Bab 72 Imajinasi Liar Sang Aktor

1878 Words
Kedua pundak wanita ini naik, kaget tiba-tiba pandangannya menggelap. Aduh! Walaupun dia tidak menarik di mata pria itu, tapi apa tidak malu dia bertelanjang di depan orang lain? Mentang-mentang pekerjaannya adalah seorang model! Casilda hanya menggerutu dalam diam, menggulung-gulung piyama sang pria dengan gaya main-main di atas pangkuannya, kepala ditundukkan serendah mungkin, tidak mau tanpa sengaja melihat pria di belakangnya itu muncul dan menodai mata berharganya ini. Arkan meraih sebuah kaos putih lengan pendek dari lemari terdekat, lalu memakainya cepat, tapi baru berhenti sebatas sikunya, pria ini menatap punggung lebar sang wanita, membungkuk seperti bola di lantai dengan pakaian hamil warna kuning. Mengingatkannya pada bola tenis saja. Dengusan lucu dan kecil samar-samar keluar dari bibir pria ini, matanya tersenyum lembut, lalu memakai cepat pakaiannya. Detik berikutnya, dia hanya berdiri diam dalam pose melipat tangan mengamati wanita miliknya itu bagaikan sebuah karya seni di sebuah museum. Tentu saja wanita itu adalah miliknya! Hutang wanita itu padanya adalah 1,5 milyar! Dia juga sudah setuju dengan kontrak perbudakannya yang dimilikinya sekarang! Arkan sangat puas memikirkan hal ini, tidak sadar bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman manis, dan sorot matanya berubah hangat. Seketika saja, dalam benaknya, sang aktor membayangkan tengah memeluk Casilda dari belakang dengan gaya yang sangat mesra sambil berkata: “Tidurmu nyenyak, sayang? Mimpi indah, tidak?” Syok bagai disambar petir, mata Arkan membelalak kaget! Wajahnya memerah hebat hingga ke leher menyadari imajinasi anehnya itu, hatinya jatuh dingin hingga ke perut. Wajah langsung muram menggelap kelam, menggigit gigi kesal dalam sedetik. Wajah marah khas iblisnya langsung mencuat. Sialan! Apa-apaan otaknya ini?! Kedua tangannya dengan cepat mengepal penuh emosi, diam-diam sibuk bergerak-gerak menghapus awan imajinasi yang sudah melayang keluar dari kepalanya. Bisa-bisanya dia memikirkan hal menjijikkan seperti itu! “Hei, sampai kapan kamu akan duduk begitu terus? Perbaiki posisimu!” perintah Arkan dengan suara mendekat kepada sang wanita, duduk kembali ke sofa, sudah memegang ponsel miliknya. Casilda melakukan apa yang diperintahkannya, menundukkan kepala khas seorang bawahan. 'Kapan, sih, dia ini keluar rumah? Cepat, dong, perginya! Kabur setengah hari sudah cukup buatku!' batin Casilda penuh harap, sudah punya rencana jika Arkan masih tidak percaya dengan ucapannya dan mengurungnya lebih lama di sini. Hati Arkan sedang senang, mengabaikan Casilda di lantai, sibuk membaca topik trending di media sosial mengenai berita dirinya yang derwaman, serta masalah statusnya sebagai penerus Raja Dunia Entertainment. Idih... lihat dia senyum-senyum tidak jelas begitu! Dasar muka siluman rubah! Yang mana yang asli? Pasti yang suka marah-marah itu, kan? Heran, kenapa banyak yang suka dengan pria tirani seperti ini? Kekuasaan dan wajah tampan memang sesuatu, ya?! Sialan! ngomel Casilda dalam hati, menyipitkan mata curiga dan sebal melihat Arkan menikmati seluncurannya di internet, tampak lupa dengan kehadirannya. Selama beberapa saat, Casilda hanya diam duduk di lantai, sesekali berganti posisi karena kakinya kesemutan, lalu pintu kamar Arkan terdengar sebuah ketukan. “Masuk!” titah Arkan dingin dan cuek. Seiring berkata begini, seorang pelayan wanita masuk sambil membawa satu troli makanan. Air liur Casilda sudah menetes, dilap dengan cepat. Apakah dia bisa ikut makan dengannya? Beberapa saat kemudian.... Ternyata itu jauh dari harapannya. Iblis tetaplah iblis! Casilda menggeram marah, tapi dia masih bersyukur dalam hati bisa sarapan untuk mengganjal perut. “Kenapa hanya melihatnya? Makan,” titahnya dingin dan datar. ‘Halo! Maaf, Tuan Arkan! Rasanya tidak begini cara memperlakukan seorang tamu, kan? Ini, sih, namanya memperlakukan hewan piaraan! Tahu bedanya, tidak?’ Kalimat itu hendak dilontarkan kepada majikan kejamnya itu, tapi mulutnya bungkam bagaikan dilem super. Mata dan bibir hanya tersenyum pura-pura senang. Pria sialan itu makan di meja kayu indah penuh dengan makanan enak dan ditata apik. Sedangkan dirinya? Diberikan sepiring kecil makanan dengan porsi sedikit, itu pun bentuknya seperti bubur jelek berwarna hijau. Oh, mau tahu hal yang lebih kejam lagi dari pria ini? Tidak ada sendok atau pun garpu untuknya! Dia menyuruhnya makan menggunakan mulut lagi secara langsung? Pria biadaaab! maki Casilda keras dalam hati, tapi di luar bibirnya berkata lain. “Terima kasih atas makanannya, Tuan Arkan,” katanya dengan sungguh-sungguh, lalu mulai makan ala seekor hewan piaraan. Baru mencium baunya saja, sudah bikin perutnya mual, bagaimana kalau mencicipinya? Hidung Casilda mengerut jijik. Dia memberinya makan apa, sih? Racun? Casilda tidak jadi memakannya, berkata pelan dengan wajah memelas: “Tuan Arkan, bolehkah saya meminta satu hal?” “Aku sedang makan, kamu mau minta apa, hah?” “Boleh pinjam kertas dan polpennya?” tanya Casilda tersenyum cerah. Arkan menoleh kepadanya, “buat apa?” Sorot mata pria itu bingung, dia mau buat alat makan dari kertas dan polpen? Menarik! Dalam hati, dia tertawa keras melihat budaknya yang bodoh itu. Otaknya sepertinya benar-benar sudah selevel ayam betina! Namun, jawaban Casilda memantik emosinya, tidak seperti dugaannya. “Saya ingin menulis surat wasiat sebelum memakan sarapan ini.” Hening. Mata mereka bertemu. “Apa?!” nada suara Arkan terdengar tidak senang. “Iya. Surat wasiat. Setidaknya, sebelum makan bubur beracun ini, saya bisa pergi dengan tenang.” “Bubur beracun?” ulang Arkan heran. “Ini, Tuan Arkan! Bubur beracun, kan?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca, mengangkat mangkuk itu dengan kedua tangan, memperlihatkannya kepada sang pria. Arkan terbahak geli. “Otakmu bukan hanya sudah jadi bodoh, ya? Tapi, imajinasimu juga sudah sangat parah.” Mulut Casilda dimajukan cemberut, meletakkan bubur tadi ke lantai. “Makan saja. Itu bukan makanan beracun. Surat wasiat apaan. Dasar aneh,” komentarnya pelan berbisik, lebih kepada diri sendiri. “Sungguh saya tidak akan mati makan ini, Tuan Arkan?” tanya Casilda ragu. Sendok yang dipegang oleh sang pria dipukulkan keras penuh emosi ke meja, membuat Casilda berjengit kaget. “Makan saja! Kalau aku bilang makan, ya, makan!” koarnya kesal, keningnya bertaut marah, menatap tajam Casilda di lantai. “Ba-baik...” Casilda menunduk takut-takut, lalu mulai menjilati bubur itu dengan wajah muram, tapi detik berikutnya wajahnya bercahaya berseri-seri. 'Wuah! Kok, enak sekali, sih? Ini apa, ya?' batinnya sambil berpikir, tidak sadar jilatannya pada bubur itu semakin lama semakin cepat. Arkan yang melihat sikap Casilda yang begitu penurut, tersenyum puas. Tiba-tiba, hasratnya mulai terbakar panas, membuat milik pribadi sang aktor berkedut hebat di bawah sana. Kedua pipinya merona samar. Berengsek! maki Arkan dengan perasaan syok, meringis kelam dalam sedetik. Kedua mata dipejamkan kacau. Kemudian, demi menghilangkan perasaan aneh menghampirinya, tangan kanannya meraih apa saja di atas meja. Sebuah paha ayam dijatuhkan ke lantai. “Untukmu,” terang Arkan dengan nada angkuh, mendorong ayam itu ke arah Casilda menggunakan kaki bersandalnya. Melihat itu, hati Casilda terasa sangat perih. Pria ini benar-benar melihatnya sebagai hewan piaraan! Sangat kejam! Sangat buruk! Super bajingaaan! Kebenciannya terhadap Arkan sang Top Star kembali bangun. Darahnya mendidih! “Kenapa? Tidak mau?” sinis Arkan, menginjak ayam tadi sambil dimaju mundurkan menggunakan kakinya seolah tengah memberi tepung goreng, tapi di lantai marmer itu yang ada hanyalah debu dan berbagai kotoran halus. Sayangnya, kaki pria itu baru saja dari arah toilet di belakangnya. “Kalau kamu tidak makan, tidak ada jatah makan sampai esok hari,” ancamnya dingin. Casilda menelan saliva gugup. Dia ini benar-benar iblis! Casilda menggigit gigi marah, kedua tangan mengepal kuat, kuku-kukunya sudah mau merobek telapak tangannya menahan penghinaan ini. Tapi, dia tidak punya kuasa melawannya. Hal-hal semacam itu hanya ada di drama TV dengan settingan naskah pengarangnya. Namun, kondisinya lain. Ini adalah dunia nyata yang dijalaninya. Dunia nyata yang sangat kejam di mana yang lemah ditindas oleh yang kuat! “Baik. Terima kasih banyak, Tuan Arkan,” bisiknya pelan, merangkak ke depan lalu meraih ayam goreng itu dari bawah kaki sang pria. Pasrah menghadapinya, mengingat Arkan itu juga adalah anak orang kaya yang bisa dibilang tidak biasa. Dia kalah total! Casilda membersihkan ayam itu seadanya, lalu menggigitnya seolah itu bukan apa-apa. Dikunyah dan ditelan cepat tanpa ada gangguan. Ini tidak seberapa! Hidup sudah mengajarkannya dengan keras bersama Bu Hamidah yang sudah menjadikannya sebagai tempat sampah berjalan! Yang penting makan! Yang penting bikin Arkan senang dulu demi rencana kita! pikirnya dengan sangat polos, menyemangati diri sendiri. Mata Casilda berkilat menikmati ayam goreng mentega itu, sangat enak meski sudah dinodai oleh sendal sang majikan. Casilda terlalu serius menyantap makanannya sampai tidak menyadari kalau Arkan bertopang dagu begitu seksi dan menawan sedang melihatnya sambil tersenyum lebar sangat indah. Sudah seperti orang yang sedang jatuh cinta saja, atau memang pria ini sedang jatuh cinta, wahai para pembaca? Misteri ini akan terkuak sedikit demi sedikit dengan banyak hal yang menguji hubungan keduanya yang sungguh rumit dan aneh. *** Di sebuah bandara di waktu yang sama, sebuah rombongan besar baru saja keluar dari pintu kedatangan. “Mari, Bos! Mari! Sebelah sini!” ujar seorang pria tua yang terlihat sudah seperti mumi berjalan akibat berbalut perban di beberapa bagian tubuhnya. “Hei! Jaga jarak! Jangan sentuh-sentuh Bos kami! Dasar pengemis!” bentak seorang penjaga, mendorongnya dengan kasar. Pria tua itu terjatuh dengan suara keras, langsung meringis kesakitan, membuat beberapa mata mengarah kepadanya dengan pandangan kasihan. “Saya tidak apa-apa! Saya tidak apa-apa, Bos!” ucapnya cepat, bangkit dari lantai dengan pembawaan tidak tahu malu. Wajah berseri-seri. Pria tua yang memakai jas abu-abu tua kebesaran dan sudah terlihat ketinggalan jaman ini, mendekat lagi dengan wajah cengengesan bodoh. Mencoba menyatu dengan rombongan hebat itu. Pria yang dipanggil Bos tadi berhenti, dia memakai jas abu-abu gelap mewah yang elegan, memakai kacamata hitam dan sebuah topi senada, tangan kanannya menurunkan sedikit kacamatanya, melihat sang pria tua yang sudah berdiri dengan membungkukkan tubuhnya dengan sikap merendah dan menjilat, senyumnya dibuat selebar mungkin di wajah penuh luka itu. Reaksi pria yang dipanggil Bos ini sesaat hanya mengamatinya dengan saksama. “Awas saja kalau kamu menipu kami! Nyawamu pasti akan melayang di tempat!” bentak seorang pria berjas hitam menakutkan, mendesis berbisik ke arahnya dengan wajah penuh ancaman. Pria tua itu menggeleng cepat, kengerian menjalar jelas di wajahnya, kelam dan pucat. “Tidak! Saya tidak bohong! Keluarga saya memang tinggal di Jakarta!” jelasnya cepat, lalu segera berlutut di depan pria yang dipanggil Bos sebelumnya. “Saya sungguh tidak ada maksud menipu Anda, Bos! Casilda, anak saya itu benar-benar tinggal di sini bersama istri dan anak laki-laki saya! Dia adalah wanita yang sangat rajin dan kuat bekerja! Tidak mungkin dia akan pergi dari sini! Ibukota adalah tempat paling baik baginya mendapatkan banyak pekerjaan dalam satu waktu!” “Pria tua bau tanah ini bikin kita malu saja! Cepat bangun! Kalau ada pihak berwajib melirik kami, kakimu akan menjadi harganya!” bentak seorang pria berjas hitam lagi, tapi ini adalah pria berjas hitam lain, karena ada beberapa pria berpakaian seperti ini yang ikut bersama mereka, mendampingi pria yang dipanggil Bos tadi. Sang Bos mengangkat tangan, memberi kode yang lain agar tidak ikut campur. Pria ini lalu membuka kacamatanya, memperlihatkan wajah tampan memukaunya dengan alis tebal dan terang, dan garis rahang yang kokoh. Kulitnya seputih porselen dan terlihat halus tanpa cacat. Dia sangat dewasa dan berpembawaan kalem. “Bos! Saya sumpah, Bos! Saya tidak berani main-main dengan nyawa saya!” Ayah Casilda kembali berlutut, sudah mau sujud meminta nyawanya diampuni, tapi pria tampan dan memesona dalam balutan jas abu-abu ini, langsung meraih kedua bahunya, membantunya berdiri dengan nada bicara selembut air, tersenyum sangat lebar dan hangat: “Berdirilah, ayah mertua. Jangan bersikap begini.” Syok! Semua orang yang ada dirombongan itu kaget bukan main mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sang Bos. Mematung bagaikan orang bodoh sempurna, mata nyaris tak berkedip. Apa mereka tidak salah dengar? Ayah mertua?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD