Bab 3 Superstar Playboy

1483 Words
Kaki jenjang indah Arkan melangkah mendekati tangga, terkejut kecil melihat dua kotak ayam krispi tergeletak sembarangan. Remah-remahnya pun bertebaran di permukaan lantai dan pada beberapa anak tangga. “Hah? Apa ini? Kenapa ada ayam krispi di sini?” Arkan meraih kotak tersebut, melihat isinya. Raut wajahnya menggelap seketika. “Hei! Tolong siapa saja bereskan kekacauan ini! Kenapa ada makanan yang terhambur di tangga?” Pria itu berteriak dengan nada berwibawa dan anggun khas seorang aktor papan atas yang penuh rasa percaya diri. “B-baik!” balas seorang pria muda berjaket orange di seberang ruangan. Aktor tampan berambut hitam legam itu kembali melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Tangannya menyusuri susuran tangga dengan gerakan halus dan anggun, membuat beberapa kru perempuan yang masih memperhatikannya mendesah kagum. Jika bukan karena terikat kontrak untuk tidak mengganggu privasi sang aktor tampan, maka para kru perempuan yang mengaguminya pasti sudah mendekat ibarat ngengat pada lampu listrik. Tapi, karena adanya pasal tak boleh mengganggu sang aktor saat di tempat kerja dan membocorkan rahasianya, mereka hanya bisa menggigit jari dari jauh. “Ah.... Kenapa superstar Arkan begitu tampan dan seksi? Apakah dia itu benar-benar manusia? Ketampanannya terlalu tinggi untuk standar manusia di negeri ini!” puji salah satu kru perempuan yang tengah memeluk sebuah kotak berisi peralatan syuting. “Eiii... dia yang setampan itu jelas tidak mengherankan punya banyak skandal dengan banyak wanita. Herannya, namanya masih meroket tinggi,” keluh seorang kru perempuan lainnya, menggelengkan kepala pelan. Detik berikutnya menegakkan kepalanya dengan mata berbinar penuh nada kekaguman, menjerit manja memegangi kedua pipinya yang memerah malu-malu, “tapi, meski begitu, aku rela masuk dalam daftarnya itu! Tubuhnya terlalu indah bak pahatan patung Yunani yang berharga! Kyaaa! Otakku! Hentikan berpikiran yang tidak-tidak!” Sisa perempuan yang ada di sana mengangguk setuju, ikut-ikutan menjerit senang membayangkan hal-hal romantis dan nakal bersama sang aktor. “Hei, kalian! Jangan bergosip saja! Cepat bereskan bagian sini!” seru seorang pria di seberang ruangan di dekat kolam renang. “Cih! Mengganggu kesenangan saja!” keluh salah satunya dengan mata datar kesal. Meski menggerutu, mereka pun membubarkan diri. *** Di lantai dua mansion. Casilda masih sibuk seperti gasing mencari-cari sang kucing barbar. “Pus! Pus! Kucing manis, kamu di mana?” Casilda berjalan pelan dengan suara berteriak yang ditahan, takut jika membesarkan suara akan mengganggu acara syuting di lantai satu. Sudah beberapa menit Casilda mencari kucing orange itu tapi yang didapatkannya hanyalah rasa lelah dan mata berkunang-kunang setelah menjelajahi lantai dua mansion tersebut. Tidak berbeda dengan lantai satu, ruangan itu juga sama mewahnya. Yang membuatnya berbeda adalah interior dan tatanan ruang yang tampaknya hanya diperuntukkan untuk satu orang saja bak seorang raja. Ketika Casilda menaiki tangga berukir nan sedikit meliuk itu, matanya disambut oleh sebuah selazar yang begitu luas. Ketika wanita ini mulai menjelajah mencari sang kucing nakal, dia mendapati ada 5 kamar di lantai atas. Tatanan di lantai tersebut sangat minimalis dan bersih dengan lantai berpola kayu cokelat yang indah. Pada pagar pembatasnya, semuanya terbuat dari kaca tembus pandang dan sangat tebal. Mansion itu merupakan mansion mewah modern yang sangat berlimpah cahaya matahari dari berbagai sudut dengan dinding-dinding kaca yang menghiasinya. Benar-benar layaknya sebuah istana modern! Ketika Casilda menjejakkan kakinya pertama kali ke lantai itu, hal pertama yang dia temukan adalah dua set sofa abu-abu berdampingan, terlihat sangat empuk dan nyaman. Satunya berada di dalam ruangan, sementara satunya lagi berada di bagian luar—tepat di balik patio kaca geser pada balkon berlantai putih yang luas. Dari 5 ruangan di lantai itu, hanya satu yang terbuka dan membuat perempuan ini berpikir bahwa kucing nakal itu pasti masuk ke sana, jadi di sinilah dia sekarang. Casilda berada di sebuah kamar yang sangat luas dan memiliki beberapa ruangan lain di dalamnya. Ditebaknya dari segi modelnya, itu mungkin adalah ruang utama di lantai dua mansion tersebut. “Kucing nakal, eh, salah, kucing manis... kamu di mana?” bujuk Casilda dengan suara berbisik, dia membungkukkan badan mencari-cari keberadaan kucing orange itu di sebuah ruangan besar,sangat mewah berisi banyak sekali pakaian, kotak-kotak yang terlihat mahal, dan benda-benda lainnya yang terlihat tak kalah mahal harganya. Bagian itu adalah walk in closet utama di ruangan ini, tepat di sebelahnya ada sebuah ruangan yang sama tapi penuh dengan sepatu dan aksesoris lainnya. “Aduh, kalau dilihat dari keadaan kamar ini, apa jangan-jangan ini kamar pemilik mansion ini, ya?” Casilda berdiri mematung, wajahnya memucat. Baru menyadari ke mana dia melangkah masuk. Sebuah suara ‘brak’ terdengar dari luar, membuatnya kaget terlonjak dan spontan berbalik ke arah pintu walk in closet yang sedang terbuka. Keringat dingin menuruni punggungnya. 'Gawat! Apa ada yang masuk ke kamar ini, ya? Aku tidak boleh ketahuan. Jika ada yang melihatku di sini, mereka bisa salah paham!' batin Casilda dengan gerakan gelisah, sangat canggung. Derap langkah terdengar mendekat menuju walk in closet. Panik, sang wanita berkacamata tebal segera mencari tempat untuk bersembunyi. Kedua bola mata Casilda membesar cemas, sulit menemukan tempat bersembunyi di ruangan serba putih dengan banyak rak kaca bening di sana—persis display mewah di sebuah toko bermerk, maka dengan kenekatannya, dia pun berjalan ke salah satu set lemari yang menggantung deretan banyak sekali kemeja, menggesernya dengan paksa karena sesak, lalu meringkuk memeluk kedua kakinya di sana, menyembunyikan dirinya sebaik mungkin. Jantung Casilda bertalu kencang bagaikan sebuah genderang. Keringat dingin semakin membanjiri punggungnya, dia menggigit bibir bawahnya dengan perasaan khawatir. 'Jangan kemari! Jangan kemari!' batin Casilda berulang-ulang dalam hatinya, berdoa agar si pemilik derap langkah kaki tidak memasuki walk in closet miliknya. Suara pintu dibanting terdengar. Meski samar, tapi dari deretan pakaian yang menimbun dirinya di balik gantungan itu, dia bisa mendengar suara pintu yang ditutup keras di sebelah ruangan. Loh? Casilda terbengong. 'Apa jangan-jangan dia ke toilet yang ada di ujung lorong kamar ini?' gumamnya membatin pada diri sendiri, berperang dengan logika dan prasangka. Terdengar samar suara air dari dalam kamar mandi. “Oh! Orang itu sepertinya benar ke toilet!” serunya dengan nada kecil yang berbisik. Dalam kepalanya, Casilda menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia keluar secepatnya atau menunggu sampai orang itu pergi? 'Tunggu! Kalau aku menunggu sampai orang itu selesai, aku tidak akan tahu, kan, kapan dia akan keluar ruangan ini?' batinnya lagi. Tangan kanannya meremas kemeja yang menggantung di dekatnya, gugup dengan keputusan yang akan diambil. “Sekarang atau tidak sama sekali!” ujarnya menyemangati diri sendiri, bergegas keluar dari tempat persembunyian. Casilda berdiri di depan pintu walk in closet, menjulurkan kepalanya pelan-pelan mengamati kondisi di luar. “Aman...” bisiknya lega pada diri sendiri, lalu berjalan berjingkat-jingkat meninggalkan lorong tersebut. “Meong!” seru si kucing orange saat melihat Casilda. Makhluk menggemaskan itu tengah berada di atas sebuah set sofa serba putih modern yang disusun berbentuk segiempat—tepat berada di depan tempat tidur. Cahaya matahari yang menyinari kamar dari dinding kaca bermodel huruf L, membuat siluet kucing itu sangat angkuh dan tinggi. Di depannya, tepat pada kedua tungkai sang kucing terlihat ayam krispi yang sudah tercabik-cabik oleh giginya, mengotori sofa putih nan mewah itu. “Oh! Dasar preman nakal! Kamu ada di sini rupanya!” tunjuk Casilda gemas, berseru dalam nada suara berbisik tertahan. Tanpa Casilda sadari, dia berjalan maju hendak menangkapnya “Ya, ampun! Kamu mengotori sofanya! Kalau ada yang lihat, kamu bisa diusir dari tempat ini, kucing nakal! Aku juga bisa dapat masalah!” Ketika Casilda hendak meraihnya, sang kucing mengelak sempurna dengan gaya sangat angkuh dan sombong, menggigit ayam krispinya dan mundur ke belakang. Kucing itu mendesis ke arahnya, sangat tidak ramah. Berbanding terbalik dari sebelumnya. “Gila! Hanya karena ayam krispi kamu berubah seperti ini? Memangnya tuanmu itu sepelit apa kepadamu? Atau kamu yang terlalu rakus, hah?!” Casilda mulai naik pitam, terbayang bonusnya akan melayang sia-sia. “Hiyaaatt!!” Perempuan berkacamata tebal ini melemparkan dirinya untuk menangkap sang kucing, tapi malah tersangkut di atas sofa dan merasakan hantaman sakit di bagian perut. Ratu Casilda Wijaya meringis pedih. “Bonusku...” pekiknya tertahan, memelas sangat menyedihkan dengan eskpres bodoh memalukan. Sang kucing orange sudah berada di lantai di sampingnya, menggoyangkan ekornya yang panjang dengan riang. Sangat angkuh! Seolah-olah menertawakan Casilda yang tengah memeluk sofa dalam keadaan tak berdaya. “Tunggu! Tunggu!” seru Casilda, tangan kiri disodorkan ke arah sang kucing yang hendak pergi meninggalkannya, “aku tidak akan memarahimu! Setidaknya ikut denganku dulu!” Casilda menyampingkan tubuhnya turun dari sofa, merangkak di lantai dengan gerakan sangat cepat hingga membuat sang kucing berlari menuju arah pintu utama kamar. “Tidak! Tidak! Tunggu!” desis Casilda berbisik panik, bergegas cepat hendak berbalik merangkak ke arah pintu dengan tetap menjaga agar gerakannya meminimalkan suara di lantai. Sayangnya, ketika Casilda berbalik dan baru saja ingin menyusul sang kucing, di depannya terlihat dua kaki putih nan indah menghiasi kedua matanya. Saliva ditelan kuat-kuat, sekujur tubuh gemetar! “Sedang apa kamu di sini?” tanya suara berat dan lirih di atas kepala Casilda. Perempuan itu tak bisa mengangkat kepalanya, wajahnya menggelap suram, sekujur tubuhnya mendingin seolah dilempar ke dalam lautan es. Mati aku! umpatnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD