Bab 129 Demi Segelas Es Americano, Nyaris Kehilangan Nyawa

2037 Words
“Bagus! Bagus! Ayo! Pose lain lagi!” teriak juru foto kepada Arkan saat sedang melakukan pemotretan majalah fashion ternama. Ratu Casilda Wijaya yang hanya duduk meringkuk di sudut terjauh ruangan hebat itu, bertopang dagu dengan wajah malasnya. Sejak tadi dia melihat tubuh suaminya disentuh-sentuh kiri kanan oleh beberapa wanita yang bertugas mengurus penampilannya, pun seorang wanita yang Casilda yakin adalah seorang desainer tante-tante genit yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Katanya, di dunia seperti itu memang ada beberapa orang yang suka mengambil keuntungan, meski ada juga yang masih menjunjung tinggi profesionalisme mereka dengan tidak melecehkan model atau rekan kerja mereka. “Dasar playboy. Maunya saja disentuh-sentuh begitu sama banyak wanita. Menjijikkan,” keluh Casilda dalam bisikan kecilnya, tapi perlahan wajahnya memuram sedih. Sekalipun dia memaki dan menghina Arkan Quinn Ezra Yamazaki sampai lidahnya putus sekalipun, tetap saja Top Star playboy itu adalah suami rahasianya, dan tidak terelakkan tubuhnya sudah disentuh berkali-kali olehnya hampir pada semua inci kulitnya. Casilda merinding geli! Kalau dia menghina suaminya, artinya menghina diri sendiri! Sialan! Gerutuan Casilda sudah mirip sebuah mantra gelap yang membuat Arkan yang kini tengah berganti baju lain sambil ditemani oleh dua wanita, akhirnya melirik ke arahnya yang tengah duduk di sebuah tangga kecil. Istri gendut berpipi bakpaonya sibuk bertopang dagu dengan mata menatap tajam ke arahnya, sudah mirip akan menusuknya dengan laser jika saja mata Casilda punya laser saat ini juga. Dari jauh, tiba-tiba Casilda dihampiri oleh seorang pria muda, menawarinya sebotol minuman, lalu diterima dengan sangat ramah penuh senyum. Arkan yang melihat hal itu kontan saja terngiang kembali ucapan Casilda yang berniat mencari pacar saat mereka tengah bertengkar di mobil. 'Heh! Mana berani dia mencari pacar? Tidak tahu diri sekali jika masih mau cari pria lain. Gendut begitu memang ada yang mau menikahinya selain aku?' batin Arkan dengan keangkuhan dan kesombongan level setinggi langit, benar-benar sangat percaya diri dengan pemikirannya. Baru juga berpikir begitu, nun jauh di sana, Casilda tampak salah tingkah cepat-cepat berdiri dan menunduk malu-malu di hadapan pria yang sudah memberinya sebotol minuman. Malah, sekarang kepala istrinya dielus-elus pelan seperti layaknya pasangan kekasih. Arkan yang tengah sibuk dipersiapkan oleh dua wanita, seketika saja bangkit dari kursinya. “Tuan Arkan! Tolong jangan bergerak dulu! Nanti make up-nya berantakan!” tegur sang perias dengan wajah panik. Sedangkan wanita yang sibuk menata pakaian sang aktor, hanya bisa menghela napas melihat beberapa lekukan pada baju yang dikenakannya. “Aku haus,” balas Arkan galak. Dua wanita yang sibuk membantunya bersiap langsung memucat kelam, gemetar ketakutan karena Arkan adalah model yang sulit diatur selama ini. Juga karena ketika Arkan bekerja, sedikit saja mengusik suasana hatinya, kerjaan mereka bisa macet di tengah jalan. “Ba-baiklah. Akan saya ambilkan minum dulu. Mau minum apa?” tanya sang penata gaya, berusaha tersenyum ceria selebar mungkin. Dari jauh, juru foto mulai memberikan gerakan diam-diam memohon kepada keduanya agar tidak membuat Arkan tersinggung. Beban di pundak kedua wanita itu mendadak seperti dijatuhi batu. Berat dan menyesakkan! Arkan menghalau sang penata rias, kode agar menjauh darinya sejenak lalu meraih ponselnya, “tidak perlu. Aku ingin minum yang spesial.” Sambil berkata begini sambil menelepon Casilda yang jaraknya hanya beberapa meter darinya. Casilda tampak kaget, meraih ponselnya dan memutus percakapannya dengan pria muda tadi yang tampak sangat antusias berbicara dengannya. “A-ada apa, Tuan Arkan?” tanya Casilda pelan, sudah berdiri di depan Arkan begitu dipanggil olehnya melalui sambungan telepon. Dengan gaya angkuh bersandar di kursi tinggi, dadanya yang bidang terekspos dalam bingkai kemeja hitam menawan, Arkan memberikan titah dengan kepala dimiringkan malas, “belikan aku es Americano yang berada 2 blok dari sini. Jangan lupa beri banyak es batu, kopinya hanya setengah gelas. Pakai uangmu dulu, nanti aku ganti.” Casilda terbengong parah, tapi melihat dua wanita di belakang Arkan memohon dengan kedua tangan secara diam-diam, wajah sudah pucat dan mau pingsan. Casilda pun tidak punya pilihan ketika memahami situasi apa yang sudah dibuat oleh suami manjanya. “Baik. Mau ukuran apa?” “Yang kecil saja. Beli satu. Minum kopi terlalu banyak tidak bagus untuk kesehatan, bukan? Aku hanya ingin menyengarkan mataku saja.” Nadi di pelipis Casilda berdenyut jengkel, bibirnya terlihat tersenyum dipaksakan. Hanya ingin minum es Americano segelas dan ukuran kecil, tapi menyuruh istrinya seperti ini? Wuah... benar-benar pria ini! “Baik. Tolong tunggu sebentar.” “Moodku sedang tidak bagus. Antarkan dalam waktu 15 menit,” tambah Arkan malas, mengatakannya sambil bermain ponsel, masih dalam pose duduk bersandar angkuhnya. Sama sekali tidak melihat Casilda. Benar-benar cuek dan masa bodoh dengan perintah tidak masuk akalnya itu. “A-apa? 15 menit? Tapi...” “Mau protes?” potong Arkan dingin, tiba-tiba menatapnya dengan wajah tidak enak dipandang. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung merasakan awan badai akan datang, di belakang Arkan sudah banyak orang yang tampak memberikan kode agar Casilda tidak membuatnya marah. 'Suami menyebalkan!' batin Casilda tak berdaya. “Apa yang kamu tunggu? Cepat pergi! Aku hitung dari sekarang! Kalau terlambat sedikit saja, aku tidak mau melanjutkan pemotretan ini lagi!” bentak Arkan tak sabaran. Seluruh anggota tim pemotretan itu langsung memasang wajah benci kepada Casilda. Sontak saja wanita berkacamata tebal itu menciut dalam hati. Suram dan tak enak hati. “Ba-baik, Tuan Arkan!” balas Casilda cepat. “Tunggu apa lagi?! Aku mulai hitung sekarang! Satu... dua...” Casilda segera berlari meninggalkan tempat itu seperti orang yang dikejar oleh seekor anjing gila, keluar gedung nyaris saja menabrak kaca pintu. Mau tidak mau, sambil berlari dia pun sambil memeriksa peta di layar ponselnya untuk mencari kedai kopi yang dimaksud oleh sang suami. “Aktor berengsek! Katanya cuma 2 blok dari sini! Kenapa malah di peta bilangnya malah 4 blok?!” Melihat waktunya sudah lewat 2 menit lebih, Casilda memaksa dirinya berlari sekuat tenaga. Waktu 2 menit yang lewat dari 15 menit itu sudah terlalu banyak. Cepat-cepat, dia pun segera melajukan larinya dengan susah payah. Saat tiba di kedai itu, wajahnya memucat kelam melihat antrian yang ada. “Matilah... Arkan pasti akan membunuhku...” gumam Casilda yang langsung ambruk di lantai, menangis sesenggukan melihat antrian yang begitu panjang di depan sana. “Ibu! Wanita gendut itu menangis!” tunjuk seorang anak laki-laki kepada Casilda yang sibuk duduk di lantai sambil menghapus air matanya saking kesal dengan titah tidak masuk akal suaminya. Wanita berkacamata bulat dan berkepang satu itu terlihat sedang menangis pilu sangat menyedihkan, tergugu menyayat hati. Sungguh membuat semua orang kasihan. Namun, tidak seperti orang-orang yang tengah melihat dirinya yang bersimbah keringat dan air mata, lalu mengira dia memiliki masalah serius, sebenarnya Casilda menangis karena sangat marah dan kesal dengan suaminya yang suka mengerjainya tiada ampun. “Nona? Kenapa Anda menangis? Apa ada masalah?” tanya seorang karyawan wanita yang datang kepadanya, kasihan melihatnya yang begitu menyedihkan. “A-aku... aku disuruh membeli kopi dalam waktu 15 menit, tapi jaraknya 4 blok dari sini. Sudah berlari sangat cepat, tapi tetap saja tidak terkejar. Tidak sempat juga mengambil taksi ke mari. Habislah sudah.... dia tidak akan mau melakukan pemotretannya lagi...” jelas Casilda sambil tergugu kencang. Suara tangisnya tampak memilukan. Beberapa orang mulai bisik-bisik, dan untungnya beberapa orang di sana ada yang paham situasi Casilda. “Apa kamu akan dipecat kalau tidak mengantarkannya tepat waktu?” tanya salah satu karyawan pria yang tiba-tiba muncul. “Bisa jadi. Dia sangat pemarah!” balas Casilda dengan wajah diusap menyedihkan, persis anak kecil yang tengah ditindas. Tubuh gendut dan pipi bakpao Casilda membuat hati semua orang terenyuh melihatnya menangis. Segera saja mereka semua bisik-bisik setuju untuk membiarkan Casilda dilayani lebih dulu. Maka, dengan cepat karyawan di balik konter yang sudah tahu apa pesanan Casilda, buru-buru membuatkan pesanannya. “Apa jangan-jangan, yang pesan adalah Arkan sang Top Star, ya?” celutuk karyawan pria tadi, menatap Casilda dengan rasa penasaran serius. Duduk jongkok di lantai berbicara lebih dekat kepadanya. “Kenapa bisa tahu?” balas Casilda lugu, mata setengah berkaca-kaca. “Sudah kuduga. Dia memang seperti itu saat bekerja. Yang sabar, ya!” nasihatnya cepat, menggeleng pelan dengan tatapan kasihan. Semua orang yang mendengar hal itu jadi penasaran dan menyimak dengan baik. “A-apa dia memang selalu seperti itu, ya?” tanya Casilda linglung. “Kamu anak baru di agensi itu?” Casilda mengangguk cepat. “Pantas saja,” kekehnya geli, lalu melanjutkan, “bekerja dengan Arkan sang Top Star memang tidak mudah, tapi dia sangat profesional jika sudah serius. Tapi, ya, susahnya itu kalau suasana hatinya sedang buruk, sulit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku juga pernah bekerja sebagai asisten lepasnya, tapi tidak tahan dengan ritme cepat dan kerja keras di dunia semacam itu. Sangat tidak fleksibel dengan gayaku. Kalau kamu kerja di dunia gemerlap seperti itu sebagai asisten, mungkin saja akan kurus dalam waktu 3 atau 4 bulan.” Karyawan pria itu tertawa lepas, lalu membantu Casilda berdiri cepat setelah pesanannya telah tiba. Sebelum pergi, Casilda berterima kasih dan mendapat titip salam dari para pengunjung di sana untuk sang aktor. Sekarang, yang ada di benak Casilda adalah bagaimana tiba di studio foto tadi dalam waktu 7 menit?! 'Sialan! Jangan sampai es Americanonya tumpah!' batin Casilda jengkel. Kedua tahan susah payah menahan pesanan Arkan agar tidak rusak. Sayangnya, karena teringat kembali perubahan mendadak orang-orang di dalam studio, larinya semakin dipercepat sampai tidak sempat melihat lampu jalan saat menyebrang. Suara decitan ban menulikan orang-orang di sekitar jalan itu, membuat jantung Casilda nyaris saja berhenti berdetak. Mata tertutup memeluk kopi pesanan Arkan, berhenti tepat di depan sebuah mobil hitam mewah dalam jarak 3 kaki darinya. “Ada apa?” tanya Ethan pelan, mengerutkan keningnya heran seraya menurunkan tablet di depan matanya. “I-itu... Pak Presdir, ada yang menyebrang jalan sembarangan,” balas sang pengemudi gugup. “Pak Presdir, kita sedang terburu-buru sekarang, tolong lewatkan saja masalah ini. Jangan marah, ya?” Sekretaris Jimmy yang duduk di depan bersama sang supir memperingatinya, tersenyum lebar sangat cerah. Ethan hanya mengangguk pelan, melirik sejenak wanita gendut di depan sana dengan kepala ditundukkan takut ke aspal di bawahnya, tampak tengah memeluk sesuatu sangat penting. Kening Ethan mengencang. Hatinya seketika saja tidak karuan melihat pakaian rajut merah yang dipakai oleh wanita itu malah mengingatkannya kepada wanita di lift beberapa jam lalu. Bentuk tubuhnya juga gendut dan sangat pas dengan sosok yang kini terus mengusik pikirannya. “Suruh dia cepat minggir jika tidak mau dapat masalah,” titah Ethan lagi, wajah sangat kesal dan kembali fokus pada tablet di pangkuannya. “Nona! Cepat menyingkir!” teriak sang pengemudi dari jendela mobil. Casilda yang baru sadar dari keterkejutannya, mengangguk dengan tubuh gemetar meminta maaf kepada mobil di sana. Cepat-cepat, dia pun berlari kembali menuju arah studio. Sayangnya, tentu saja Arkan tidak akan membuat hal itu mudah bagi Casilda. “Apa kamu bodoh?!” bentaknya kasar, sangat murka kepada Casilda yang hanya terlambat 10 detik dari stopwatch di ponselnya. Isi gelas plastik yang dibawa setengah mati oleh Casilda kini sudah dilemparkan ke wajahnya hingga membuatnya basah seperti orang bodoh. Casilda mengusap wajahnya yang terasa dingin, hidungnya sakit oleh hantaman batu es. Matanya pun mulai memanas, berkaca-kaca perih dengan sikap Arkan yang suka semena-mena kepadanya. Demi segelas es Americano ukuran kecil itu, harga dirinya sudah dibuang, dan juga nyawanya hampir melayang. Tapi, apa yang didapatnya sekarang? Rasa sesak di dadanya membuat Casilda hanya bisa menunduk diomeli oleh sang suami di depan banyak orang. Mata mereka penuh kebencian. “Maaf...” sahut Casilda pelan kepada Arkan, bulu matanya bergetar sedih. “Maaf? Apa hanya itu yang bisa kamu katakan, um? Kamu tahu kalau suasana hatiku sedang tidak baik, maka semua orang akan kesusahan karena kerjamu yang tidak becus itu?” Casilda merasa de javu. Ini jelas bukan pertama kalinya Arkan mengerjainya dengan sangat kejam. “Sa-saya akan pergi membelinya lagi.” “Tidak perlu,”sinis Arkan dingin, kini malah mendekat dan menyirami puncak kepala Casilda dengan segelas teh botol. Sedikit demi sedikit. Casilda syok! Mata langsung saling tatap dengan sang suami. Masih dalam guyuran teh botol darinya. “Kamu memang sangat bodoh, Casilda,” ledek Arkan dengan seringai dingin jahatnya, mata tersenyum sangat licik penuh kepuasan. Hati Casilda mendadak jatuh ke titik beku, tertegun sesak napas oleh rasa sakit hati yang muncul menikamnya dari dalam. Jadi, ini alasan menyuruhnya ikut bersamanya? Dipermalukan dengan sengaja di hadapan semua orang tanpa belas kasih sedikit pun sebagai suaminya sendiri? Arkan benar-benar keterlaluan! Suami sepertinya lebih layak untuk ditendang hingga ke ujung langit!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD