungkin sebaiknya saya panggil sebagai Tuan Arkan saja?” Ucapan ‘Tuan Arkan’ itu dikatakan dengan nada setengah mendesis geram sembari tersenyum menyindir, mencoba mengingatkannya kalau status di antara mereka tidak bisa seenak yang dia mau meski ada hutang yang mengikat mereka! Di waktu lain, dia memperlakukannya sebagai budaknya dan sampah, tapi di waktu lain, malah sok akrab begini. Maunya apa? “KAU!” desis Arkan, memberinya ekspresi marah diam-diam ketika ibu sang wanita sibuk menyeruput tehnya. “Tuan Arkan sangat baik. Seharusnya saya saja yang datang ke mansion hari ini, apakah Anda tidak sibuk?” tanyanya sok perhatian, mata dibuat-buat memelas kasihan. Tidak peduli dengan protesnya. Wanita ini! Apa-apaan dia?! Baru saja berada di bawah kuasanya, tapi sudah bertingkah kembali! Benar-benar tidak bersyukur! Apa perlu dia memberinya pelajaran ‘khusus’ seperti kemarin? “Kalian ini sepertinya memang sangat akrab, ya, melebihi dugaanku. Ah, Andai saja Casilda bisa segera menikah dan mendapatkan suami sebaik nak Arkan, sudah pasti aku akan lebih tenang dan lebih senang lagi,” jelas sang ibu tiba-tiba setelah menyesap tehnya puas, tersenyum ke arah Arkan dengan wajah cerahnya. Baik Casilda, maupun Arkan seketika tersedak saliva sendiri mendengar kalimat barusan. “Ka-kalian kenapa?” tanya ibu Casilda panik, bingung mau mengecek siapa duluan di antara kedua orang itu yang terbatuk karena saliva sendiri. Mereka berdua menikah? Yang benar saja! 'Menjijikkan!' batin keduanya secara bersamaan, masih menepuk-nepuk dadanya masing-masing dengan batuk yang belum juga berhenti itu. Kedua orang ini yang terikat benci dan cinta, sama sekali tidak akan pernah menyangka, kalau ucapan wanita tua di sebelah mereka, tidak lama lagi akan menjadi kenyataan kurang dari sebulan. *** Barang bawaan Casilda dihempaskan begitu saja ke lantai dengan suara keras di udara. Wanita yang baru saja selesai membawa masuk barang-barangnya itu, terduduk capek di depan pintu mansion Arkan. Duduk lemas di lantai dengan wajah berkeringat. “Kenapa ibu malah menyuruhku membawa semua pakaian dan perabot, sih? Haaaa....” keluhnya dengan kepala tertunduk lesu di tepi koper miliknya. “Heh! Cepat bereskan barang-barangmu dan mulailah bekerja!” bentak Arkan dingin, sudah lepas dari kacamata dan kumis palsunya, menyilangkan tangan di dadanya dalam posisi angkuh berdiri di depan sang wanita. Dari arah belakang, terlihat seorang pelayan tua dengan seragam hitam putih berendanya datang menghampiri keduanya dalam mode sedikit tergopoh-gopoh. “Be-bekerja? Aku sudah harus mulai bekerja sekarang?” tanya Casilda tak percaya, tercengang dengan sikap arogan pria itu yang sungguh menyebalkan. Sangat menyebalkan sampai Casilda rasanya ingin menarik rambut sendiri! Arkan mendengus sombong, “tentu saja. Kamu pikir pindah ke sini karena apa? Bersenang-senang? Atau... malah berpikir seperti perkataan ibumu yang ingin agar kamu menjadi istri dari pria sepertiku?!” Nada hinaan dan juga ekspresi merendahkan itu membuat hati Casilda panas! 'Tahan! Tahan Casilda! kamu sudah dipermalukan lebih buruk dari ini!' batinnya memperingatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD