Bab 86 Pertemuan Ayah dan Putrinya

1828 Words
Casilda memajukan mulutnya cuek, mata beralih ke arah lain seolah tak berdosa. Sapu yang digenggamnya dipeluk kuat-kuat. Belum sempat Arkan mengomel lagi, seorang pelayan senior datang dan menegurnya. “Tuan Arkan, apakah seragam pelayan untuk nona Casilda akan dipesankan hari ini? Saya akan memesan beberapa seragam baru sekalian untuk pembaharuan yang lain.” Arkan melirik Casilda dari ujung kaki hingga kepala, lalu mendecakkan lidah yang membuat sang wanita tersinggung dalam diam. 'Apa-apaan dia ini?' batin Casila malas. “Tidak usah. Dia lebih cocok dengan seragamnya sekarang. Bola bulu jelek!” makinya dingin dan super sinis, lalu berjalan keluar menuju pintu utama, meninggalkan Casilda seperti orang bodoh. 'Berengsek!' batin Casilda lagi, sudut bibir berkedut kesal. Selama kepergian Arkan sang Aktor, Casilda melakukan aksi bersih-bersihnya lebih ringan daripada kemarin. Semua sudut mansion itu tidak luput dari tangan dinginnya. Dia memang terkenal pekerja keras. Kalau hanya sekedar bersih-bersih, itu, sih, urusan kecil! Sambil melakukan kegiatan bersih-bersih itu, Casilda memikirkan baik-buruknya untuk jual diri ke klub. “Nona, sudah saatnya makan siang. Makanlah dulu,” peringat seorang pelayan kepadanya. Casilda yang tengah memegang kemoceng untuk mengelap setiap sudut tangga mewah ke lantai dua, menoleh ke arahnya. “Terima kasih, tapi Tuan Arkan bilang aku baru boleh makan setelah dia pulang.” Sang pelayan menatapnya kasihan. Ada banyak gosip yang beredar sejak kedatangan Casilda di mansion megah tersebut. Salah satunya kalau Casilda yang merupakan objek siksaan Arkan di pesta topeng kala itu, menjadi objek bully-an sang Aktor tanpa henti karena dendam masa lalu. Namun, yang bikin sang pelayan bingung, kalau itu memang benar, kenapa sang aktor seolah masih peduli kepadanya dengan perintah menyiapkan makanan enak, tapi penampilannya harus jelek? Dia memang cukup tahu soal kejadian di pesta topeng hari Sabtu lalu, tapi ada masalah apa di antara mereka berdua, cukup menjadi misteri. Kalau yang didengarnya, sih, wanita gendut bertraining abu-abu itu dulunya adalah wanita tidak punya hati dan sombong. Mana bisa dia percaya kalau berinteraksi dengannya seperti ini malah sangat sopan dan bikin orang segan? Dia juga sangat kagum dengan semangat kerjanya. Orang seperti itu, bagaimana bisa jahat? Mungkin saja, kan, ada salah paham di masa lalu? “Aku akan makan setelah Tuan Arkan pulang. Tidak apa-apa, kok. Sungguh.” Casilda mencoba meyakinkan sang pelayan yang setengah melamun. Dia mengenali sang pelayan dari pesta topeng dulu. Wanita yang mungkin ditaksirnya seumuran dengannya tersebut adalah pelayan yang sempat menyambutnya, tapi tidak ada yang dilakukannya ketika dirinya menjadi bulan-bulanan para orang kaya. Dia adalah tipe pelayan baik hati, dan Casilda bisa tahu hal itu dari interaksi pendeknya sejak datang ke sini. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, panggil aku saja, ya.” “Um! Terima kasih,” ujar Casilda riang, membuat dirinya sengaja penuh semangat. Aktor sombong itu katanya akan pulang pukul 2 siang atau 3 sore, kan? Itu artinya tidak lama lagi! Wanita berkepang satu dan berkacamata tebal ini segera melanjutkan bersih-bersihnya. Berpikir dan berpikir banyak hal atas masalah yang didapatinya akhir-akhir ini sampai akhirnya ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Casilda duduk di anak tangga, menjawab panggilan yang ternyata berasal dari kedai ayam krispi Yummy. Apakah Bu Hamidah mencari-carinya? “Halo?” “Oh! Casilda! Akhirnya kamu menjawab teleponku!” “Loh, memang Bu Hamidah tidak baca pesanku, ya? Aku bilang ingin cuti beberapa hari dulu.” Bu Hamidah berdeham salah tingkah. “Iya. Iya. Aku sudah baca, kok! Tapi, begini Casilda, aku butuh bantuanmu sekarang.” Sebenarnya, karena sudah mendapat uang untuk biaya operasi adiknya, maka Casilda memutuskan untuk cuti kerja selama beberapa hari dari kedai itu. Dia ingin menemani adiknya di rumah sakit sampai jadwal operasi selesai, tapi sialnya malah terkungkung di tempat ini! “Bantuan? Bantuan apa, Bu Hamidah? Saya sekarang sedang berada jauh dari kedai, dan sedang ada urusan. Kalau soal pengantaran ayam, memangnya Ryan—” “Aduh! Ini bukan soal pengantaran ayam, Casilda!” Suara Bu Hamidah langsung mengecil cepat, berbisik takut-takut. Firasat Casilda langsung tidak enak. “La-lalu? Soal apa?” “Itu... Casilda... aku tidak enak hati bilangnya, tapi... aku baru tahu kalau ayahmu itu ternyata tukang judi, ya?” Bagaikan disambar petir, Casilda menjatuhkan kemoceng yang dimainkannya sambil menerima telepon. Bola matanya membesar ngeri. Bagaimana bisa Bu Hamidah tahu hal itu? “A-apa yang Anda katakan, Bu Hamidah?” Bu Hamidah tertawa kikuk, lalu menjelaskan setelah berdeham cepat, “sebenarnya, ayahmu sekarang ada di kedai kami. Dia datang bersama beberapa orang yang sepertinya mirip tukang pukul. Dia sedang mencari-carimu, Casilda. Tolong datang secepatnya ke kedai, ya? Kalau tidak, kedai kami mungkin akan diacak-acak oleh mereka.” “A-Anda serius, Bu Hamidah? Ayah saya ada di situ?” suara Casilda tercekat. Sebenarnya, Casilda tidak perlu bertanya soal itu, karena masalah ayahnya yang tukang judi sama sekali tidak ada yang tahu di kedai. Sudah jelas, kan, kalau benar ayahnya ada di sana sekarang? Saat Casilda ingin berbicara lagi, suara ayahnya terdengar di telepon menggantikan suara Bu Hamidah, “putriku, lama tidak bertemu. Ayah merindukanmu. Ayo ketemu. Ayah ingin membahas beberapa hal denganmu di rumah.” Casilda tertegun kaget. Tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu. Keringat dingin menjatuhi punggungnya. “Ayah...” suara Casilda berat dan tajam, bulu matanya merendah pucat penuh kehati-hatian, “... apa yang ayah lakukan kali ini? Apa maksudnya ayah datang bersama tukang pukul ke tempat kerjaku?” Sang ayah tertawa aneh, lalu berkata kepadanya, “sulit untuk menjelaskannya kepadamu. Ayah tunggu di rumah, ya. Kita makan sama-sama dengan ibumu. Sudah lama kita tidak kumpul sebagai satu keluarga. Ayah rindu kepadamu.” Casilda meringis kelam, suaranya sangat hati-hati, “apa yang Ayah inginkan kali ini? Kalau minta uang, aku tidak akan berikan!” Ayahnya tertawa bodoh tidak tahu malu, lalu membalas, “bicara apa? Siapa yang mau minta uang? Pulang dulu. Kita baru bicara, putriku sayang.” Bulu kuduk Casilda berdiri. Setelah sekian tahun, pria tua itu baru memanggilnya dengan sebutan ‘putriku sayang’, padahal dulu, paling yang keluar adalah sumpah serapah karena menghasilkan uang tidak sebanyak yang diharapkannya. Apa yang akan dilakukan ayahnya sekarang? Usai pembicaraan itu, Casilda menjadi gelisah. Kepikiran ibunya yang sudah pasti akan kembali ketakutan jika bertemu orang-orang bertubuh besar. Dia takut trauma ibunya kembali kambuh dan bikin masalah tambah rumit. Mau tak mau Casilda harus melakukan sesuatu secepat mungkin! Kepalanya menoleh ke arah jam dinding, sudah hampir pukul 1.15, artinya Arkan sebentar lagi akan pulang. Tapi, masalah ayahnya lebih penting daripada amarah Arkan yang akan ditemuinya kelak. Kalau pun menunggu dan menjelaskan kepada sang aktor, pasti ujung-ujungnya mereka bertengkar dan tidak akan diizinkan keluar! “Kamu serius?” tanya Pak satpam curiga. Casilda mengangguk cepat, wajah sangat serius menunjukkan isi tas kertas yang ditemukannya asal di tempat sampah. Isinya beberapa potong pakaian yang diambilnya secara acak dari walk in closet pria kejam itu. “Saya harus mengantarkan pakaian ini. Katanya penting. Anda tahu sendiri, kan, kalau Tuan Arkan tidak suka hal yang repot-repot menjelaskan sesuatu. Saya tidak tahu dia mau apa dengan baju ini.” Sang satpam tampak menautkan kening, berpikir keras. Namun, dari sifat majikannya selama ini, memang seperti itulah kelakukannya. “Baiklah. Kalau kamu berbohong. Awas, ya!” “Tentu saja tidak bohong! Kenapa saya harus bohong? Mana berani saya mengambil pakaian mahal di lemari pria itu? Bukannya itu sama saja bunuh diri?” Sang satpam masih ragu, karena Arkan sendiri sudah memberinya perintah untuk tidak membiarkan Casilda keluar sejengkal pun dari pagar mereka. “Bapak mau kalau Tuan Arkan marah-marah? Ya, sudah. Terserah, Bapak, saja! Kalau dia marah dan mengomel jadwalnya kacau, itu salah Bapak, ya! Bukan saya!” Lawan bicara Casilda memucat, lalu buru-buru memencet tombol pagar otomatis tanpa pikir panjang. Majikannya kalau sedang marah sangatlah mengerikan! “Kalau kamu bohong, aku tidak akan mengampunimu!” ancam Pak Satpam. “Tenang saja, Pak! Saya, kan, tidak mungkin bisa kabur dari Tuan Arkan. Dia tahu, kok, rumah saya di mana. Capek juga, kan, lari dikejar-kejar sama dia terus!” Walau Casilda terbilang baru di mansion itu, reputasinya di mata sang satpam sudah terbilang luar biasa. Baru beberapa hari menginjakkan kaki di mansion mereka, tapi sudah bikin masalah berkali-kali. Arkan sampai marah-marah tidak karuan hanya karena wanita gendut dan cupu itu. Berbekal dengan penuh bujuk rayu kepada penjaga pagar, Casilda menjual nama Arkan dengan dalih harus membawakan pria itu beberapa kebutuhannya di lokasi pemotretan. Maka dengan begitu, dia pun dengan mudah keluar mansion tanpa ada halangan yang berarti. Untungnya, ponsel Arkan saat dihubungi oleh Pak satpam sedang sibuk hingga sulit dihubungi berkali-kali. Semua keburuntungan, bukan? *** Di kedai ayam krispi Yummy. Jantung Casilda gugup melihat sebuah mobil hitam terparkir mengintimidasi di depan kedai tersebut. Gantungan pengumuman ‘tutup’ terlihat jelas di pintu. Ini bukan waktu yang normal bagi kedai itu untuk tutup. Pasti ada sesuatu! 'Ada apa sebenarnya?' batin Casilda panik. Dengan hati gelisah, dia pun segera memasuki kedai. “Assalamualaikum!” serunya dengan mata segera menyaring semua isi ruangan. Tidak ada pengunjung seperti biasa di dalamnya, melainkan beberapa pria berpakaian serba hitam mirip pengawal duduk menghiasi beberapa meja secara sembarangan. Mereka makan dan minum begitu santai, dan di tengah ruangan ada pria dengan pakaian yang berbeda, juga duduk di meja sambil makan ayam krispi dengan tubuh berbalut perban hampir di sekujur tubuhnya. Firasat Casilda makin tidak nyaman. Keringat gelisah menuruni wajahnya. Dari arah dapur, terlihat Bu Hamidah membawa sekeranjang kecil ayam krispi baru. Mendengar salam Casilda tadi, pria yang mirip mumi itu berbalik ke arahnya, hendak mengatakan sesuatu tapi segera dipotong oleh teriakan antusias Bu Hamidah. “Casilda!” Casilda tidak merespon, matanya kini saling bertemu dengan pria yang mirip mumi di meja pengunjung. Ayah? Itu ayahnya, kan? Dia bisa tahu kalau sorot mata itu adalah milik ayahnya! Tubuh Casilda membeku kaku, bingung harus menanggapi keadaan sekarang seperti apa. Pria yang diperban itu berdiri dengan canggung, mengelap mulutnya yang berminyak. “Putriku! Akhirnya kita bertemu! Kamu terlihat sehat dan semakin cantik saja!” pujinya dengan nada sedikit serak, tertawa dengan suara aneh miliknya. Casilda memucat melihat sang ayah, kehilangan kata-kata. Buru-buru Bu Hamida maju ke depan dengan wajah cerah, tidak terlihat seperti wanita yang kedainya akan diporak-porandakan oleh tukang pukul seperti di telepon beberapa saat lalu. “Ayah? Ada apa dengan ayah? Kenapa penampilan ayah seperti itu?” tanya Casilda sejurus kemudian ketika akal sehatnya kembali, nada suaranya dingin dan rendah. Sangat berjarak. Seiring berkata begini, Casilda mulai merasa tidak nyaman ketika dirinya merasa semua mata dari para pria berpakaian hitam ala pengawal di dalam ruangan menatapnya seperti sebuah tontonan seru. “Siapa mereka?” tanyanya lagi, menoleh ke kiri dan ke kanan. Benar! Casilda tidak salah pikir! Mereka memang tengah memandangnya dengan sangat serius! Sang ayah tertatih-tatih mendekat ke arahnya, membujuk dengan nada halus, “ayo, nak! Duduk dulu! Kita makan ayam bersama! Ternyata kedai ini punya ayam yang sangat enak! Sayang sekali ayah baru tahu!” Casilda mengelak dari jangkauan tangan sang ayah, matanya memicing penuh benci. “Apa yang sudah ayah lakukan kali ini? Masalah apa lagi sampai ada banyak tukang pukul ikut dengan ayah?” nada suara Casilda dingin dan merendah tajam, sedingin pembawaannya yang tampak menahan amarah ingin meledak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD