Bab 8 Biaya Operasi Jantung 500 Juta

1289 Words
Casilda tak segera pulang ke kedai Ayam Krispi Yummy. Perempuan berkacamata ini langsung tancap gas menuju sebuah rumah sakit. Casilda syok di kursinya mendengar biaya operasi jantung yang harus ditanggungnya. “Iya. Biaya operasinya 500 juta. Kondisi adikmu saat ini butuh penanganan khusus.” “A-apa saya tidak salah dengar, dok? 500 juta rupiah?” Perempuan berkacamata itu tergagap, kehilangan tenaga di sekujur tubuhnya. Pucat bagaikan bubur busuk. “Apa tidak bisa kurang? Kenapa mahal sekali? Ah! Bagian administrasinya mungkin salah ketik? Iya, pasti begitu! Tadi ada banyak sekali orang saat saya ke sana untuk konfirmasi! Bisa saja perawat itu salah input data! Mungkin 50 juta saja? Kalau itu, saya masih sanggup bayar, dok! Saya punya tabungan sekitar 43 juta di bank! Sisanya bisa saya pikirkan nantinya!” lanjutnya dengan sebuah harapan tersirat di wajahnya, tubuhnya maju ke depan meja, mencengkeram tepiannya. Sang dokter menghela napas berat, kedua matanya menatap kasihan. Meski dia tak suka memberitahu hal berat ini, tapi itu adalah kewajibannya. Dia adalah dokter yang menangani adiknya selama ini. Dengan pelan, dia berusaha membuat Casilda mengerti situasi yang dihadapinya. “Casilda. Ini adalah operasi besar. Sudah seperti itu biayanya. 500 juta. Di luar negeri, malah mungkin akan lebih mahal lagi. Bagaimanapun, adikmu harus segera menjalani operasi dalam waktu 2 bulan ini, tidak bisa jika hanya mengandalkan pengobatan dan terapi terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa tindakan lebih lanjut, lama-lama nyawanya akan lebih terancam. Ketahanan tubuh setiap individu itu berbeda-beda. Aku ragu jika adikmu bisa bertahan melewati tahun ini tanpa operasi. Maaf sekali lagi, aku sudah berusaha yang terbaik untuk kalian berdua...” ujar dokter pria tua kepada Casilda yang kini mulai tergugu di seberang meja, sang dokter berkacamata tipis tampak merasa bersalah harus memberitahu kabar buruk tentang kondisi adiknya. “Apa tidak ada jalan lain, dok, untuk menahannya sejenak? Tabungan saya masih kurang banyak untuk biaya operasi itu.” Bulir-bulir besar air mata berjatuhan di kedua pipinya yang seperti bakpao kecil. Batin sangat Casilda tertekan. Bagaimana dirinya bisa mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu singkat? Adiknya baru diketahui mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi sekitar 3 tahun yang lalu, dan semenjak itu hanya bisa mengobatinya dengan cara rawat jalan. Tapi, sudah beberapa bulan terakhir ini, adiknya menjadi Iangganan keluar-masuk sebuah rumah sakit khusus jantung di ibukota. Awalnya, Casilda berpikir selama dia bisa merawatnya di rumah sakit berkali-kali, maka tak akan ada hal serius yang terjadi. Dia pun dengan ketat menjaga pola makan adiknya, tapi kenapa bisa seperti ini? Sepertinya batas adiknya sudah mencapai puncak. Rasa panik berusaha ditekan dalam otaknya agar akal sehatnya tidak menjadi kacau. Adik laki-laki satu-satunya itu, Danish Dikara Wijaya, bahkan kini dalam masa pemantauan di ranjang rumah sakit walau tampak seperti orang sehat dengan alat khusus yang terus terpasang di tubuhnya. Tak boleh melakukan kegiatan yang membebani jantungnya. Mengingat kondisi Danish, membuat hatinya berpilin sakit. “Dok... saya, mohon, dok!” lirihnya sedih, meraih tangan kiri sang dokter. Ekspresi Casilda memelas dan suram, suara bergetar memohon, “bantu saya, dok! Danish adalah satu-satunya adik saya! Di keluarga saya, hanya saya yang menjadi tulang punggung keluarga kami! Ayah saya sudah lama menghilang entah ke mana. Dengan pekerjaan serabutan selama ini, mustahil saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat! Saya akan membayar berapa pun, tapi butuh waktu untuk mengumpulkan uangnya! Selamatkan adik saya, dok! Saya mohon!” Air mata Casilda mulai meluruh tak terkendali, hatinya perih memikirkan akan kehilangan anggota keluarganya dalam keadaan tak berdaya. Sesak, sungguh sesak! Andai saja mereka masih kaya.... “Casilda... aku sudah menolongmu sebisaku. Tapi, bahkan bantuan rumah sakit ini pun ada batasnya. Hanya operasi itulah satu-satunya cara. Lebih cepat, lebih baik. Tolong ingat lagi, jangan sampai lebih dari 2 bulan. Jika tidak... Maafkan, aku... ” terang sang dokter lembut, menarik tangannya dari genggaman Casilda, membuka kacamata dan menggeleng pelan. Berdiri dari tempatnya seraya mengambil papan periksa di atas meja. Casilda termangu dengan mata hampa di balik kacamata tebalnya, masih menyisakan sedikit air mata yang mengalir pelan di sudut-sudut matanya, sama sekali tak berkedip, atau pun bergerak oleh kenyataan pahit yang menimpanya. Hatinya menjadi dingin. “Aku masih ada pasien yang harus diperiksa. Aku tidak janji, tapi aku akan mencoba mendapatkan keringanan untukmu, meski itu mungkin harapannya sangat tipis. Cobalah mencari jalan keluar lain, Casilda. Aku tahu kamu anak yang pintar.” Dokter itu pun berlalu melewati Casilda, memberi gerakan isyarat pada seorang perawat di meja lain untuk meninggalkan ruangan. Suara pintu ditutup terdengar pelan, tapi malah terdengar sangat keras dan menyakitkan di telinga Casilda bagaikan menampar pahit semua harapannya jatuh ke tanah. Casilda akhirnya terisak pelan setelah pintu tertutup sempurna. Hari ini sungguh sial. Sudah diperlakukan buruk oleh seorang pria dari masa lalunya hingga harga dirinya dianggap seperti seorang pellacur murahan, dan kini harus menerima kabar mengejutkan soal operasi adiknya. Casilda mendengus geli, nyaris gila. 500 juta? Apa hidup sedang menghukumnya? Kenapa seolah seluruh dosa keluarganya harus dia yang menanggungnya sendirian? Sejak keluarganya bangkrut, kehidupan mereka jadi sangat berantakan. Ayahnya jadi suka main judi dan berhutang, dan kini pergi entah ke mana meninggalkan tanggungjawab kepadanya. Ibu? Ibunya yang dulu sangat ramah dan anggun kini menjadi orang yang sangat sensitif dan paranoid. Kadang menangis tanpa alasan yang jelas, kadang pula menjadi ketakutan tidak masuk akal walaupun tak ada orang di sekitarnya. Keadaannya yang tidak stabil itu hanya bisa membuatnya untuk tinggal di rumah saja, tidak perlu melakukan apa-apa. Casilda berpikir, ibunya seperti itu mungkin karena sebelum pindah ke rumah yang lebih kecil, mereka sering didatangi oleh preman-preman yang suka menagih hutang ayahnya. Para orang-orang jahat itu sampai suka mengobrak-abrik isi rumah jika tidak juga mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka, serta mengancam akan membunuh jika tak segera membayar lunas hutang yang ada. Untungnya, mereka kini hidup dengan tenang di pinggiran ibukota setelah menjual semua harta benda milik mereka yang tersisa setelah jatuh bangkrut. Hanya saja sekarang, uang menjadi masalah utama yang masih membuat mereka kesulitan menjalani kehidupan sehari-sehari. Terlebih setelah penyakit adiknya muncul, beban yang Casilda rasakan menjadi berkali-kali lipat. Selama beberapa tahun dirinya ditempa dengan kesulitan hidup, Casilda tahu bahwa mengeluh bukanlah solusi mempan untuknya. Jadi, dia hanya bisa bekerja dan bekerja untuk memenuhi isi perut dan mengobati adik laki-laki satu-satunya. Dia seolah hanya hidup untuk dua hal itu saja. Cukup lama Casilda duduk terdiam di ruang periksa dokter itu, memikirkan nasib buruknya. “Bagaimana mendapatkan uang sebanyak ini?” isaknya perih, melamun seraya menatap lembar pengajuan operasi di tangannya. Casilda memeluk kertas itu, mendongakkan wajah yang basah oleh air mata. “Ibu... apa yang harus aku lakukan sekarang...?” bisiknya pada diri sendiri, menutup mata kuat-kuat hingga sekali lagi air mata jatuh membasahi kedua pipinya. Suara Casilda bergetar menahan amarah dan kesedihan yang hanya bisa ditelannya hingga ke perut. *** Malam hari, kamar rawat inap adik Casilda. Kakak beradik itu tampak berbincang kecil yang cukup menarik dan ringan. “Kakak tidak apa-apa?” tanya Danish, menatap kasihan pada kakaknya yang sudah terlihat sangat lelah di sampingnya. “Aku tidak apa-apa. Yang penting kamu bisa segera sehat kembali agar bisa mulai kembali bersekolah. Kamu, kan, sudah kelas 2 SMA saat ini,” jelasnya cepat, mengusap puncak kepala Danish dengan penuh kasih. Meski terlihat sehat, tapi tak ada yang mengira adiknya itu harus mengandalkan operasi besar demi bisa bertahan hidup. “Aku sudah sehat, kok,” ujarnya seraya berusaha bangkit dari tidurnya. “Eiii... sehat apanya?! Jangan bergerak sembarangan dulu! Kamu mana tahu kondisi tubuhmu sendiri! Serahkan semuanya pada kakak! Pokoknya tugasmu sekarang adalah banyak istirahat. Jangan berpikir macam-macam,” Casilda menekan kedua bahu adiknya hingga kembali terbaring di kasur. “Kak... biaya rumah sakit ini mahal... daripada buang uang untukku, lebih baik untuk kakak kembali kuliah saja. Gara-gara aku, kuliah kakak dulu....” Mata Danish tersenyum sedih. Casilda terharu mendengarnya, tapi tak bisa melakukannya walaupun diam-diam sangat menginginkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD