“Tu-tuan A-Arkan...” ucap Casilda pelan dengan wajah khas baru bangun.
Matanya terlihat sayu di wajah berpipi bakpaonya, membuat ada ‘nyut’ di hati Arkan melihat hal itu. Entah kenapa ada cahaya yang muncul dari balik tubuh sang wanita yang membuat darah dalam tubuhnya seolah mendadak membeku dalam hitungan detik.
“Apa saya sudah boleh pulang?” lanjutnya lagi dengan wajah memelas, masih dalam keadaan mengantuk.
“Siapa yang boleh menyuruhmu pulang? Apa aku pernah berkata begitu?” elak Arkan kesal, hatinya melonjakkan lava panas.
Dengan keadaan lemah dan masih lesu, Casilda turun dari tempat tidur mewah itu, dan berlutut di depannya.
“Tolong bermurah hatilah, Tuan Arkan. Saya tahu sudah pinjam uang kepada Anda, tapi saya masih harus bekerja, dan harus segera ke rumah sakit untuk mengurus jadwal operasi adik saya,” jelas Casilda pelan dan ringkih, kepala tertunduk lesu.
Entah karena pengaruh obat, kekenyangan, atau karena masih belum bertenaga, dia tidak ada minat melawan sang aktor.
Apa gampangnya berlutut di depannya?
Toh, dia sudah menjilat sepatunya, menjilat lantai mansion ini, dan dipermalukan dengan tidak manusiawi di hadapan banyak orang.
Arkan mendengus keras, sangat meremehkan, “kamu pikir, aku akan percaya soal adikmu itu? Kamu sudah mendapat uang 500 juta itu, apa susahnya mengakuinya sekarang kalau semuanya hanya untuk bersenang-senang semata? Sudah tidak sabar menghabiskan uangnya setelah menerima hinaan yang menjijikkan itu? Tidak usah akting menjaga harga dirimu, Ratu Casilda Wijaya,” berang Arkan tertahan mendesis, menendang kesal bahu sang wanita hingga jatuh lemas ke lantai.
Ah... terserah dirinya mau diapakan lagi olehnya, yang penting dia akan putar otak setelah adiknya operasi dan membayar semua hutangnya, lalu lari jauh-jauh dari pria berengsek di depannya ini!
Casilda tidak menyerah, juga tidak melawan, malah merangkak di kaki sang aktor dan meraihnya, “saya sudah tanda tangan, bukan? Apa lagi yang Tuan Arkan inginkan? Saya juga tidak mungkin kabur setelah mendapat uang pinjaman itu. Tapi, tolong biarkan saya bekerja dan mengurus keluarga saya. Jangan libatkan mereka. Mau Anda percaya atau tidak dengan alasan saya, saya hanya ingin minta kehidupan saya yang dulu masih ada, Tuan Arkan. Mohon berilah keringanan kepada saya. Kalau juga tidak bekerja, bagaimana saya melunasi hutang itu dan bunganya?”
Suara Casilda lemah, sedikit serak. Matanya terkantuk-kantuk, belum bisa menguasai kelopak matanya dengan baik.
“Lepaskan!” sergahnya, mencoba menghentakkan kakinya sambil melanjutkan, “apa kamu tahu? Kamu tidak hanya berhutang 500 juta! Seumur hidup tidak akan pernah bisa lunas!”
Eh?
Apa maksudnya?
Kesadaran Casilda langsung meletup, kepala mendongak dengan mata membulat besar menatap sang pria. Sangat bingung.
Dengan wajah menggelap kelam mengerikan, Arkan berkata, “kamu berhutang sebanyak 1 milyar 500 juta. Paham?”
Bagaikan disambar petir, tubuh Casilda membatu hebat.
Apa?
Dia tidak salah dengar?
Bagaimana bisa jadi sebanyak itu?
“Tu-Tuan Arkan! Kenapa bisa sebanyak itu? Memang berapa banyak, sih, bunganya dalam sehari?”
Casilda panik, spontan berdiri dari lantai. Tapi, karena masih belum pulih baik, tubuhnya oleng, dan malah jatuh ke permukaan dadanya yang bidang. Kedua tangannya memeluk pria itu agar menjaga keseimbangannya.
“APA YANG KAMU LAKUKAN?! LEPASKAN AKU!” teriak Arkan murka, langsung mendorong tubuh Casilda dengan penuh emosi, tapi baru sadar kalau dia mendorong tubuh wanita itu secara mendadak, malah akan terbentur dengan meja nakas di belakangnya.
Kedua bola mata Arkan membola ngeri, langsung menarik satu tangan Casilda saat detik-detik terakhir, membuat mereka berdua akhirnya malah jatuh bersamaan ke atas kasur yang ada di samping.
“KYAAAAA!!!” teriak Casilda yang sebenarnya telat untuk disuarakan, karena kini sudah dia jatuh menimpa tubuh sang aktor.
Dengan wajah memucat suram, Arkan menyindirnya dengan suara tertohok menahan beban di dadanya, suara mencicit kecil lalu meninggi marah, “untuk apa kamu berteriak sekarang? CEPAT BANGUN! APA KAMU INGIN MEMBUATKU GEPENG ATAU MENINDIHKU SAMPAI MATI?!”
Sudut bibir Arkan berkedut-kedut kesal menatap wajah Casilda di atas tubuhnya. Tapi, keduanya tiba-tiba terdiam dengan wajah datar masing-masing.
Hening.
1 detik.
2 detik.
3 detik.
“MAAFKAN AKU!!!”
“MENJAUH DARIKU, BABI JELEK!”
Kedua orang ini berteriak keras dengan tubuh saling menjauhi.
Di dinding, Casilda merapatkan punggungnya dengan kedua tangan menutupi wajahnya yang kini sudah memerah hingga ke seluruh tubuhnya.
Tadi, tadi....
Itu...? Bagian pribadi mereka bersentuhan, kan?”
Jantung Casilda berdetak kencang seolah hampir meledak!
Dia bisa merasakan benda itu menyentuhnya, dan terasa keras?
Bagaimana bisa benda itu tiba-tiba menjadi keras begitu saja dalam hitungan detik?
“Hei! Kalau terjadi sesuatu pada kehormatanku, kamu harus bertanggungjawab!”
Arkan yang menahan rasa malu di hatinya, memasang tampang murka, berjalan bagaikan kobaran api ke arah Casilda yang masih tidak bergerak dari posisinya.
“I-i-itu, kan, tidak sengaja! Yang menarikku, kan, kamu! Kenapa aku yang harus tanggungjawab kalau kamu impoten?!”
Seperti ada bunyi ‘krak!’ di dalam diri sang aktor.
Arkan membisu dengan tatapan mata memutih malu dan syok, membeku seperti batu retak.
Impoten?
Marah mendengar hal itu, Arkan menggertakkan gigi dan mengungkung tubuh sang wanita di dinding.
Casilda terlonjak kaget, otomatis melepas kedua tangannya hingga menampilkan wajahnya yang berubah-ubah tidak karuan.
“MA-MA-MAU APA KAMU?!” bentak Casilda gugup, tidak mau lagi bibirnya bersentuhan dengan bibir pria sialan itu.
Yah, siapa tahu, kan? Dia tidak mau kegeeran, tapi sudah berapa kali bibir mereka bertemu?
“Untuk ukuran seorang bud4k, kamu ini mulutnya perlu diajari lagi rupanya! Sekarang sudah bicara informal karena merasa gagal dengan rayuan dan aktingmu itu?” sinis Arkan dengan wajah jahatnya di depan Casilda. Wania itu sudah menciut dan perlahan meluncurkan tubuhnya turun ke lantai.
Arkan segera menahan cepat kedua bahu Casilda, mencegahnya jatuh terduduk ke lantai, dan berkomentar jahat sangat merendahkan dengan kedua mata mendatar kesal:
“Kamu mau apa? Setelah menindihku, dan melukai barang berhargaku, apa sekarang kamu ingin menyenangkannya dengan mulut kecilmu itu?”
“HEH! BICARA APA KAMU, PRIA MURAHAN?! BARANGMU ITU JADI BENGKAK, APA URUSANNYA DENGANKU?! SIAPA SURUH MELARANGKU PULANG?! KAMU YANG MENDORONGKU! JUGA MENARIKKU SAMPAI JATUH MENINDIHMU, KENAPA MALAH AKU JADI KAMBING HITAMNYA?! APA OTAKMU RUSAK, YA?! KE RUMAH SAKIT SANA! KALI AJA BARANGMU SUDAH KENA PENYAKIT YANG TIDAK BISA DISEMBUHKAN DENGAN KEBIASAAN KOTORMU SELAMA INI!” semburnya di depan wajah sang pria yang kaget mendapat serangan verbal kasar itu.
Gejolak emosi Casilda berapi-api, gigi digertakkan, dadanya naik-turun melepas emosi tertahan, wajah mengganas dengan kedua tangan menarik kencang kedua bagian sisi depan kemeja sang pria.
Bengkak?
Arkan tertegun sesaat.
Apa wanita ini tidak paham sama sekali kondisi pria saat sedang tegang?
“Kamu....”
Wajah Arkan melunak, lalu berubah aneh dengan seringai jahat dan menakutkan.
“Apa kamu tahu maksud kata ‘bengkak’ yang kamu ucapkan itu? Apa kamu tidak takut padaku sekarang?” sudut bibir Arkan terangkat miring, tatapannya sangat aneh.
Casilda menciut sekali lagi, menggelap suram, karena kini Arkan mendekatkan tubuhnya tidak biasa, nyaris menekannya ke dinding.
“Ka-kalau rusak, apa masih bisa dioperasi? Co-coba tanyakan saja kepada dokter, kan?”
Casilda memerah, melepas cengkeramannya kemeja sang pria, mendorongnya untuk lepas dari jarak tidak nyaman itu.
Bagaimana kalau benar dia sudah merusak benda miliknya itu, dan tidak bisa punya anak?
Apa dia akan masuk penjara dan dicap sebagai penjahat kelamin?
Tiba-tiba saja tawa Arkan meledak hebat, satu tangan menutupi wajahnya. Begitu lepas, begitu puas, bagaikan baru saja mendapati dirinya menjatuhkan semua beban dari kedua pundaknya ke tanah.
Kenapa dia tertawa?
Memang itu lucu?
Casilda merajuk sebal, tidak paham.
Wanita yang berpakaian hamil ini, tapi kali ini berwarna kuning cerah, menatap Arkan dengan tatapan bingung.
“Ba-bagaimana pun, soal hutang itu, kenapa bisa jadi sebanyak itu? Aku hanya minta pinjaman 500 juta, kan? Apa kamu kesurupan malaikat sampai mengirim 1 milyar lagi ke rekeningku?”
Tawa Arkan langsung berhenti, menatapnya serius. Wajah tegas.
“Tidak.”
Casilda terbodoh mendengarnya.
“Tidak?”
Arkan mengangguk cepat, berkacak pinggang dengan satu tangan, sangat angkuh mendominasi dan sombong, dagu terangkat miring, “aku melepaskanmu dari klub malam itu. Biayanya 1 milyar. Kasihan pria-pria yang harus kamu layani nantinya. Bisa-bisa, setiap malam mereka akan mimpi buruk setelah bersentuhan denganmu. Lebih baik kamu jadi pembantuku saja di sini. Bagaimana? Aku baik hati, kan?”
Sesaat, Casilda membisu hebat. Mata membesar terbodoh.
Dia sesaat lupa soal dirinya dijual ke klub malam itu.
“Apa maksudmu? Kamu membatalkan niatmu menjualku?”
Casilda tersenyum menyeringai penuh ledek, tidak bisa menahan kekesalan hatinya, karena pria itu sudah semakin tidak masuk akal dengan kelakukannya yang tidak bisa diprediksi.
Melihat kesombongan yang muncul dalam diri wanita di depannya, Arkan mengernyitkan kening kesal, “jangan kegeeran. Kalau kamu jual diri, siapa yang tahu kamu malah menikmatinya dan bersenang-senang dengan berbagai macam benda ‘bengkak’ mereka? Alih-alih membuatmu menderita, mungkin kamu malah jadi tenggelam dalam kenikmatan memabukkan itu, bukan? Mau tua atau pun muda, tetap saja yang penting adalah bagian itu, kan?”
Casilda tertegun hebat.
Sekujur tubuh tercoreng merah.
Tamparan super keras mengenai wajah sang aktor.
“Apa yang kamu lakukan sekarang?!” geram Arkan marah, menggigit gigi penuh emosi, mencengkeram pergelangan tangan sang wanita yang sudah menamparnya. Tatapannya merah menyala bagaikan api yang berkobar di malam yang gelap.
“Kenapa kamu membatalkannya? Apa kamu peduli padaku?” sindir Casilda dengan senyum miringnya.
Arkan mendengus dengan wajah murka, mendesis tertahan, “peduli? Ya. Aku peduli dengan bagaimana sebaiknya kamu merasakan penderitaan paling lama dan menyakitkan sampai akhir hidupmu!”
Keduanya saling tatap dengan mata seolah hendak merobek satu sama lain.
***
Senin, esok harinya. Subuh dini hari. Casilda membuka mata perlahan, tapi hanya sebelahnya.
Jantung wanita ini berdetak sangat kencang.
Saat ini, dia tidur di ranjang yang sama dengan majikan super kejam barunya.
Gara-gara bertengkar soal ‘benda berharga miliknya’ dan hutang 1,5 milyar, akhirnya Arkan mengikatnya bersamanya di tempat tidur!
Aktor sialan!
Siapa yang menduga kalau dia ini penyiksa hak-hak manusia?
Sebelah kaki Casilda diikat menggunakan rantai besi putih, terhubung dengan kaki pria yang sedang tidur pulas di sebelahnya.
Apa sebaiknya aku potong saja, ya, kakinya? batin Casilda terkikik dengan mata melengkung bak ulat bulu, wajah sudah seperti nenek sihir dengan ide jahat.
Tiba-tiba wajahnya mendatar tanpa ekspresi, tahu kalau itu tidak mungkin dilakukannya.
Wanita berpipi bakpao ini pun menghela napas berat, tubuh dimiringkan menghadap langit-langit kamar tidur sang pria.
Mereka memang tidur bersama, tapi bukan karena ada rasa atau apa pun, semata-mata karena Arkan tidak mempercayainya.
‘Jangan harap kamu pergi dari sini selangkah pun, atau kamu akan menerima hukuman yang lebih berat dibandingkan di pesta topeng itu!’
Itu adalah ancaman Arkan.
Dikatakan dengan wajah super kejam dan bengis di wajah tampan di atas rata-ratanya.
Dia kalah argumen kemarin, toh, sudah larut malam, hanya bisa mengalah untuk sesaat. Takut pula pulang mengendarai mobil sendirian di tengah jalan meski masih di kawasan ibukota. Begal akhir-akhir ini terbilang lebih cerdik daripada biasanya, terlalu berisiko!
Jadi, sekarang Casilda harus putar otak agar bisa segera kembali ke rumah mengecek ibunya dengan aman, lalu ke rumah sakit agar bisa mengatur jadwal operasi sang adik. Lebih-lebih, dia belum mengembalikan mobil pemilik kedai ayam krispi. Bagaimana mungkin wanita pelit itu tidak curiga mobilnya tidak kembali?
Apakah Arkan mengembalikannya tanpa sepengetahuannya?
Sudah pasti Bu Hamidah akan mendatangi tempat ini, bukan, untuk minta mobilnya dikembalikan?
Kenapa dia tidak curiga dirinya belum kembali dalam waktu lama?
Wanita bermata minus ini melirik Arkan yang tidur dalam piyama hitam metalik, tampan dan sangat hangat dilihat saat tidur seperti ini. Sama sekali tidak berbahaya, bak pangeran dengan aura malaikat. Tapi, itu semua hanya kulit luarnya saja.
Benar-benar menipu!